جمع من الإلهام والحافز الإسلامي - MENGENAL ISLAM DAN MOTIVASI DARI AKSI TERORISME OLEH DR.MARK GABRIEL Update Lagi Nih sodara Muslimin Dan Muslimat, Tentang MENGENAL ISLAM DAN MOTIVASI DARI AKSI TERORISME OLEH DR.MARK GABRIEL. Untuk Sahabat Sekeyakinan Yang sedang Mencari MENGENAL ISLAM DAN MOTIVASI DARI AKSI TERORISME OLEH DR.MARK GABRIEL, Mungkin MENGENAL ISLAM DAN MOTIVASI DARI AKSI TERORISME OLEH DR.MARK GABRIEL Ini bermanfaat Buat Anda. Monggo Dilihat MENGENAL ISLAM DAN MOTIVASI DARI AKSI TERORISME OLEH DR.MARK GABRIEL di bawah Ini Agar Lebih Jelas Tau Tentang Agama kita Yang sangat Kita Cinta Dan Kita Puji-puji ini.
PASAL KEDUA:
Dalil dari as-Sunnah Tentang Kafirnya Seorang Muslim Karena Mencaci Maki Nabi dan Kewajiban Membunuhnya Meskipun Telah Bertaubat
Dalil Pertama:
Yaitu
kisah Ibnu Abi Sarh. Sebuah kisah yang juga telah disepakati oleh para
ulama dan telah masyhur di kalangan mereka, tidak hanya diriwayatkan
oleh perorangan saja. Hadits ini lebih mantap dan kuat daripada riwayat
yang disampaikan oleh satu orang saja yang adil. Kami akan sebutkan di
sini dengan memberi syarahnya agar dalil petunjuknya bisa terlihat
secara jelas, di antaranya:
Dari Mush'ab bin Sa'ad, dari Sa'ad bin Abi Waqqash yang berkata:
"Ketika
terjadi peristiwa Fathu Makkah, Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarh
bersembunyi di rumah Utsman bin Affan. Lalu, Utsman menyeretnya hingga
memberdirikannya di hadapan Nabi . Utsman berkata, "Wahai Rasulullah,
bai'atiah Abdullah!" Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan memandang
kepadanya tiga kali. Semuanya menunjukkan keengganan beliau untuk
membai'atnya. Setelah pandangan yang ketiga itu, barulah beliau mau
membai'atnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabatnya dan
berkata, "Tidakkah ada di antara kalian seorang yang bijaksana (rasyiid)
yang berdiri kepada orang ini, sehingga jika dia melihatku, maka
kugenggam tanganku dari memba'iatnya, lalu kubunuh dia." Telah
disebutkan oleh Ibnu Hajardi dalam Fathul Ban, (11/9); di-takhrij oleh
al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang
peperangan, (3/45); di-takhrij oleh an-Nasa'i dalam kitab pembahasan
tentang pengharaman darah, bab: hukum berkaitan dengan seorang yang
murtad, (7/106); dt-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang
jihad, hadits no. 2683; Adapun isnad hadits ini adalah hasan.
Para
sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa yang terbersit
dalam benakmu. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan
matamu?!" Beliau bersabda, "Sesungguhnya tidak seyogianya bagi seorang
Nabi untuk mempunyai mata yang khianat." Hadits riwayat Abu Daud dengan
isnad yang shahih
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'ad, Ibnu Ishaq pemah berkata,
"Sebagian ulama kami telah berkata kepadaku bahwa Ibnu Abi Sarh telah
kembali ke Quraisy, lalu dia berkata, 'Demi Allah, kalau aku
menghendaki, niscaya aku akan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh
Muhammad, dan menyampaikan sesuatu yang seperti dibawanya. Sungguh, dia
mengatakan sesuatu, dan aku membelokkannya kepada sesuatu yang lain,
lalu dia (Nabi ) berkata, 'Kamu benar.'" Dalam hal ini, Allah telah
menurunkan ayat, "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, "Telah diwahyukan
kepada saya," padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya,"
(al-An'am: 93). Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan untuk
membunuhnya.
Dalil
petunjuk dari kisah Ibnu Abi Sarh adalah bahwa Abdullah bin Sa'ad bin
Abi Sarh telah mengada-ada atas nama Nabi yaitu bahwa dia telah
menyempurnakan wahyu Nabi dan menulis untuk beliau sesuatu yang
dikehendakinya, lalu Nabi menyepakatinya. Juga, bahwa dia membiaskan
wahyu itu sesuka hatinya dan merubah perintah Nabi yang bersumber dari
wahyu itu, lalu Nabi menyetujui tindakannya itu. Dia juga mengaku bahwa
tulisannya itu akan turun seperti apa yang telah diturunkan oleh Allah ,
mengingat dalam pengakuannya itu, Allah telah memberi wahyu kepadanya
seperti Dia telah memberi wahyu kepada Nabi . Penghinaan semacam ini
sudah lebih dari sekadar kufur dan keluar dari agama, dia termasuk salah
satu bentuk caci makian.
Ketika Nabi sudah mampu untuk mengadili Ibnu Abi Sarh, maka beliau pun langsung menghalalkan darah Ibnu Abi Sarh
manakala terbukti dia telah berani mencerca kenabian dan membuat
kebohongan terhadapnya, meskipun sebenamya beliau telah menjamin
keselamatan bagi seluruh penduduk kota Makkah yang pemah memerangi dan
memusuhinya dengan sekuat tenaga, dan meskipun sunnah beliau menyatakan
bahwa orang yang murtad itu tidak boleh dibunuh sebelum terlebih dulu
diminta untuk bertaubat (istitab), baik secara wajib ataupun sunnah. Hal
ini sebagai dalil bahwa dosanya orang yang mencaci maki Nabi itu lebih
besar daripada dosanya orang yang murtad.Adapun penghalalan darah Ibnu
Abi Sarh oleh Nabi setelah dia bertaubat dan masuk Islam, dan juga sabda
beliau, "Tidakkah kalian membunuhnya," lalu pengampunan beliau setelah
itu terhadapnya, adalah sebagai dalil bahwa Nabi sebelumnya berhak untuk
membunuhnya, lalu beliau memaafkan kesalahannya, dan melindungi
keselamatannya. Hal itu juga sebagai dalil bahwa beliau berhak untuk
membunuh orang yang telah mencaci makinya, meskipun sebenamya orang itu
telah bertaubat dan kembali kepada agama Islam. Sunatullah untuk
menolong Nabi-Nya terhadap orang-orang yang telah memfitnah beliau, jika
memang belum ditegakkan sanksi (had) terhadap orang tersebut.
Begitu
pula, tidak ada penulis lain yang mencoba memfitnah Nabi seperti hinaan
rekaan ini, selain bahwa Allah pasti akan membuka aibnya dan
mengazabnya dengan siksaan yang tidak lazim bagi setiap orang yang telah
berbuat fitnah seperti itu. Hal itu, mengingat tindakan semacam ini
akan menimbulkan di dalam hati yang sakit suatu keragu-raguan, yaitu
dengan mengucapkan, "Penulisnya adalah orang yang paling tahu mengenai
batinnya dan esensi permasalahannya. Sungguh, dia telah memberitakan
darinya apa yang telah beliau beritakan." Maka, di antara pertolongan
Allah terhadap Rasul-Nya, adalah Dia menampakkan dalam diri Rasul-Nya
suatu tanda yang karenanya terbuktilah bahwa orang tersebut melakukan
kedustaan.
Imam
al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Anas bin Malik
yang berkata, "Pemah ada seorang lelaki Nasrani, dia masuk Islam dan
membaca surat al-Baqarah dan Ali Imran. Dia pemah menulis surat kepada
Nabi , lalu dia menjadi Nasrani kembali. Dia pernah berkata, "Muhammad
tidak akan tahu, kecuali apa yang telah aku tulis untuknya." Kemudian,
Allah mematikannya dan orang-orang pun menguburnya. Namun, temyata bumi
memuntahkannya. Lalu mereka berkata, "Ini adalah ulah Muhammad dan para
sahabatnya. Galilah lobang untuk sahabat kami, lalu lemparkan dia ke
dalamnya." Kemudian, mereka menggali tanah sebisanya. Namun, tanah itu
tetap memuntahkannya. Seketika mereka mengetahui, bahwa dia bukanlah
manusia, maka mereka pun membuangnya.
Imam
Muslim juga telah meriwayatkan hadits ini dari Sulaiman bin Mughirah,
dari Tsabit, dari Anas yang berkata, "Pemah di antara kita ada seorang
lelaki dari Bani Najjar yang membaca surat al-Baqarah dan AH Imran. Dia
pemah menulis surat kepada Nabi ,lalu dia pergi kabur hingga bertemu
dengan kaum Ahlu Kitab. Anas berkata, "Kemudian mereka menyanjungnya.
Mereka berkata, 'Ini adalah orang yang pernah menulis surat kepada
Muhammad .Maka, mereka pun merasa heran kepadanya. Tidak begitu lama,
Allah mematikannya. Lalu, mereka menggali kubur untuknya dan
menguburkannya. Namun, ternyata tanah tersebut memuntahkannya ke atas
permukaannya, sehingga mereka pun membiar-kannya dalam keadaan
tergeletak begitu saja. Lihat Fathul Bari, dalam kitab pembahasan
sifat-sifat terpuji (AI-Manaaqib) 7/722, hadits no. 3617; Muslim dalam
kitab pembahasan tentang sifat-sifat kaum munafik (4/2145).
Orang
terlaknat yang telah mengada-ada terhadap Nabi ini, yaitu dia mengaku
bahwa Nabi tidak mengetahui selain apa yang telah dia tulis untuknya,
dia telah dibinasakan oleh Allah dan dibuka aibnya dengan cara
dimuntahkan dari liang kubur setelah berulang-ulang kali diupayakan
untuk dikubur. Ini adalah suatu hal yang tidak lazim yang menunjukkan
kepada setiap orang bahwa hal ini sebagai hukuman (sanksi) atas apa yang
telah dia ucapkan, dan bahwa dia telah berkata bohong. Hal itu,
mengingat umumnya orang-orang yang mati tidak ada yang mengalami nasib
seperti ini.
Di
samping bahwa tindakannya ini lebih berat daripada sekadar keluar dari
agama atau murtad. Karena, kebanyakan orang-orang yang murtad itu
meninggal dan mereka tidak mengalami nasib semacam ini. Hal ini juga
menunjukkan bahwa Allah akan membalaskan untuk Rasul-Nya atas
orang-orang yang telah mencerca dan mencaci makinya, juga akan
memenangkan agamanya dan memperlihatkan kebohongan para pendusta,
mengingat adanya kemustahilan bagi orang-orang untuk menjatuhkan hukuman
(had) terhadapnya.
Dan,
kisah yang semisal dari kisah ini adalah apa yang telah dituturkan
kepada kami oleh sejumlah kaum Muslimin yang adil, yang ahli di bidang
fiqih dan sekaligus orang-orang yang berpengalaman atas berbagai
percobaan yang telah mereka lakukan berulang-ulang kali sewaktu
mengepung beberapa benteng dan kota yang berada di perbatasan negeri
Syam, yaitu ketika kaum Muslimin mengepung Bani al-Ashfar pada zaman
kami (maksudnya: masa Ibnu Taimiyah).
Mereka
berkata, "Kami pemah mengepung benteng (atau kota) selama satu bulan
atau lebih. Namun, benteng tersebut menjadi penghalang masuk bagi kami
hingga kami merasa frustasi. Namun, pada saat itu penduduk kota tersebut
mencaci maki Rasulullah dan merusak kehormatan beliau. Lalu, kami pun
dapat melobangi benteng tersebut dengan mudah. Tidak butuh waktu lama
selain hanya jangka sehari, dua hari, atau kira-kira sekian waktunya.
Kemudian tempat itu pun dibuka secara paksa, dan selanjutnya terjadilah
prahara yang sangat besar di tengah-tengah mereka. Menurut penuturan
mereka, "Hingga di mana pun kami berada, kami dengan segera dapat
membuka benteng tersebut, ketika kami mendengar mereka mencaci maki
(Nabi ) dengan hati penuh amarah kepada mereka atas apa yang telah
mereka katakan terhadap Nabi."
Dalil Kedua:
Yaitu Kisah Ibnu Khathal. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim telah disebutkan hadits az-Zuhri dari Anas bin Malik : "Bahwa
Nabi masuk Makkah pada tahun Fathu Makkah, sementara beliau mengenakan
topi besi. Ketika beliau melepasnya, maka datanglah seorang lelaki dan
berkata, "Ibnu Khathal bergantung pada penutup Ka'bah. Lalu beliau
berkata, 'Bunuhtah dia.'".
Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang balasan dari
berburu (jazaa ash-shaid) (4/70, 71; hadits no. 1846).. Di-takhrij pula
oleh Baihaqi di dalam kitab as-Sunan dalam kitab pembahasan tentang
orang yang murtad (8/205).
Ini
berdasarkan riwayat yang masyhur (beredar) di antara kalangan ulama,
dan mereka telah bersepakat bahwa Rasulullah menghalalkan darah Ibnu
Khathal pada waktu Fathu Makkah dikarenakan dia telah membunuh orang,
dan diapun dibunuh. Al-Waqidi telah menuturkan bahwa Ibnu Khathal datang
dari ketinggian dataran Makkah sambil mengenakan baju besi, lalu dia
keluar hingga sampai di Khandamah. Tiba-tiba dia melihat tentara kaum
Muslimin dan melihat bau peperangan. Dia pun langsung diselimuti rasa
takut hingga badannya gemetar luar biasa. Setibanya dia di Ka'bah, dia
langsung turun dari kudanya dan melemparkan senjatanya, lalu lari menuju
Ka'bah dan masuk di antara penutup-penutup Ka'bah.
Sungguh,
kejahatan Ibnu Khathal adalah bahwa Rasulullah telah menyuruhnya untuk
membagi-bagikan sedekah dengan ditemani seseorang yang membantunya.
Suatu ketika, dia marah terhadap temannya itu karena tidak dibuatkan
makanan yang dimintanya. Akibatnya, dia pun tega membunuhnya. Namun, dia
takut akan dibunuh pula. Maka, dia pun keluar dari agama Islam (murtad)
dan menggiring/memboyong unta sedekah. Selain itu, dia juga melantunkan
syair yang berisi cercaan terhadap Rasulullah dan bahkan dia menyuruh
kedua budak wanitanya agar menyanyikan syair itu.
Dengan
demikian, dia telah melakukan tiga kejahatan sekaligus yang bisa
menghalalkan darahnya, yaitu: membunuh nyawa manusia, murtad, dan
mencerca Nabi. Ibnu Musayyib mengisahkan bahwa Abu Barzah telah
mendatanginya, sementara Ibnu Khathal dalam keadaan bergantung pada
penutup-penutup Ka'bah, lalu dia pun segera membelah perutnya. Begitu
pula, al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Barzah yang berkata, "Telah turun
berkaitan dengan diriku ayat ini, "Aku benar-benar bersumpah dengan kota
ini (Makkah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini,
(al-Balad: 1-2)." Aku telah mengeluarkan Abdullah bin Khathal dan dia
saat itu sedang bergantung pada penutup-penutup Ka'bah. Seketika, aku
langsung menebas lehemya, yaitu tepatnya berada di antara rukun dan
maqam di Ka'bah.
Dalil
petunjuk dari kisah Ibnu Khathal, bahwa bagi orang yang berhujah dengan
kisahnya Ibnu Khathal ini akan mengatakan, bahwa dia tidak dibunuh
karena telah melakukan pembunuhan terhadap nyawa orang lain. Sebab,
kebanyakan yang wajib dilakukan terhadap seorang yang telah membunuh
lalu keluar dari agama (atau murtad), dia akan dibunuh dengan cara
digantung (qisas). Sedangkan orang yang mati karena dibunuh itu
mempunyai wali. Maka hukumnya, jikalau dia dibunuh dengan cara
digantung, dia terlebih dulu diserahkan kepada wali dari orang yang
dibunuh, lalu mereka bisa saja membunuhnya, memaafkannya atau hanya
menuntut diyat (denda) saja. Begitu pula, dia tidak dibunuh karena
kemurtadannya. Sebab, orang yang murtad sebelum dibunuh terlebih dulu
diminta untuk bertaubat atau yang disebut dengan "proses istitabah".
Jika dia telah dimintai hal tersebut barulah diputuskan perkaranya.
Sedangkan Ibnu Khathal, dia lari menuju Ka'bah, berlindung di dalamnya,
mencari keselamatan, menghindari peperangan dan membuang pedangnya
hingga dilihat duduk masalahnya.
Sementara
itu, Nabi setelah mengetahui semua duduk perkaranya, langsung menyuruh
untuk membunuhnya. Dan, bukanlah hal ini sebagai sunnah Nabi terhadap
orang yang dibunuh karena kemurtadannya. Dengan demikian, tampak
nyatalah bahwa pemberatan dalam perintah untuk membunuh Ibnu Khathal ini
lebih disebabkan dia telah mencaci dan mencerca Nabi , dan bahwa orang
yang mencaci Nabi itu, sekalipun dia telah murtad, namun dia tidak
diposisikan sebagai orang yang murtad. Dia akan dibunuh tanpa melalui
proses istitabah terlebih dulu, selain bahwa pembunuhannya itu tidak
perlu ditunda-tunda. Hal itu juga sebagai legalisasi tentang bolehnya
membunuh orang ini setelah dia bertaubat.
Beberapa
ulama fiqih telah menjadikan kisah Ibnu Khathal ini sebagai dalil,
yaitu bahwa kaum Muslimin yang mencaci maki Nabi juga harus dibunuh,
meskipun dia sungguh-sungguh beragama Islam. Pendapat mereka ini
disangkal oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa Ibnu Khathal adalah
seorang kafir harbi, dan dia dibunuh karena statusnya itu. Namun,
riwayat yang benar menurut kesepakatan para ulama sirah (sejarah) adalah
dia seorang yang murtad. Dan, pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang
menyebutkkan, bahwa Nabi pada saat Fathu Makkah telah menjamin keamanan
seluruh kalangan kafir harbi, kecuali orang-orang yang melakukan
kejahatan tertentu (khusus). Dan, Ibnu Khathal termasuk orang yang
dihalalkan darahnya oleh Nabi , dan bukan yang selainnya. Dengan
demikian, nyatalah bahwa Ibnu Khathal tidak dibunuh hanya semata-mata
karena kekufuran dan status kafir harbinya itu.
Dalil Ketiga:
Yaitu Perintah Nabi untuk membunuh orang yang telah membuat kebohongan terhadapnya yang bisa mencoreng nama baiknya.
Al-Baghawi telah meriwayatkan dari Abu Buraidah dari bapaknya, bahwa
Nabi pemah mendengar seorang lelaki yang berkata kepada suatu kaum:
"Sesungguhnya Nabi telah menyuruhku untuk memutuskan perkara kalian
dengan pendapatku, dan harta-harta kalian dcngan begini dan begini ...."
Sungguh, lelaki ini telah meminang seorang wanita dari mereka pada masa
Jahiliyah, namun mereka menolak untuk menikahkannya. Kemudian, lelaki
ini pun bergegas pergi hingga tinggal serumah dengan wanita itu. Lalu,
kaum tersebut mengirim surat kepada Rasulullah dan seketika Rasulullah
pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah!"
Lalu Rasulullah mengutus seorang lelaki (utusan) dan berkata kepadanya, "Jika kamu mendapatinya masih hidup, maka bunuhlah dia! Namun, jika kamu mendapatinya telah mati, maka bakarlah dia" Utusan
itu segera berangkat, dan ternyata dia mendapati lelaki tersebut telah
disengat (binatang berbisa) hingga mati. Lalu dia pun membakarnya dengan
api. Pada saat itulah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membuat
kebohongan atas namaku dengan sengaja, maka dia mempersiapkan tempatnya
di neraka. " Hadits ini telah d\-takhrij oleh Ahmad di dalam Musnad-nya,
(3/244); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Ban,
(1/37); dan telah d\-takhhj pula oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam
at-Tarikh, (3/155).
Hadits
ini telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin 'Adi di dalam kitabnya
al-Kaamil dengan isnadnya dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya yang
berkata, pernah ada perkampungan dari Bani Laits yang berjarak dua mil
dari kota Madinah. Di sana, pemah ada seorang lelaki yang berusaha
melamar seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka
tidak berkenan untuk menikahkannya. Lalu lelaki itu pun mendatangi
mereka dengan membawa perhiasan.
Dia
berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah memakaikan perhiasan ini
kepadaku, dan menyuruhku untuk menghukumi harta dan darah kalian."
Setelah itu, dia bergegas pergi dan tinggal serumah dengan wanita yang
dia sukai itu. Kemudian kaum itu mengirim surat kepada Rasulullah dan
Rasulullah pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah." Kemudian,
Rasulullah mengutus seseorang dan berkata kepadanya, "Jika kamu
mendapatinya masih hidup dan aku tidak melihat kamu akan mendapatinya
masih hidup, maka penggallah lehernya. Namun, jika kamu mendapatinya
telah mati, maka bakarlah mayatnya." Dikatakan, demikianlah sabda
Rasulullah , "Barangsiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja,
maka berarti dia mempersiapkan tempatnya di dalam neraka." Hadits ini
isnadnya shahih menurut syarat hadits dalam kitab ash-Shahih. Kami tidak
mengetahui cacatnya.
Abu
Bakar bin Mardawaih telah meriwayatkan hadits dari Wazi', dari Abu
Salamah, dari Usamah yang berkata, Rasulullah telah bersabda:
"Barangsiapa yang mengucapkan sesuatu yang tidak pernah aku sabdakan,
maka dia telah menyiapkan tempat untuk dirinya di neraka." Telah
di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (2/501); Isnad hadits
ini hasan, namun kedudukan haditsnya (atau matannya) shahih. Di dalam
isnadnya, terdapat Muhammad bin Ishaq, dan dia adalah seorang mudallis,
dan telah membuat hadits mu'an'an. Hanya saja, hadits ini mempunyai
banyak riwayat. Dia merupakan hadits mutawatir yang telah diriwayatkan
oleh lebih dari tujuh puluh sahabat. Hal itu, karena beliau telah
mengutus seseorang untuk mendustakan lelaki ini. Lalu ternyata utusan
itu mendapatinya telah mati. Lelaki ini telah dibelah perutnya, dan
tanah pun tidak mau menerima jasadnya. Selain itu, juga terdapat riwayat
lain, bahwa ada seorang lelaki yang telah mendustakan beliau, lalu
beliau mengutus Ali dan Zubair untuk membunuhnya.
Dalil petunjuknya: Berkenaan dengan hadits ini terdapat dua pendapat:
Pendapat
pertama, mengambil yang zahir dari makna hadits, yaitu membunuh orang
yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah . Di antara ulama yang
berpendapat semacam ini, ada yang berkata, orang ini menjadi kafir
karena ulahnya itu. Sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ulama, di
antaranya adalah Abu Ahmad al-Jauni sampai perkataan Ibnu 'Uqail dari
guru atau syaikhnya Abu al-'Uqail al-Hamadani, seorang yang berbuat
bid'ah di dalam Islam, berdusta, dan memalsukan hadits ini lebih parah
daripada kaum atheis, mengingat mereka bermaksud merusak agama dari
luar, sedangkan orang-orang ini bermaksud merusak agama dari dalam.
Mereka seperti penghuni negeri yang berusaha merusak suasana negeri
tersebut, sedangkan kaum atheis seperti musuh yang datang mengepung dari
luar. Lalu, orang-orang yang menyusup ini pun membukakan pintu
bentengnya, dan mereka ini adalah musuh yang lebih jahat terhadap Islam
daripada orang-orang yang tidak berbaju Islam (kaum atheis) tersebut.
Alasan pendapat ini antara lain, adalah:
1.
Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan berdusta atas nama Allah
.Dan, barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama Allah, maka dia
adalah orang kafir.
2.
Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan mendustakannya. Padahal,
mendustakan Nabi berarti kekufuran sebaggaimana yang telah disepakati.
3.
Bahwa berdusta dengan sengaja atas nama Nabi berarti menghina dan
merendahkan Nabi . Karena, orang yang berdusta atas nama orang yang
semestinya diagungkannya, berarti dia meremehkan dan merendahkan hak
Nabi ; dan itu adalah suatu kekufuran.
4.
Bahwa orang yang berdusta atas nama Nabi pasti mencela dan mencoreng
nama baik beliau dengan ulahnya tersebut, dan barangsiapa yang telah
mencoreng nama baik Nabi , berarti dia telah menjadi kafir.
5.
Ketahuilah, bahwa pendapat ini sangat kuat sekali seperti yang Anda
lihat sendiri. Akan tetapi, dia berusaha membedakan antara orang yang
berdusta atas nama Nabi melalui ucapan langsung dengan orang yang
berdusta atas nama beliau melalui perantara, seperti misalnya dia
mengatakan, "Si fulan bin fulan telah mengatakan kepadaku begini." Maka,
orang semacam ini tidak lain telah berdusta dengan mengatasnamakan si
fulan tadi dan menyandarkan hadits itu kepadanya. Adapun bila dia
mengatakan, "Hadits ini shahih," atau terbukti dia mengatakan itu atas
pengetahuannya bahwa dia telah berdusta, maka berarti dia telah berdusta
atas nama orang tersebut. Sedangkan jika dia mereka-reka dan
meriwayatkannya sebagai riwayat yang biasa atau wajar saja, maka dalam
hal ini terdapat catatan, terlebih lagi bahwa para sahabat itu
orang-orang yang sangat adil. Wallahu A'lam.
Kebohongan
jika berasal dari salah seorang yang berada di tengah-tengah mereka
(para sahabat), maka pastilah besar mudaratnya di dalam agama.
Rasulullah di sini menginginkan untuk membunuh orang yang telah berdusta
atas nama beliau, dan juga mempercepat proses hukumannya, agar hal itu
bisa menjadi benteng/penjaga terhadap masuknya atau menyusupnya — di
tengah orang-orang adil (para sahabat) seseorang yang bukan golongan
mereka dari kalangan kaum munafik dan yang sejenisnya.
Adapun
orang yang meriwayatkan hadits, sedangkan dia mengetahui bahwa dia
telah berdusta, maka tindakannya tersebut hukumnya haram. Sebagaimana
terdapat riwayat shahih dari Nabi , yang bersabda: "Barangs/apa yang
telah meriwayatkan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa dia
telah berdusta, maka dia termasuk golongan pendusta.". Di-takhrij oleh
Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (4/250, 584); dan telah di-takhrij pula
oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir (7/180); isnadnya shahih. Di-takhrij
pula oleh Muslim di muqaddimahnya Bab Wajibnya Meriwayatkan dari rawi
yang tsiqah, juga Ibnu Majah no. 39.
Akan
tetapi dia tidak sampai menjadi kafir, kecuali bila dia menyertakan
pada riwayatnya itu motif lain yang bisa menyebabkannya menjadi kafir,
karena di sini dia jujur ketika mengatakan bahwa gurunya telah
menyampai-kan hadits dusta itu. Namun, mengingat dia tahu bahwa gurunya
telah berdusta dalam hadits itu, maka riwayat itu pun menjadi tidak
halal baginya. Schingga, tindakannya di sini dianggap seperti melakukan
kesaksian untuk menetapkan hadits itu, atau menjadi semacam kesaksian
atau transaksi Padahal, dia mengetahui bahwa tindakan itu adalah batil.
Sesungguhnya kesaksian semacam ini hukumnya haram, akan tetapi dia tidak
dinyatakan scbagai saksi palsu.
Atas
dasar pendapat inilah, maka tentunya orang yang telah mencaci maki Nabi
itu lebih berhak untuk dibunuh daripada orang yang berdusta atas
namanya. Karena, orang yang berdusta atas namanya telah menambahkan di
dalam agama sesuatu yang bukan termasuk darinya, scdangkan si pencaci
maki ini telah mencerca agama secara keseluruhan. Ketika itu, Nabi
menyuruh untuk membunuh orang yang telah berdusta atas namanya tanpa
melalui proses istitabah, maka tentunya orang yang mencaci maki beliau
lebih sepatutnya lagi diperlakukan seperti itu.
Pendapat
kedua, orang yang berdusta atas nama Nabi itu diberatkan sanksi atau
hukumannya, akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir dan juga tidak
boleh dibunuh, karena faktor-faktor yang menyebabkan orang menjadi kafir
dan dibunuh itu sangat jelas (sudah diketahui), dan faktor-faktor
tersebut tidak ada di sini. Sehingga, tidak diperbolehkan menetapkan
sesuatu yang tidak punya landasan. Barangsiapa yang berpendapat semacam
ini, maka dia harus mengikat pendapatnya itu dengan menyatakan bahwa
berbuat dusta atas nama Nabi itu tidak mengandung aib yang terlihat.
Adapun bila dia mengabarkan bahwa dia telah mendengar Nabi mengatakan
sesuatu yang secara jelas (eksplisit) menunjukkan kekurangan dan aib
Nabi , semisal keringat kuda dan kebohongan-kebohongan lainnya, maka
berarti dia telah secara jelas menghina Nabi , dan tidak syak lagi bahwa
dia itu adalah seorang kafir yang halal darahnya. Orang yang
berpendapat semacam ini menjawab hadits di atas dengan mengatakan bahwa
Nabi telah mengetahui bahwa orang itu munafik, maka beliau pun
membunuhnya karena kemunafikannya itu.
Jawaban ini tidaklah benar dikarenakan alasan-alasan berikut:
1.
Karena tidak ada di antara sunnah Nabi bahwa beliau membunuh seseorang
dari kaum munafik yang kemunafikannya telah dikabarkan oleh sumber
terpercaya atau diwahyukan oleh al-Quran. Lalu bagaimana mungkin beliau
membunuh seseorang hanya karena mengetahui kemunafikannya semata?
Kemudian beliau juga telah menyebutkan sekelompok kaum munafik kepada
Hudzaifah dan sahabat yang lainnya. Namun, beliau tidak pernah membunuh
seorang pun dari mereka. Selain itu, sebab yang tersebut dalam hadits di
atas adalah bahwa dia mendustakan hadits atas nama Nabi «|t dikarenakan
suatu tujuan, dan karenanya dia dihukum mati. Yaitu, karena orang
tersebut berdusta hanya untuk memperoleh kesenangan atau syahwatnya
saja. Tindakan semacam ini kadang bisa saja dilakukan oleh orang-orang
fasik, sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang kafir.
2.
Bisa jadi kemunafikan orang tersebut disebabkan oleh kebohongannya ini
atau oleh sebab lain yang sebelumnya. Jika ternyata kemunafikannya itu
disebabkan oleh kebohongannya ini, maka menjadi jelaslah bahwa melakukan
kebohongan atas nama Nabi itu adalah suatu kemunafikan, dan seorang
yang munafik itu adalah kafir. Namun, jika sifat munafik itu sudah ada
pada dirinya sebelumnya, dan sifat munafik inilah yang menuntut dia
harus dibunuh, bukan faktor yang lainnya, maka pertanyaannya adalah:
Mengapa perintah untuk membunuhnya ditunda sampai dia melakukan
kebohongan atas nama Nabi ini? Dan, mengapa pula Allah tidak mengazabnya
karena kemunafikannya itu hingga pada akhimya dia melakukan kebohongan
ini?
3.
Sesungguhnya orang-orang telah menyampaikan ucapan orang tersebut
kepada Nabi , lalu beliau pun berkata: "Telah berdusta musuh Allah."
Kemudian beliau pun menyuruh untuk membunuhnya jika dia ditemu-kan dalam
keadaan masih hidup. Setelah itu, beliau berkata, "Aku tidak mellhatmu
akan menemukannya dalam keadaan hidup," karena beliau mengetahui dosa
orang tersebut menyebabkan hukuman atau siksanya dipercepat.
4.
Jika Nabi menyuruh untuk membunuh atau menjatuhkan hukuman (sanksi) dan
kaffarat (tebusan) setelah dilakukannya suatu sifat atau perbuatan,
maka pastilah ganjaran (hukuman) itu ditimpakan kepada perbuatan
tersebut. Perbuatan itulah yang menuntut adanya ganjaran tersebut, bukan
yang lainnya. Sebagaimana bahwa ketika seorang Arab badui melakukan
persetubuhan (jima') pada saat menunaikan puasa Ramadhan, maka Nabi
langsung menyuruhnya untuk membayar kaffarat (tebusan), dan ketika Ma'iz
bersama wanita al-Ghamidiyyah dan juga yang lainnya mengaku telah
berbuat zina, maka Nabi pun menyuruh untuk merajamnya. Yang demikian ini
menurut sepenge-tahuan kami termasuk hal-hal yang tidak diperselisihkan
lagi di tengah banyak orang. Justeru mereka berselisih pendapat tentang
faktor yang menyebabkannya, apakah faktor itu adalah seluruh
sifat-sifat tersebut atau hanya sebagiannya saja, sedangkan sifat itu
adalah bagian dari bentuk perbaikan parameter atau yang disebut dengan
tanqiih al-manaath. Adapun menjadikan perbuatan itu tidak punya dampak
dan sebaliknya menganggap yang menyebabkan hukuman itu adalah faktor
lain yang tidak tersebut di sini, maka secara pasti ini adalah anggapan
yang batil.
Akan
tetapi, bisa saja dikatakan di sini pendapat yang lebih dekat atau
tepat dari semua ini, yaitu bahwa lelaki ini telah membuat kebohongan
atas nama Nabi yang membuat nama beliau tercemar. Karena, dia telah
mengklaim bahwa Nabi telah mengangkatnya sebagai hakim dalam urusan
darah dan harta mereka, dan juga telah mengizinkannya untuk menginap di
rumah siapa saja yang dikehendakinya, padahal maksud dari semua itu
adalah agar dia bisa menginap di rumah wanita tersebut untuk melakukan
perbuatan mesum dengannya. Di samping bahwa mereka juga tidak akan
mungkin mengingkarinya jika memang dia benar-benar ditunjuk oleh Nabi
sebagai hakim dalam urusan darah dan harta mereka.
Sudah
jelas, bahwa Nabi tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang haram. Dan,
barangsiapa yang menuduh bahwa beliau telah menghalalkan hal-hal yang
diharamkan dalam urusan darah, harta dan perkara-perkara yang keji, maka
sungguh dia telah mencoreng dan mencemarkan nama baik Nabi if. Begitu
pula jika dia menyandarkan kepada Nabi bahwa beliau memberi izin
kepadanya untuk menginap di rumah seorang wanita asing (bukan mahram)
untuk berkhalwat dengannya, dan juga bahwa dia boleh menghukumi dengan
sekehendak hatinya di tengah-tengah kaum Muslimin, maka hal semacam ini
merupakan tindakan pencemaran dan pencorengan terhadap nama baik Nabi .
Atas
dasar inilah Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang mencela dan
mencercanya tanpa melalui proses istitabah, dan hal inilah yang dimaksud
dalam pembahasan ini. Dengan demikian, menjadi nyatalah bahwa hadits di
atas sebagai landasan untuk membunuh seorang yang mencerca beliau tanpa
melalui proses istitabah menurut salah satu dari dua pendapat.
Pendapat
kedua ini diperkuat lagi bahwasanya kaum tersebut jika memang terbukti
bagi mereka bahwa ucapan lelaki ini merupakan celaan dan cercaan kepada
Nabi , niscaya mereka langsung mengingkarinya. Dan, barangkali bisa
dikatakan di sini, "Mereka ragu-ragu terhadap lelaki ini," lalu mereka
bersikap diam hingga mereka mengklarifikasikannya terlebih dulu kepada
Nabi , sewaktu terjadi pertentangan antara wajib menaati Rasulullah dan
betapa besar masalah yang dibawa oleh lelaki laknat ini. Dan, orang yang
mendukung pendapat yang pertama telah mengatakan, "Setiap kebohongan
atas nama Nabi mengandung cercaan terhadapnya." Sebagaimana yang telah
disebutkan terdahulu.
Selain
itu, lelaki ini tidak pemah menyebutkan dalam perkataannya itu bahwa
dia bermaksud mencerca dan menghina Nabi . Akan tetapi, dia hanya
bermaksud untuk memenuhi syahwatnya dengan membuat kebohongan atas nama
Nabi . Dan hal ini merupakan kebiasaan orang-orang yang dengan sengaja
melakukan kebohongan atas nama Nabi . Dia hanya bermaksud untuk
memperoleh tujuannya semata, jika memang dia tidak bermaksud untuk
meremehkan Nabi. Tujuan-tujuan itu umumnya bisa berupa harta atau
kehormatan. Sebagaimana bahwa orang jahat jika dia tidak bermaksud
sebatas menyesatkan dia hanya bermaksud untuk memperoleh kepemimpinan
agar dilaksanakan perintah-nya dan dimuliakan, atau hanya bermaksud
memperoleh keinginan-keinginan atau syahwatnya yang kasat mata saja.
Ringkasnya,
barangsiapa yang mengucapkan atau melakukan suatu kekufuran, maka dia
telah menjadi kafir karenanya, meskipun dia tidak pernah bermaksud untuk
menjadi kafir, mengingat tidak ada seorang pun yang bermaksud menjadi
kafir kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah .
Dalil Keempat:
Yaitu
dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan kekufuran orang yang telah
menyakiti Rasulullah , beserta syariat untuk membunuhnya.
Di
antara hadits-hadits ini adalah sebagai berikut: Hadits tentang seorang
badui yang sewaktu Nabi memberinya justeru dia berkata kepada beliau:
"Kamu tidak pernah berbuat kebaikan." Sehingga, kaum Muslimin bermaksud
untuk membunuhnya , lalu Nabi bersabda, "Jika kalian membiarkan lelaki
ini sewaktu mengucapkan apa yang diucapkannya itu, lalu kalian
membunuhnya, niscaya dia tetap masuk neraka." Hadits ini akan disebutkan
dalam materi hadits-hadits yang membahas tentang pengampunan Nabi
terhadap orang-orang yang telah menyakitinya.
Petunjuk
dalilnya: Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyakiti Nabi
jika dia dibunuh, maka dia tetap masuk neraka. Hal itu sebagai dalil
kekufurannya dan bolehnya dia dibunuh. Karena jika tidak, maka dia
justeru dinyatakan sebagai orang yang mati syahid, sedang pembunuhnya
termasuk penghuni neraka. Akan tetapi, Nabi telah memaafkannya, lalu
setelah itu orang itu pun memohon keridhaan beliau hingga beliau pun
ridha, mengingat sudah kebiasaan Nabi selalu memaafkan orang yang telah
menyakitinya, sebagaimana akan kita bahas nanti, insya Allah.
Hadits
lainnya, adalah bahwa sewaktu Nabi membagi-bagikan harta rampasan
perang (ghanimah), ada seorang lelaki yang berkata kepada beliau:
"Sungguh, ini pembagian yang tidak semata-mata karena Allah ." Lalu Umar
bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, biarkanlah aku membunuh orang
munafik ini." Namun, Nabi bersabda, "Ma'aadzallah (aku berlindung kepada
Allah) bila orang-orang sampai berkata aku membunuh para
sahabatku.".Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam Muslim, dalam kitab
pembahasan Zakat (2/740); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam
kitab Fathul Ban Syarh al-Bukhari, (12/291); juga telah di-takhrij oleh
Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/244); dan juga telah
di-takhrij oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir,
(2/185). Kemudian beliau mengabarkan bahwa akan muncul dari anak cucu
orang itu nanti kaum yang akan membaca al-Quran, namun bacaan itu tidak
sampai melewati pangkal tenggorokan mereka, lalu beliau menyebutkan
hadits tentang kelompok Khawarij, (HR. Muslim).
Dalil
petunjuknya: Di sini, Nabi sebenamya tidak melarang Umar bin Khattab
untuk membunuh orang tersebut, jika bukan karena beliau khawatir
orang-orang akan berkata, "Muhammad membunuh para sahabat-nya." Beliau
juga tidak melarang itu untuk dirinya meskipun dia seorang yang ma'shum
(terhindar dari dosa). Sebagaimana beliau telah berkata di dalam hadits
tentang kisah Hatib bin Abu Balta'ah, yaitu sewaktu Hatib mengatakan,
"Aku tidak melakukan itu karena kufur, juga bukan karena benci terhadap
agamaku, dan juga bukan karena ridha dengan kekufuran setelah masuk
Islam." Ketika itu Nabi ^ berkata, "Dia sungguh telah membenarkan
(agama) kalian.". Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di
dalam kitab pembahasan tentang tafsir, hadits no. 4608; juga telah
d\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab pembahasan tentang keutamaan,
(4/1941, 1942); dan juga telah d'htakhrij oleh Imam Ahmad di dalam
kitab Musnad-nya, (1/80).
Lalu
Umar berkata, "Biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini."
Namun, Nabi berkata, "Dia pernah ikut perang Badar. Tahukah kamu,
bahwasanya Allah melihat kepada sahabat yang ikut perang Badar dan Dia
berfirman, "Berbuatlah sekehendakmu, sungguh Aku telah mengampuni
dosa-dosa kalian." Di sini, Nabi menjelaskan bahwa Hatib tetap dalam
keimanannya dan bahwa dosa-dosa yang telah dilakukannya itu termasuk
kategori dosa-dosa yang akan diampuni. Dengan demikian, maka darah atau
keselamatannya pun harus dilindungi.
Di
sini, beliau ber'illat (berargumen) dengan kerusakan yang telah hilang
(tiada). Dari sini jelaslah, bahwa membunuh orang yang mengucapkan
perkataan semacam itu, jika tidak berekses atau berbuntut timbulnya
kerusakan setelah itu, hukumnya boleh-boleh saja. Dan, begitu pula jika
kerusakan ini tidak ada, maka Allah telah menurunkan firman-Nya,
"Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu,
dan bersikap keraslah terhadap mereka," (at-Taubah: 73), setelah
sebelumnya Dia berfirman kepada Nabi , "Dan janganlah kamu menuruti
orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu
hiraukan gangguan mereka," (Al-Ahzab: 48). Zaid bin Aslam mengatakan
bahwa ayat, "Ber-jihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang
munafik ...," (at-Taubah: 73), itu me-nasakh (menghapus) ayat yang
sebelumnya.
Di
antara peristiwa yang serupa dengan kejadian ini adalah bahwa Abdullah
bin Ubay sewaktu berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke
Madlnah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang
lemah daripadanya," (al-Munafiqun: 8), dan berkata, "Janganlah kamu
memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi
Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah),"
(al-Munafiqun: 7). Maka, seketika itu Umar pun meminta izin untuk
membunuhnya. Namun, Nabi malah berkata, "Kalau
demikian, banyak orang di Madinah nanti yang akan gemetar/lari
karenanya," dan beliau juga berkata, "Niscaya orang-orang akan berbicara
bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya." Kisah ini sudah sangat masyhur dan disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Dalil
petunjuknya: Bahwa orang yang telah menyakiti Nabi dengan melontarkan
perkataan semacam ini boleh dibunuh, dan hal itu jika bisa dilakukan. Namun,
Nabi mengabaikan untuk membunuh orang tersebut jika dikhawatirkan
pembunuhannya itu justru berimplikasi larinya banyak orang dari ajaran
Islam sewaktu Islam masih dalam kondisi lemah. Di
antara hadits lainnya, adalah bahwa Nabi ketika bertanya, "Siapa yang
mau memahami uzurku terhadap seseorang yang telah menyakiti keluargaku?"
Lalu Sa'ad bin Mu'adz berkata, "Saya mau memahami uzurmu. Jika temyata
dia berasal dari suku Aus, maka pasti aku penggal lehemya." Kisah ini
sangat masyhur.
Dalil
petunjuknya: Ketika hal itu tidak dipungkiri atas beliau, maka beliau
menyatakan bahwa orang yang telah menyakiti dan mencela Nabi itu boleh
dipenggal lehernya. Perbedaan antara Ibnu Ubay dan orang-orang lainnya
yang berbicara tentang Aisyah , adalah bahwa Ibnu Ubay sewaktu
membicarakan Aisyah (atau menuduhnya berzina), itu sebenarnya bermaksud
untuk mencela Nabi , mencercanya, menimpakan aib kepadanya, dan
mengucapkan kata-kata yang berpretensi untuk mencorengnya. Oleh karena
itu, para sahabat pada saat itu berkata, "Kami akan membunuhnya."
Berbeda dengan Hassan, Misthah, dan Hamnah. Mereka sama sekali tidak
bermaksud demikian, dan tidak pula mengucapkan kata-kata yang
berpretensi kepada hal-hal tersebut. Karena itulah, Nabi meminta maaf
untuk membunuh Ibnu Ubay dan tidak membunuh yang lainnya. Dan karena itu
pula, orang-orang ribut hingga hampir terjadi perang antara dua
perkampungan.
Dalil Kelima:
Yaitu dalil dari as-Sunnah yang menunjukkan kekufuran orang yang telah mencerca Rasulullah beserta syariat untuk membunuhnya.
Di
antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini adalah sebagai
berikut: Hadits yang diriwayatkan dari asy-Sya'bi yang berkata: Ketika
Rasulullah menaklukkan kota Makkah, beliau meminta harta Uzza lalu
menabur-kannya di hadapannya. Kemudian beliau memanggil seseorang yang
beliau sebut namanya, lalu memberikan kepadanya bagiannya. Kemudian
beliau memanggil Abu Sufyan bin Harb, lalu memberikan kepadanya
bagiannya. Kemudian beliau memanggil Sa'ad bin Harits, lalu memberikan
kepadanya bagiannya. Kemudian beliau memanggil sekumpulan orang-orang
Quraisy, lalu beliau pun memberi mereka. Beliau memberi seseorang
sebutir emas seberat 50 mitsqal dan seberat 70 mitsqal dan yang
semisalnya. Lalu ada seorang lelaki berkata, "Sungguh, engkau sangat
tahu kemana engkau meletakkan biji emas!" Lalu lelaki kedua mengucapkan
perkataan yang sama, namun Nabi berpaling darinya. Lalu lelaki ketiga
berkata: "Sungguh engkau menghukumi, tapi aku tidak melihatmu berlaku
adil." Beliau pun berkata, "Celakalah kamu! Kalau begitu, tidak ada
seorang pun yang adil setelahku." Kemudian Nabi memanggil Abu Bakar dan berkata, "Pergilah dan bunuhlah dial" Lalu
Abu Bakar pun pergi, namun dia tidak menemukan lelaki tersebut. Lalu
Nabi pun bersabda, "Sekiranya engkau membunuhnya, aku berharap dia
sebagai orang yang pertama dan yang terakhir dari mereka."
Dalil
petunjuknya: Hadits ini menetapkan untuk membunuh seseorang yang
mencerca Rasulullah tanpa melalui proses istifabah. Dan, ini bukanlah
kisah pembagian harta rampasan perang Hunain, dan juga bukan pembagian
emas lantak (batangan) yang dibawa Ali dari Yaman, melainkan kisah
tentang pembagian harta Uzza yang terjadi sebelum peristiwa-peristiwa
tersebut. Penghancuran patung Uzza itu terjadi sebelum peristiwa Fathu
Makkah, tepatnya pada akhir bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah.
Sementara harta rampasan perang Hunain dibagi-bagikan setelahnya di
suatu tempat yang bemama Ji'ranah pada bulan Dzulqa'dah, dan pembagian
emas yang dibawa Ali teijadi pada tahun kesepeluh Hijriyah.
Hadits
ini hukumnya mursal dan bersumber dari Majalid. Di dalam sanadnya
terdapat rawi yang lemah. Akan tetapi, ada riwayat lain yang bisa
menguatkan maknanya, yaitu bahwa Umar telah membunuh seorang lelaki yang
tidak puas terhadap putusan Nabi , dan juga rurun wahyu yang
membenarkan tindakan tersebut. Dan, dosanya pun lebih ringan daripada
dosa ini.
Selain
itu, disebutkan pula dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim riwayat dari
Sa'id, dari Nabi berkaitan dengan hadits orang yang mencela beliau
dalam masalah pembagian emas yang dibawa Ali dari Yaman, dan orang itu
pun mengatakan, "Wahai Rasulullah, takutlah kepada Allah ." Pada wakru
itu, beliau pun bersabda: "Sesungguhnya akan muncul dari anak cucu orang
ini suatu kaum yang afcan membaca Kitab Allah dengan suara yang merdu,
namun bacaan itu tidak sampai ke pangkal tenggorokan mereka. Mereka
keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Mereka
membunuhi orang-orang Islam dan meninggalkan para penyembah berhala.
Jika aku sampai menemui mereka, niscaya aku bunuh mereka seperti
pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum 'Aad. ". Hadits ini di-takhrij
oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang peperangan,
(7/665, hadits no. 4351); dan juga telah di-takhrij oleh Imam Muslim di
dalam kitab pembahasan tentang zakat, (2/742, 743).
Dalil
petunjuknya: Hadits ini dan yang semisalnya sebagai dalil bahwa Nabi
telah menyuruh untuk membunuh golongan dari lelaki yang telah mencela
beliau, dan memberitahukan bahwa orang yang mampu membunuh mereka akan
mendapatkan pahala. Beliau juga bersabda, "Jikalau aku sampai menemui
mereka, niscaya akan aku bunuh mereka seperti pembunuhan yang dilakuksn
terhadap kaum 'Aad," dan juga menyebutkan bahwa mereka adalah kaum yang
paling buruk akhlak dan bentuk ciptaannya.
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dan yang lainnya dan Abu
Umamah disebutkan, bahwa Nabi bersabda: "Mereka adalah sejelek-jelek
kaum yang mati terbunuh di bawah kolong langit (atau di bumi), sedangkan
sebaik-baik orang yang mati terbunuh adalah orang-orang yang telah
mereka bunuh."
Intinya,
barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi tidak adil dalam pembagiannya,
sedangkan Nabi mengatakan bahwa beliau melakukan itu atas perintah Allah
, maka orang itu tidak lain adalah orang yang mendustakan Nabi.
Barangsiapa yang mengklaim bahwa Nabi tidak adil dalam masalah putusan
atau pembagiannya, maka berarti dia telah mengklaim bahwa beliau berlaku
zalim dan bahwa mengikutinya menjadi tidak wajib, dan dia pun
menyelisihi apa yang terkandung dalam risalah yang berupa keamanahan
Nabi, kewajiban unruk menaatinya, serta hilangnya dosa dari badan oleh
karena keputusan beliau melalui perkataan dan perbuatannya. Karena, Nabi
telah menyampaikan dari Allah bahwa Dia (Allah) telah mewajibkan untuk
menaatinya dan tunduk terhadap hukumnya, dan bahwa dia tidak akan
menzalimi siapa pun. Maka, barangsiapa yang mencerca putusan dan
pembagiannya ini, maka dia sungguh telah mencerca ajakannya; dan itu
berarti dia mencerca kerisalahannya. Dengan demikian, maka terbuktilah
keshahihan riwayat orang yang telah meriwayatkan hadits: "Lalu siapa
lagi orang yang berbuat adil, bila ternyata aku saja tidak bisa berbuat
adil? Sungguh, kamu pasti merugi jika aku saja tidak bisa berbuat adil."
.Hadits ini di-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan
tentang istitabah terhadap orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no.
6933); juga telah di-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan
al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum
pembangkang (bughat), (8/171); dan juga telah d\-takhrij oleh Imam
al-Hakim di dalam a/-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan
terhadap kaum pembangkang, (2/145).
Karena,
orang yang mencerca ini juga mengatakan bahwa beliau (Muhammad) adalah
utusan Allah dan bahwa wajib baginya untuk membenarkan dan menaatinya.
Jika dia mengatakan bahwa Nabi tidak berbuat adil, maka berarti dia
telah membenarkan seseorang yang tidak adil dan tidak dapat dipercaya
(tidak amanah), dan barangsiapa yang mengikuti orang semacam ini,
pastilah dia akan merugi.
Sebagaimana
Allah telah menyifati atau menggambarkan bahwa mereka termasuk
orang-orang yang benar-benar merugi, sekalipun mereka menganggap bahwa
mereka selalu melakukan sesuatu yang terbaik. Di samping bahwa orang
yang tidak percaya terhadap masalah harta, berarti dia tidak akan pemah
percaya terhadap masalah yang lebih besar darinya. Oleh karena itu, Nabi
bersabda: "Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah
kepercayaan yang ada di langit?! Berita dari langit selalu datang
kepadaku pagi dan sore.". Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam
al-Bukhari dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/666, hadits no.
4351); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan
zakat, (2/742); dan juga telah di-takrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab
Musnaf-nya, (3/4). Sabda Nabi : "Mereka adalah kaum yang paling jelek
akhlak dan bentuk ciptaannya.".
Hadits
ini telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarfi
al-Bukhari, (12/286); juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu
Dzar yang berkaitan dengan gambaran kelompok Khawarij, yaitu, "Mereka
adalah kelompok yang paling buruk akhlak dan ciptaannya." Juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid (baik), semisal
dari Anas. Dan sabda beliau: "Mereka adalah sejelek-jelek orang yang
mati terbunuh di bawah kolong langit." .Hadits ini telah dt-takhrij oleh
Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (5/256); juga telah di-takhrij
oleh Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang
pembunuhan terhadap kaum pembangkang (bughat), (2/149); dan Imam
al-Hakim berkata: Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan
telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.
Ini
sebagai dalil bahwa mereka termasuk golongan orang-orang munafik.
Sebab, orang-orang munafik itu lebih buruk keadaannya daripada
orang-orang kafir. Sebagaimana disebutkan bahwa firman Allah :
"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat."(at-Taubah:58)
Ayat
ini turun berkenaan dengan mereka. Demikian pula dinyatakan dalam
hadits Abu Umamah, bahwa firman Allah: “Mengapa kamu kafir sesudah kamu
beriman." (AH Imran: 106)
Ayat
ini juga turun berkenaan dengan mereka. Yang demikian ini bukan
termasuk masalah yang diperselisihkan jika mereka secara terang-terangan
mencerca dan mencela Nabi , seperti yang dilakukan oleh orang-orang
yang mencela beliau itu. Jika telah nyata melalui hadits-hadits shahih
ini bahwa Nabi menyuruh untuk membunuh orang-orang yang termasuk
kelompok lelaki yang telah mencela beliau ini di manapun mereka berada,
juga mengabarkan bahwa mereka itu orang-orang yang paling buruk bentuk
ciptaannya, serta telah terbukti bahwa mereka termasuk golongan
orang-orang munafik, maka hal itu adalah sebagai dalil tentang
keshahihan makna hadits asy-Sya'bi yang berkenaan dengan kelayakan atau
keabsahan mereka untuk dibunuh.
SYUBHAT(Sanggahan)
:Mengapa Nabi Mencegah Membunuh Orang yang Telah Mencelanya Tersebut?
Kini, pertanyaan yang tersisa adalah: Mengapa Rasulullah mencegah untuk
membunuh orang yang telah mencelanya itu, walaupun beliau telah menyuruh
untuk membunuh golongannya, dan mengabarkan bahwa mereka adalah
sejelek-jelek makhluk ciptaan, dan juga bahwa mereka adalah
sejelek-jelek orang yang mati terbunuh di bawah kolong langit?
Kita
jawab: Hadits asy-Sya'bi memaparkan tentang awal mula muncul-nya
orang-orang semacam ini. Yang lebih serupa lagi, Wallahu A'lam, bahwa
Nabi menyuruh untuk membunuh orang itu untuk pertama kali semata-mata
agar selesai atau tuntas urusan mereka, meskipun beliau akhirnya
memaafkan kebanyakan orang-orang munafik itu, mengingat beliau khawatir
pembunuhan orang itu bisa berekses pada tersebarnya kerusakan terhadap
umat ini setelahnya. Oleh karena itu, beliau bersabda, "Kalaupun engkau
membunuhnya, maka aku berharap dia adalah orang yang pertama dan yang
terakhir dari mereka." Dan, kemaslahatan yang diperoleh pun lebih besar
dari kekhawatiran Nabi akan larinya banyak orang, karena membunuh orang
itu.
Manakala
orang itu tidak diketemukan dan dia pun urung dibunuh, sedangkan Nabi
sebenamya memiliki ilmu yang telah diwahyukan Allah kepadanya yang
merupakan keutamaan yang diberikan Allah kepadanya, dan seolah-olah
beliau telah mengetahui bahwa orang-orang seperti mereka ini pasti
muncul, dan bahwa beliau tidak berkeinginan untuk mengusut mereka,
seperti ketika beliau mengetahui bahwa Dajjal pasti akan keluar, maka
pada saat itu, beliau pun melarang Umar untuk membunuh Ibnu Shayyad dan
bersabda: "Jika dia memang benar adalah (Dajjal-ed.), maka kamu tidak
akan bisa menguasainya, dan jika bukan, maka tidak ada kebaikan bagimu
membunuhnya."
Hal
ini pula yang menyebabkan beliau setelah itu melarang Umar untuk
membunuh Dzulkhuwaishirah sewaktu dia mencela Nabi dalam masalah
pembagian harta rampasan perang Hunain. Begitu pula ketika Umar berkata:
"Izinkanlah aku untuk memenggal lehernya," beliau bersabda, "Biarkanlah
dia, karena dia punya banyak kroni (pengikut), yang membuat seorang
dari kalian akan menghinakan shalatnya bersama mereka dan puasanya
bersama mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah
dari busurnya " Lihat Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang meminta
bertaubat bagi orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no. 6933); juga
telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang zakat,
(2/744); juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab
Musnad-nya, (3/56); dan juga telah d\-takhrij oleh al-Baihaqi di dalam
kitab as-Sunan al-Kubra, (8/171).
Sampai
perkataan beliau , "Mereka akan keluar pada saat muncul sekelompok
manusia." Di sini, Nabi menyuruh untuk membiarkan orang itu mengingat
dia mempunyai banyak kroni (pengikut) yang akan muncul setelah itu.
Dengan demikian, nyatalah bahwa ilmu Nabi tentang kepastian akan keluar
atau munculnya kroni-kroni itu mencegah beliau membunuh orang, mengingat
hal itu menyebabkan orang-orang akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh
para sahabatnya yang shalat bersamanya, dan juga menyebabkan banyak
orang lari (keluar) dari ajaran Islam, tanpa ada suatu kemaslahatan yang
bisa menghapus kerusakan ini. Di samping bahwa kebiasaan Nabi itu
selalu memaafkan orang-orang yang telah menyakiti-nya secara mutlak.
Dengan
demikian, jelaslah sebab mengapa beliau dalam sebagian hadits berdalih
bahwa orang itu masih melakukan shalat, lalu dalam sebagian hadits lain
berdalih dengan alasan agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad
membunuh para sahabatnya, dan pada sebagian hadits lainnya lagi berdalih
bahwa orang itu punya banyak kroni yang akan keluar. Dan, insya Allah,
hadits-hadits tersebut akan disebutkan nanti, meskipun sebenarnya
hadits-hadits itu juga selayaknya disebutkan dalam ruang pembahasan ini.
Dari
sini, maka nyatalah bahwa setiap orang yang mencela Nabi berkaitan
dengan putusannya atau pembagiannya, maka dia wajib dibunuh, sebagaimana
beliau menyuruh itu pada masa hidupnya dan setelah wafatnya.
Adapun beliau memaafkan orang yang mencelanya itu semasa hidupnya,
seperti juga beliau memaafkan orang-orang munafik yang telah
menyakitinya, itu dikarenakan beliau telah mengetahui bahwa mereka akan
muncul dalam umat ini secara pasti, di samping bahwa manfaat dari
membunuh orang itu pun tidak banyak. Justeru, membunuh seluruh
orang-orang munafik itu bisa mendatangkan kerusakan yang lebih besar.
Perbedaan Antara Celaan yang Menyebabkan Pelakunya Menjadi Munafik dan
Kafir dan Antara Koreksi yang Dilakukan Sejumlah Kalangan Sahabat
Terhadap Rasulullah
Dalam
konteks ini bisa saja muncul pertanyaan: Apakah perbedaan antara ucapan
para pengumpat Nabi ini dalam artian sebagai bentuk kemunafikan yang
bisa menyebabkan mereka menjadi kafir dan halal darahnya, dan bahkan
menjadikan keturunan mereka sebagai makhluk yang paling jelek dan antara
riwayat yang mengisahkan tentang kemarahan kaum Quraisy dan kaum Anshar
terhadap beliau ?
Dalam
hadits shahih yang diriwayatkan Abu Sa'id disebutkan, bahwa Nabi
sewaktu membagikan emas hanya di antara empat orang saja. Maka,
orang-orang Quraisy dan kaum Anshar menjadi berang dan berkata, "Engkau
memberikannya kepada para pembesar Najed dan mengabaikan kami?" Lalu
beliau menjawab, "Sesungguhnya hal itu aku lakukan untuk melunakkan hati
mereka. "35 Lalu menghadaplah seorang lelaki yang cekung kedua matanya,
lalu Nabi pun menyampaikan hadits tentang orang yang mencelanya.. Lihat
Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/649-650,
hadits no. 4331); juga telah d'\-takhrij oleh Imam Nasa'i dalam kitab
pembahasan tentang pengharaman darah, bab: orang yang menghunus
pedangnya, (7/118); juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab
Musnad-nya, (3/73); dan juga telah di-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di
dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (6/339).
Imam
Muslim telah meriwayatkan hadits tentang kemarahan kaum Anshar
berkenaan dengan pembagian harta rampasan perang Hunain. Dari Anas bin
Malik bahwa beberapa orang dari kaum Anshar pada waktu perang
Hunain—tepatnya ketika Allah menganugerahkan harta rampasan perang milik
kaum Hawazin kepada Rasulullah -H, lalu beliau memberi orang-orang
Quraisy seratus onta—mereka berkata: "Semoga
Allah mengampuni dosa Rasulullah yang hanya memberi orang-orang Quraisy
dan melupakan kami, sementara pedang-pedang kami meneteskan darah
mereka?!"
Dalam
riwayat lain disebutkan: Ketika Makkah telah ditaklukkan, maka
dibagilah harta rampasan di antara orang-orang Quraisy, lalu kaum Anshar
berkata, "Betapa ini sangat aneh! Sungguh pedang-pedang kami bersimbah
darah mereka, sementara harta rampasan perang kami malah dikembalikan
kepada mereka!" Dalam riwayat lain, kaum Anshar berkata, "Ketika kondisi susah, maka kami dipanggil, namun ternyata harta rampasan perang (ghanimah) diberikan kepada selain kami!"
Anas berkata: Lalu aku sampaikan ucapan mereka itu kepada Rasulullah,
lalu beliau mengirim utusan kepada kaum Anshar untuk mengumpulkan mereka
pada suatu kubah dari kuburan, dan tidak mengundang selain mereka.
Ketika mereka telah berkumpul, maka Rasulullah pun mendatangi mereka
dan bersabda: "Apa komentar / ucapan yang bisa kudengar dan kalian?".
Lalu para ahli fiqih dari kaum Anshar berkata, "Adapun orang-orang yang
berakal dari kami, mereka tidak mengucapkan komentar apa pun, sedangkan
sebagian orang dari kami ada yang berkata, "Semoga Allah mengampuni
Rasulullah yang hanya memberi kaum Quraisy dan meninggalkan kami,
padahal pedang-pedang kami bersimbah dengan darah-darah mereka?" Lalu
Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya aku memberi kepada orang-orang
yang baru saja meninggalkan kekufuran guna melunakkan hati mereka.
Tidakkah kalian ridha bila orang-orang itu pergi dengan membawa harta
sedangkan kalian pulang ke rumah kalian dengan membawa Rasulullah ? Apa
yang kalian dapat itu lebih baik daripada apa yang mereka bawa." Mereka
berkata, "Benar, wahai Rasulullah, sungguh kami telah ridha/rela."
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya kalian akan memperoleh kekayaan
setelahku, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan
Rasul-Nya." Mereka berkata, "Kami akan selalu bersabar." Lihat Fathul
Bari dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/649, 650, hadits no.
4331); hadits ini juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab
pembahasan tentang zakat, (2/735); dan juga telah d\-takhrij oleh Imam
Ahmad dalam kitab Musnacf-nya, (3/166).
Tidak
ada sedikit pun dalam perkataan salah seorang dari kaum mukminin
Quraisy, Anshar, dan yang lainnya berisi tuduhan tentang kelaliman
Rasulullah , pembolehan hal itu terhadapnya, juga tuduhan kepadanya
bahwa beliau telah membuat pengkhususan dalam pembagian itu karena
menuruti hawa nafsu dan mencari kekuasaan, serta pe-nyandaran/penisbatan
kepadanya bahwa beliau tidak meniatkan keridhaan Allah dengan pembagian
itu, dan lain sebagainya dari perkataan-perkataan kaum munafik yang
sejenisnya. Kelompok yang menggunakan akal mereka alias kelompok
mayoritas /jumhur sama sekali tidak mengeluarkan komentar apa pun.
Mereka ridha terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka. Mereka malah berkata, "Allah telah mencukupi kami. Allah
dan Rasul-Nya nanti akan memberikan keutamaan-Nya kepada kami."
Sebagaimana yang telah dituturkan oleh para ahli fiqih Anshar, "Adapun
orang-orang itu, maka mereka tidak mengatakan apa pun."
Sedangkan
orang-orang yang mengucapkan komentar dan yang lainnya, maka mereka
berpendapat bahwa Nabi membagi-bagikan harta itu tidak lain demi
kemaslahatan agama Islam. Nabi tidak akan menempatkan harta itu di suatu
tempat melainkan penempatannya itu pasti lebih utama daripada
penempatannya di tempat lainnya; dan ini merupakan suatu hal yang tidak
pernah mereka ragukan lagi.
Adapun
ilmu untuk mengetahui sisi maslahat itu terkadang diperoteh melalui
perantaraan wahyu, dan terkadang diperoleh melalui upaya ijtihad. Mereka
tidak mengetahui tindakan itu dari diri Nabi , sedangkan Nabi bersabda,
"Sesungguhnya itu atas perintah wahyu dari Allah." Karena, barangsiapa
yang membenci tindakan itu atau menentangnya setelah Nabi mengatakan hal
itu, maka dia adalah seorang kafir yang mendustakan Nabi . Mereka juga
memperbolehkan bilamana pembagian Nabi itu merupakan ijtihad. Mereka
selalu berkonsultasi kepada Nabi dalam melakukan ijtihad tentang
urusan-urusan duniawi yang berkaitan dengan kemaslahatan agama; dan itu
adalah pembahasan yang boleh dia lakukan atas dasar ijtihadnya sendiri
menurut kesepakatan umat Islam. Terkadang mereka menanyakan kepada Nabi
suatu masalah, namun bukan untuk mengkonsultasikannya, akan tetapi agar
merasa mantap terhadapnya, memahami sunnah-sunnah beliau, dan mengetahui
'illat atau alasannya. Dan, bentuk konsultasi mereka yang sangat
masyhur itu tidak terlepas dari dua faktor ini, yaitu:
1.Bisa
jadi konsultasi itu untuk melengkapi pandangan Nabi terhadap masalah
itu, jika memang masalah itu termasuk masalah-masalah politik yang boleh
diselesaikan melalui pintu ijtihad.
2.Atau,
agar semuanya menjadi jelas bagi mereka jika Nabi telah menyebutnya,
dan mereka pun akan semakin bertambah ilmu dan keimanannya, serta
terbuka baginya jalan untuk memahami masalah tersebut.
3.Di
antara bentuk-bentuk konsultasi itu, adalah konsultasi yang dilakukan
oleh Hubab bin Munzir sewaktu beliau , mengambil sebuah posisi di Badar.
Hubab bertanya, "Wahai Rasulullah, tempat yang engkau duduki ini,
apakah ini adalah tempat yang diperintahkan Allah kepada engkau untuk
diduduki, sehingga kami tidak bisa menentangnya? Ataukah ini hanya
sebuah pendapat, bentuk perang dan tipu muslihat strategi?" Lalu
Rasulullah menjawab, "Ini hanya pendapat, perang dan tipu muslihat." .
Hubab kemudian berkata, "Bukanlah tempat ini posisi ideal untuk
berperang." Lalu Rasulullah pun menerima pendapatnya dan berpindah ke
tempat yang lainnya .Lihat Jafsir al-Qurthubi, (7/375); Hadits ini juga
telah diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam kitab S/ra/5-nya, (2/66);
al-Albani berkata; Ibnu Ishaq berkata: Aku sampaikan hadits ini dari
orang-orang Bani Salamah. Mereka menuturkan bahwasanya orang tersebut
adalah Hubab bin Munzir. Hadits ini sanadnya dha'if (lemah) mengingat
tidak diketahuinya perantara antara Ibnu Ishaq dan orang-orang dari Bani
Salamah itu. Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam al-Hakim di
dalam kitabnya al-Mustadrak (3/426), dan diikuti oleh Imam Dzahabi, dan
dia berkata, "Hadits munkar dan sanadnya lemah."
4.Begitu
pula sewaktu Nabi ingin berdamai dengan Bani Ghathfan pada perang
Khandaq atas separoh kurma Madinah, lalu Sa'ad bin Mu'adz datang bersama
sekelompok kaum Anshar dan berkata, "Wahai Rasulullah, bapak dan ibuku
jadi tebusan, apakah sesuatu yang akan engkau berikan kepada mereka ini
berasal dari perintah Allah kepadamu, sehingga yang ada hanya mendengar
dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ataukah itu berangkat dari
pendapatmu sendiri?" Nabi menjawab, "Ini berasal dari pendapatku
sendiri, karena aku melihat kaum ini memberikan harta, lalu mengumpulkan
untuk kalian apa yang kalian lihat dari berbagai kabilah. Sesungguhnya
kalian adalah sebuah kabilah, maka aku ingin membayar sebagian mereka.
Kita akan memberi mereka sesuatu dan menegakkan bagi sebagian mereka
yang telah membeli dengan sesuatu tersebut apa yang turun, wahai kaum
Anshar." Lalu Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh kami
pernah berada dalam kesyirikan dan mereka tidak berambisi untuk
mengambil dari kami separuh bagian itu." Atau seperti yang dikatakannya.
Dalam riwayat lain disebutkan: "Mereka tidak akan memakan kurma kecuali
senang atau karena itu makanan jamuan. Lalu bagaimana dengan hari ini,
sementara Allah bersama kita dan engkau di antara kami?! Kami tidak akan
memberi mereka, dan tidak ada kemuliaan untuk mereka!" Kemudian dia pun
meraih lembar kertas kertas itu, lalu meludahinya dan membuangnya.
Adapun
dari segi pendapat dan dugaan di dunia, sungguh Nabi sewaktu ditanya
tentang talqiih (penyerbukan kurma) beliau menjawab, "Aku tidak menduga
bisa memuaskan itu. Sebenamya aku hanya menduga saja, maka janganlah
kalian menyalahkanku oleh karena dugaan itu. Akan tetapi, jika aku
mengatakan sesuatu dari Allah kepada kalian, maka lakukanlah itu.
Sungguh, aku tidak akan pernah berdusta atas nama Allahj."38 (HR.
Muslim) 38. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab
pembahasan tentang keutamaan, (4/1835); juga telah d\-takhrij olejh Ibnu
Majah dalam kitab pembahasan tentang gadaian (rahn), hadits no. 2470;
juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (1/162,
163); dan juga disebutkan di dalam kitab Musykil al-Atsaar, (2/294).
Dalam
hadits lain disebutkan sabda Nabi: "Kalian lebih tahu tentang urusan
dunia kalian, sedang apa yang berkenaan dengan masalah agama kalian maka
hal itu serahkan kepadaku. ". Hadits telah d\-takhrij oleh Imam Muslim
dalam kitab pembahasan tentang keutamaan, (4/1836).[/b]
Di
antara dalil lainnya dari pembahasan ini adalah hadits Sa'ad bin Abu
Waqqash yang berkata, "Rasulullah telah memberi sekelompok orang dan
waktu itu aku sedang duduk. Lalu beliau melupakan salah seorang dari
mereka yang paling aku kagumi, lalu aku pun berdiri dan berkata kepada
beliau, wahai Rasulullah, engkau memberi si fulan dan si fulan, namun
melupakan si fulan, padahal dia adalah seorang yang beriman." Lalu
beliau berkata, ". . . atau dia adalah seorang Muslim. " Sa'ad
menanyakan hal ini kepada beliau sampai tiga kali, dan beliau pun
menjawabnya dengan jawaban yang sama. Kemudian beliau bersabda,
"Sesungguhnya aku memberi seseorang dan juga yang selainnya itu lebih
aku sukai daripadanya karena takut dia akan dijungkirkan di dalam
neraka. " (Muttafaq 'Alaih). Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab
pembahasan tentang Jum'at, (2/468, hadits no. 923); dan hadits ini juga
telah d\-takhhj oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang Iman,
(1/132).
Di
sini, Sa'ad bin Abu Waqqash mengkonsultasikan masalah ini kepada Nabi
agar beliau menjelaskan tentang orang itu. Hal itu tidak lain karena
Sa'ad berpandangan bahwa orang itu sepatutnya diberi, atau agar dia tahu
alasan mengapa Nabi mengabaikannya, padahal beliau memberi yang
lainnya. Lalu, Nabi pun menjawabnya tentang dua hal dimuka. Beliau
berkata: Sesungguhnya pemberian itu bukan karena faktor iman, akan
tetapi aku memberi dan menahannya. Dan, orang yang tidak aku beri itu
lebih aku sukai daripada orang yang aku beri. Sebab, orang yang aku beri
itu, jikalau dia tidak aku beri, niscaya dia akan menjadi kafir.
Karena
itu, aku memberinya agar bisa menjaga keimanannya dan tidak
memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang menyembah Allah karena
ragu-ragu. Sedangkan orang yang tidak aku beri, dia mempunyai keyakinan
dan keimanan yang membuatnya tidak akan tergiur terhadap materi. Orang
semacam ini lebih aku sukai dan bahkan bagiku dia jauh lebih mulia. Dia
berpegang teguh kepada tali Allah dan Rasul-Nya dan meminta ganti bagian
dunianya dengan bagian agamanya, seperti yang telah diperlihatkan oleh
Abu Bakar dan sahabat lainnya, dan seperti yang ditunjukkan pula oleh
kaum Anshar manakala orang-orang Thalqa' dan Najed pergi dengan membawa
kambing dan onta sementara mereka pulang hanya bersama Rasulullah .
Kemudian,
kalaupun pemberian itu hanya diukur menurut tingkat keimanan semata,
lalu dari mana kamu tahu bahwa dia adalah seorang yang beriman? Bahkan,
bisa jadi dia seorang Muslim, akan tetapi di dalam hatinya tidak ada
keimanan! Sesungguhnya Nabi lebih tahu daripada Sa'ad untuk memilah mana
orang yang beriman dan yang bukan, mengingat beliau sangat mampu untuk
melakukan hal itu. Di antara dalil lainnya lagi, adalah hadits yang
telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim bin
al-Harits, bahwa ada seseorang yang berkata, "Wahai Rasulullah, engkau
telah memberi 'Uyainah bin Hishn dan Aqra' bin Haabis seratus, sementara
engkau melupakan Ju'ail bin Suraqah adh-Dhamri. Lalu Rasulullah
bersabda: "Ketahuilah, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh
Ju'ail bin Suragah lebih bumi seluruhnya, seperti 'Uyainah dan Aqra'.
Akan tetapi, aku bermaksud melunakkan hati keduanya demi keislaman
mereka, sedangkan aku serahkan bagian Ju'ail bin Suraqah kepada
ke-Islamannya. "
Berkenaan
dengan hadits kaum Anshar di atas, kalangan ulama yang membahas
kisah-kisah peperangan mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui dari
manakah ini berasal, jika ini berasal dari Allah maka kami akan
bersabar. Namun, jika dia berasal dari pendapat Rasulullah sendiri, maka
kami akan minta keridhaannya." Dengan demikian, jelaslah bahwa jika ada
salah satu dari mereka membolehkan pembagian itu dilakukan menurut
ijtihad Nabi berkaitan dengan suatu kemaslahatan, maka sebaiknya dia
mengetahui alasan mengapa Nabi memberi orang yang satu dan mengabaikan
orang yang selainnya, meski sebenarnya orang yang selainnya ini lebih
unggul dalam tingkat keimanan, pengorbanan (jihad), dan yang lainnya
daripada orang tersebut.
Hal
ini secara jelas sebagai faktor yang melatarbelakangi pemberian itu,
dan bahwa Nabi memberinya seperti memberi orang yang selainnya. Dan, ini
merupakan makna ucapan mereka, "... maka kami meminta keridhaannya."
Yaitu, kami meminta beliau agar menghilangkan teguran kami dengan cara
menjelaskan alasan beliau memberi orang lain atau malah dengan memberi
kami. Dan, sungguh Nabi telah bersabda, "Tidak seorang pun menginginkan
uzur dari Allah .Oleh karena itulah, Dia mengutus para rasul sebagai
penggembira dan pemberi peringatan. " Lalu, Nabi menginginkan agar
mereka minta maaf kepadanya atas apa yang diperbuatnya, untuk
selanjutnya beliau pun menjelaskan kepada mereka alasan yang sebenarnya.
Ketika duduk perkaranya sudah jelas bagi mereka, maka mereka seketika
menangis hingga air mata mereka membasahi jenggot mereka dan mereka pun
ridha terhadap Nabi dengan setulus hati.
Perkataan
mereka tersebut menunjukkan bahwa mereka melihat pembagian itu terjadi
karena ijtihad dan bahwa mereka lebih berhak untuk mendapatkan harta itu
daripada yang lainnya. Lalu, tiba-tiba mereka diherankan oleh pemberian
Nabi kepada selain mereka, dan mereka pun ingin tahu apakah pemberian
itu atas dasar wahyu atau hasil ijtihad yang wajib diikuti mengingat iru
adalah suatu kemaslahatan? Atau, juga sebagai hasil ijtihad yang
mungkin saja Nabi akan memakai yang selainnya jika temyata beliau
melihat yang selainnya itu lebih tepat.
Adapun
perkataan sebagian kaum Quraisy dan kaum Anshar berkenaan dengan
pembagian emas yang dibawa oleh Ali dari Yaman, "Apakah Nabi memberi
para pembesar Najed sedangkan beliau melupakan kami?" Maka, itu termasuk
dalam pembahasan ini pula, yaitu bahwa mereka menanyai beliau
semata-mata karena alasan ini. Di sini, juga ada dua jawaban yang lain,
yaitu: Pertama, orang yang berkata itu sebelumnya adalah orang munafik
yang boleh dibunuh, seperti seseorang yang terdengar oleh Ibnu Mas'ud
mengomentari pembagian harta rampasan perang Hunain. Dia berkata,
"Sesungguhnya pembagian ini bukan semata-mata karena Allah ." Dan, di
tengah orang-orang Quraisy dan kaum Anshar itu terdapat banyak sekali
orang munafik. Sehingga, kata-kata yang terlontar itu pun tidak lain
berasal dari mulut seorang munafik.
Kedua,
tindakan menentang Nabi bisa jadi merupakan suatu dosa dan maksiat yang
dikhawatirkan pelakunya adalah orang munafik, meskipun sebenamya dia
bukan orang munafik. Seperti finnan Allah , "Mereka membantahmu dengan
kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang)." (al-Anfaal: 6),
dan seperti koreksi mereka terhadap beliau dalam masalah batalnya beliau
menunaikan haji kepada umrah, penundaan mereka untuk mencari solusi,
juga keengganan mereka untuk mencari solusi sewaktu perjanjian
Hudaibiyah, keengganan mereka untuk berdamai, serta koreksi yang telah
dilakukan oleh sebagian mereka.
Sesungguhnya
orang yang melakukan hal itu, maka sungguh dia telah melakukan dosa
yang harus dimintakan ampunannya dari Allah , sebagaimana bahwa
orang-orang yang mengangkat suara mereka melebihi suara Nabi juga telah
berbuat dosa dan harus bertaubat darinya. Sungguh, Allah telah
berfirman, "Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah.
Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapat kesusahan ...," (al-Hujurat: 7). Sahal bin Hanif
berkata, "Sangkakanlah pendapat itu atas nama agama. Sungguh, aku hadir
pada waktu peristiwa Abu Jandal. Seandainya aku bisa menolak perintah
Rasulullah, niscaya akan aku lakukan itu!"
Ini
adalah sesuatu yang berangkat dari nafsu syahwat dan ketergesa-gesaan,
bukan dari keragu-raguan dalam agama, seperti juga pengintaian yang
dilakukan oleh seorang pencari kayu bakar terhadap orang-orang Quraisy,
meskipun itu adalah perbuatan dosa dan maksiat yang mewajibkan pelakunya
untuk bertaubat. Perbuatan semacam itu sama saja dengan membangkang
perintah Rasulullah
Di
antara Dalil lainnya yang termasuk pembahasan ini adalah hadits Abu
Hurairah berkenaan dengan peristiwa Fathu Makkah; dia berkata,
"Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka
dia akan aman. Barangsiapa yang membuang senjatanya, maka dia akan aman.
Dan faarangsfapa yang menutup rapat-rapat pintu rumahnya, maka dia akan
aman. " .Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab
pembahasan tentang jihad, (3/1408); juga telah d\-takhrij oleh Imam
Ahmad di dalam kitab Mosnad-nya, (2/292); dan juga telah di-takhrijoleb
al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (9/117).
Lalu
kaum Anshar berkata, "Adapun lelaki ini (baca: Nabi ) maka ia lebih
suka kepada kerabatnya dan kasihan terhadap kabilahnya." Abu Hurairah
berkata, "Lalu turunlah wahyu. Dan, jika wahyu telah turun, maka itu
tidak samar lagi bagi kami. Jika wahyu telah turun, maka tidak ada
seorang pun dari kami yang mengarahkan pandangannya kepada Rasulullah
hingga wahyu itu selesai." Rasulullah bersabda, "Wahai kaum Anshar."
Mereka menjawab, "Baik, wahai Rasulullah." Beliau bertanya, "Benarkah
kalian telah mengatakan, "Adapun lelaki ini, maka ia lebih suka terhadap
kerabatnya dan kasihan terhadap kabilahnya?" Mereka menjawab, "Sungguh,
itu telah terbukti." Lalu beliau pun berkata, "Tidak benar,
sesungguhnya aku adalah hamba dan sekaligus utusan Allah . Aku berhijrah
kepada Allah dan kepada kalian. Kehidupan itu adalah kehidupan kalian,
dan kematian itu juga kematian kalian." Seketika mereka pun menghadap
kepada Nabi , lalu mereka menangis dan berkata, "Demi Allah, kami tidak
mengucapkan itu melainkan karena kikir terhadap Allah dan Rasul-Nya."
Lalu Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
membenarkan kalian dan memaafkan kalian," (HR. Muslim).. Hadits ini
telah di-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang jihad,
(3/1406); juga telah d\-takhrij oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan
al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang sirah, (9/117); dan juga
disebutkan dalam kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah, (12/164).
Hal
itu, dikarenakan sewaktu kaum Anshar melihat Nabi menjamin keselamatan
warga Makkah dan menyetujui untuk melindungi darah dan harta mereka,
padahal beliau masuk kepada mereka dalam keadaan susah dan berat,
sementara beliau waktu itu bisa saja membunuh mereka dan merampas harta
mereka jika beliau mau. Pada saat itulah, maka kaum Anshar takut jika
Nabi bermaksud menjadikan Makkah sebagai negerinya dan bergabung kepada
orang-orang Quraisy. Sebab, negeri Makkah sebagai negeri asalnya dan
kabilah Makkah juga sebagai kabilahnya, dan bahwa pertentangan dirinya
kepada negeri dan keluarganya menyebabkan beliau menyingkir dari mereka.
Akhirnya,
salah seorang dari mereka pun mengeluarkan perkataan semacam itu,
sedangkan kalangan ulama dan cendikiawan yang mengetahui bahwa Nabi
tidak punya cara untuk menjadikan Makkah sebagai tanah air tidak pemah
mengatakannya. Mereka mengatakan ucapan semacam itu bukan sebagai
cercaan maupun celaan, namun lebih sebagai bentuk kebakhilan mereka
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Lalu Allah dan Nabi pun memaafkan mereka
atas apa yang telah mereka katakan sewaktu mereka melihat dan mendengar,
dan bahwa memisahkan diri dari Nabi itu sangat berat bagi kaum Mukminin
selaku maskot Islam pada saat orang-orang lainnya justeru menjadi
perusak.
Dan,
perkataan yang keluar karena kecintaan, pengagungan, pemuliaan, dan
penghormatan ini membuat dosa pengucapnya diampuni, dan bahkan perkataan
itu dipuji. Jika perkataan yang sama diucapkan bukan karena alasan
tersebut, maka pengucapnya berhak diingkari dan ditentang.
Demikian
pula dari segi perbuatan. Tidakkah engkau mengetahui ketika Nabi
berkata kepada Abu Bakar , di mana ketika itu Abu Bakar ingin mundur
dari tempatnya sebagai imam dalam shalat tatkala ia mengetahui kehadiran
Nabi , "Tempatmu," namun Abu Bakar mundur (meninggalkan tempatnya-ed.).
Maka, Nabi pun bertanya kepadanya, "Apa yang mengha/angimu untuk
menempati tempatmu (atau menjadi imamj, padahal aku telah menyuruhmu. "
Lalu Abu Bakar menjawab, "Tidaklah pantas Ibnu Abi Qahafah (maksudnya:
Abu Bakar) berada di depan Nabi " Lihat dalam kitab Fathul Ban, dalam
kitab pembahasan adzan, (2/196, hadits no. 684); juga telah d\-takhrij
oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang shalat, (1/316); juga
disebutkan pula oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (5/331); dan
juga disebutkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra,
(3/113).
Begitu
pula Abu Ayyub al-Anshari sewaktu minta izin kepada Nabi H agar dia
berpindah ke bawah lalu meminta beliau agar naik ke atas. Dia merasa
berat hati untuk berada di atas Rasulullah sewaktu beliau tinggal di
rumahnya. Lalu Nabi ^ mengatakan kepadanya bahwa rumahnya bagian bawah
itu lebih cocok (akrab) bagi beliau agar orang-orang lebih mudah untuk
masuk menghadap beliau. Di sini, Abu Ayyub tidak mau seperti itu demi
kesopanan dan penghormatan kepada Nabi . Maka, perkataan kaum Anshar di
atas termasuk dalam bagian ini.
Ringkasan:
Secara keseluruhan, maka pembahasan dalam bab ini terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, merupakan suatu bentuk kekufuran, seperti ucapan, "Sungguh, ini pembagian yang bukan semata-mata karena Allah."
Kedua,
adalah sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat yang di-khawatirkan bisa
membatalkan semua amalan pelakunya, seperti meng-angkat suara melebihi
suara Nabi , juga seperti koreksi yang dilakukan oleh seseorang kepada
Nabi sewaktu peristiwa Hudaibiyah setelah terjadinya kcsepakatan damai,
dan juga bantahan yang dilakukan seseorang terhadap beliau pada waktu
perang Badar setelah nyata baginya suatu kebenaran. Semua ini termasuk
bentuk menyelisihi perintah Nabi .
Ketiga,
sesuatu yang bukan termasuk keduanya. Bahkan, pelakunya dipuji
karenanya atau tidak dipuji, seperti ucapan Umar, "Mengapa kita
mengqashar shalat sementara kita telah beriman?" Juga seperti ucapan
Aisyah , "Bukankah Allah berfirman, "Adapun orang-orang yang dlberikan
kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya ...," (al-Haqqah: 19). Juga
seperti ucapan Hafshah, "Bukankah Allah berfirman, "Dan tidak ada
seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu," (Maryam: 71).
Juga seperti koreksi Sa'ad sewaktu perjanjian Ghathfan atas separuh
kurma Madinah. Juga seperti koreksi mereka terhadap Nabi sewaktu beliau
menyuruh mereka memecahkan wadah yang berisi daging onta, lalu mereka
berkata, "Tidakkah kita mencucinya," lalu Nabi pun berkata, "Cucilah!"
Juga seperti bantahan Umar kepada Abu Hurairah sewaktu dia keluar
membawa kabar gembira dan mengoreksi Nabi dalam masalah itu. Dan, juga
seperti koreksi Umar terhadap Nabi sewaktu beliau mengizini mereka untuk
membunuh di beberapa peperangan, dan permintaannya kepada beliau agar
mengumpulkan bekal dan berdoa kepada Allah , lalu Umar pun melakukan apa
yang telah dimusyawarahkan itu, dan lain-lain sebagainya semisal
menanyakan suatu persoalan agar jelas duduk perkaranya bagi mereka atau
menawarkan suatu kemaslahatan yang bisa saja dilakukan oleh Rasulullah .
PASAL KETIGA:
Dalil
dari as-Sunnah yang Menyatakan Batalnya Sumpah Janji Seorang Kafir
Dzimmi dan Mu'ahid Karena Mencaci Nabi dan Kewajiban Membunuhnya
Batalnya
sumpah janji seorang kafir dzimmi dan mu'ahid akibat mencaci Nabi serta
syariat untuk membunuhnya menurut Dalil as-Sunnah yang telah masyhur;
dan di antara Dalil-dalil tersebut antara lain, adalah:
Dalil Pertama:
Kisah Ka'ab bin Asyraf al-Yahudi
Kisah
ini adalah di antara dalil yang dijadikan hujah oleh Imam asy-Syafi'i
bahwa seorang kafir dzimmi apabila mencaci, maka dia harus dibunuh dan
menjadi batallah ikatan janjinya. Kisah ini sangat masyhur dan populer.
'Amr bin Dinar telah meriwayatkannya dari Jabir bin Abdullah yang
berkata, Rasulullah telah bersabda: "Siapakah yang mau menangani (membunuh) Ka'ab bin Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?". Lihat
kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang gadaian (rahn), (5/169,
hadits no. 2510); dan juga telah dt-takhrij oleh Imam Muslim dalam
kitab pembahasan tentang jihad, (3/1425).
Lalu, Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, "Saya, wahai Rasulullah, apakah engkau ingin aku membunuhnya?" Nabi menjawab, "Benar."
Muhammad bin Maslamah berkata, "Izinkan aku untuk mengatakan sesuatu."
Nabi , "Katakanlah. " Dikisahkan: Lalu dia pun mendatanginya dan
mengatakan apa yang terjadi di antara mereka. Dia berkata, "Sungguh
lelaki ini menginginkan sedekah dan tali kekang lawan." Maka, ketika dia
mendengamya, dia pun berkata, "... begitu juga, demi Allah, niscaya
kamu akan membosaninya." Dia berkata, "Sungguh kami telah mengikutinya
sekarang, dan kami tidak mau membiarkannya hingga kami dapat melihat ke
manakah duduk perkaranya akan berujung."
Dia
berkata, "Sungguh, aku ingin kamu memberiku pinjaman hutang." Dia
berkata, "Apa yang akan kalian gadaikan kepadaku? Wanita-wanita
kalian?!" Dia menjawab, "Engkau adalah sebaik-baik orang Arab, pantaskah
aku menggadaikan kepadamu para wanita kami?!" Dia bertanya, "Apakah
kalian akan menggadaikan anak-anak kalian kepadaku?" Dia menjawab,
"Nanti anak dari salah seorang kami akan mencaci maki, lalu akan
diucapkan: Aku gadaikan dua wasaq kurma! Akan tetapi, kami akan
menggadaikan baju besi kepadamu." (alias senjata).
Dia
berkata, "Baiklah," dan dia pun berjanji kepadanya akan memeranginya.
Kemudian datanglah 'Abas bin Habar dan 'Ibad bin Basyar. Mereka datang
lalu pergi meninggalkannya pada malam hari. Lalu dia pun menginap di
rumah mereka. Sufyan berkata: Dia berkata, "Bukan 'Amr." Istrinya
berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku mendengar suara seolah-olah suara
darah!" Dia berkata, "Sejujurnya ini adalah Muhammad dan anak
sesusuannya, Abu Nailah.
Sesungguhnya
orang yang dermawan jika diundang untuk menyerang pada malam hari,
niscaya dia akan memenuhi panggilan." Muhammad berkata, "Sungguh
aku—jika dia telah datang— maka akan aku julurkan tanganku ke kepalanya.
Jika aku bisa merengkuh-nya, berarti itu selain kalian." Dia berkata,
"Ketika dia menginap dan dia menyandang pedang, maka mereka berkata,
"Kami mencium bau wangi dari dirimu." Dia berkata, "Benar, di bawahku
ada seorang wanita Arab yang paling harum baunya!" Dia berkata, "Apakah
engkau membolehkanku untuk mencium baunya?" Dia berkata, "Boleh." Lalu
dia pun menciumi baunya. Kemudian dia berkata, "Apakah engkau
membolehkanku untuk kembali?" Dia berkata, "Maka, dia pun bisa
merengkuhnya, lalu dia berkata, "Selain kalian." Akhimya, mereka pun
membunuhnya. (Muttafaq 'Alaih)
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah bahwa Ka'ab bin Asyraf telah berjanji kepada
Rasulullah untuk tidak menolongnya dan tidak akan memeranginya, lalu dia
pergi/membelot ke Makkah. Kemudian dia datang ke Madinah untuk
menyatakan permusuhan kepada Rasulullah . Maka, caci makian yang pertama
kali diucapkannya terhadap Nabi adalah, "Apakah kamu pergi dan enyah
dengan tidak mendiami murfi'ah atau keutamaan itu ada di al-Haram?"
Semua ini terdapat dalam bait-bait syairnya yang berisikan caci makian
terhadap Nabi . Sehingga, pada saat itulah, Rasulullah pun menyuruh
untuk membunuhnya.
Beberapa
Aspek Petunjuk dari Kisah Ka'ab bin Al-Asyraf Menjadikan pembunuhan
Ka'ab bin al-Asyraf sebagai dalil berdasarkan dua aspek:
ASPEK PERTAMA
Ka'ab
seorang kafir mu'ahid muhadin (atau kafir yang tidak boleh diperangi),
dan ini tidak diperselisihkan di antara kalangan ulama spesialis di
bidang peperangan dan sejarah. Menurut mereka, hal itu juga sudah
merupakan pengetahuan umum yang tidak perlu diriwayatkan lagi oleh
orang-orang tertentu.
Dalil
yang menunjukkan bahwa caci makiannya itu bisa merusak sumpah janjinya,
adalah perkataan Nabi , "Siapakah yang mau membereskan Ka'ab bin
al-Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?" Di sini,
Nabi menyatakan alasannya menyuruh orang untuk membunuh Ka'ab karena dia
telah menyakiti beliau. Dan, bentuk penyakitan/penyiksaan secara mutlak
adalah dengan memakai lisan. Sebagaimana firman Allah : "Dan (juga)
kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan
yang banyak yang menyakitkan hati." (Ali Imran: 186) "Mereka sekali-kali
tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari
gangguan-gangguan celaan saja ...." (Ali Imran: 111) "Di antara mereka
(orang-orang munaflk) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi
mempercayai semua apa yang didengarnya." (at-Taubah: 61) "Janganlah kamu
menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah
membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan." (al-Ahzab:
69)
Nabi
telah bersabda dari apa yang telah beliau riwayatkan dari Allah: "Anak
Adam menyakiti-Ku, ia mencaci maki masa, sedang Aku adalah masa itu. "
Dan, riwayat yang semacam ini sangat banyak sekali. Sudah disebutkan
terdahulu bahwa penyakitan/penyiksaan juga sebutan bagi kejahatan yang
sedikit dan suatu yang dibenci yang ringan pula. Hal itu,berbeda dengan
kemudharatan. Oleh karena itu, penyakitan/penyiksaan tersebut
dimutlakkan pada ucapan. Karena, sebenamya dia tidak men-datangkan
kemudharatan apa pun bagi orang yang disakiti. Begitu pula, kemutlakan
bentuk penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya itu juga
dijadikan sebagai faktor penyebab dibunuhnya seorang kafir mu'ahid. Dan
sudah diketahui, bahwa mencaci maki Allah dan Rasul-Nya itu sebagai
bentuk penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Jika suatu
sifat (washaf) menghasilkan suatu hukum dengan bantuan huruf faa, maka
itu menunjukkan bahwa sifat itu merupakan 'illat (sebab) bagi hukum
tersebut, terlebih lagi jika sifat itu temyata sesuai.
Hal
itu menunjukkan bahwa penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan
Rasul-Nya merupakan 'illat adanya perintah Rasulullah kepada kaum
Muslimin untuk membunuh orang-orang dari kalangan kafir mu'ahid yang
melakukan hal tersebut. Hal ini merupakan dalil nyata yang menunjukkan
rusak atau batalnya sumpah janji orang kafir mu'ahid tersebut dengan
menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, mencaci maki juga termasuk bentuk
menyakiti Allah H dan Rasul-Nya menurut kesepakatan kaum Muslimin.
Bahkan, caci makian tersebut merupakan bentuk penyakitan/penyiksaan yang
paling khusus. Selain itu juga telah kita sebutkan di dalam hadits
Jabir , bahwa yang pertama kali merusak sumpah janji, adalah qasidahnya
Ka'ab yang di-lantunkannya setelah dia kembali ke Madinah untuk mencaci
Rasulullah iH, dan bahwa Rasulullah sewaktu dicaci maki oleh Ka'ab
dengan qasidah ini, beliau menyuruh untuk membunuh Ka'ab. Ini saja sudah
cukup sebagai dalil bahwa sumpah janji tersebut bisa batal oleh karena
syair cacian (hi/era') tersebut, bukan karena kepergian atau
pembelotannya ke Makkah.
Jika
dikatakan: Ibn al-Asyraf telah dating dengan selain cacian dan ejekan
terhadap Nabi dengan meratapi orang-orang Quraisy yang terbunuh dan dia
menyuruh mereka untuk memerangi Nabi.. Dia juga mengklaim bagi mereka
bahwa agama mereka lebih baik daripada agama Sungguh, Imam Ahmad telah
meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas yang berkata: Sewaktu Ka'ab bin
al-Asyraf datang di Makkah, maka orang-orang Quraisy bertanya, "Coba
lihatlah kepada benalu/parasit yang membelot dari kaumnya. Dia mengklaim
bahwa dia lebih baik daripada kita, padahal kami adalah para ahli haji,
pelayan K'abah, dan ahli siqayah/ahli pengairan?!"
Ka'ab
berkata, "Kalian lebih baik!!" Ibnu Abbas berkata: Lalu turunlah ayat
tentang mereka, "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kami dialah yang
terputus." (al-Kautsar: 3). Ibnu Abbas berkata: Dan berkenaan dengan
mereka, diturunkan pula ayat :
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari
Al-Kifab. Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar
jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang
dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan mempero/eh penolong baginya." (an-Nisa: 51-52)
Terdapat
riwayat dari 'Ikrimah bahwa Ka'ab bin al-Asyraf pergi kepada
orang-orang musyrik dari kalangan kaum kafir Quraisy, lalu dia meminta
bantuan kepada mereka terhadap Nabi dan menyuruh mereka untuk memerangi
beliau. Dia berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kami bersama kalian."
Lalu, mereka pun berkata, "Sesungguhnya kalian adalah ahlu kitab dan dia
(Muhammad) juga pemilik kitab. Kami khawatir bilakah itu adalah makar
dari kalian. Jika kamu menghendaki kami keluar bersamamu, maka
bersujudlah kepada kedua berhala ini dan berimanlah kepadanya."
Maka,
Ka'ab pun melakukannya. Kemudian mereka berkata kepadanya, "Bandingkan,
apakah kami yang lebih benar (lurus) ataukah Muhammad? Kami menyambung
silaturahim, menjamu tamu, memutari Ka'bah (thawaf), mengorbankan
kauma'(onta yang besar punuknya) dan menuangkan susu pada air? Sedangkan
Muhammad, dia telah memutus sanak kerabatnya dan keluar dari
negerinya." Ka'ab berkata, "Bahkan, kalian lebih baik dan lebih benar!!"
Ikrimah berkata, " Lalu turunlah ayat tentang mereka, "Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari A/-Kitab.
Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik Makkahj, bahwa mereka itu lebih benar
jalannya dari orang-orang yang beriman," (an-Nisa': 51).
Sungguh,
telah terkumpul dalam diri Ka'ab bin al-Asyraf berbagai dosa, yaitu:
bahwa dia telah meratapi/menangisi orang-orang Quraisy yang mati
terbunuh, lalu dia telah menyuruh mereka untuk memerangi Nabi dan
menyetujui mereka untuk hal itu, lalu dia telah membantu mereka untuk
memerangi Nabi dengan memberitahukan bahwa agama mereka lebih baik
daripada agama Nabi , lalu dia juga telah mencerca Nabi dan kaum
Mukminin melalui bait-bait syaimya.
Kami katakan: Jawaban dari kesemuanya itu terdiri dari beberapa aspek, di antaranya:
Aspek
pertama, bahwa Nabi tidak pemah menyuruh untuk membunuh Ka'ab
dikarenakan dia telah pergi/membelot ke pihak Makkah dan telah
mengucapkan apa-apa yang telah diucapkannya di sana. Akan tetapi, beliau
menyuruh untuk membunuhnya karena Ka'ab telah datang ke Madinah dan
mencerca beliau dengan bait syaimya. Sebagaimana hal itu telah
dijelaskan di dalam hadits Jabir terdahulu yang berbunyi, "... lalu
Ka'ab datang ke Madinah dengan menyatakan permusuhannya terhadap Nabi ."
Selanjutnya, Jabir menjelaskan pula bahwa yang pertama-tama merusak
sumpah janjinya adalah bait-bait syair tersebut yang dilontarkannya
setelah dia kembali. Dan, bahwa Nabi pada saat itu langsung menyuruh
untuk membunuhnya. Begitu pula terpapar dalam hadits Musa bin 'Uqbah
yang berbunyi, "Siapakah yang mau membunuh Ibnu al-Asyraf untuk kami,
karena dia telah menyatakan permusuhan terhadap kami dan mencerca kami?"
Hal
tersebut diperkuat pula bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin
al-Asyraf, yaitu berupa pertemuannya dengan penduduk Makkah pada suatu
musim, dan juga pengakuannya di hadapan mereka bahwa agama mereka lebih
baik daripada agama Nabi Muhammad , semua itu juga pemah dilakukan oleh
Huyay bin Akhthab. Meskipun demikian, Nabi hanya menyuruh untuk membunuh
Ibnu al-Asyraf dan membiarkan Ibnu Akhthab hingga dia terbunuh bersama
Bani Quraidhah. Dari sini bisa diketahui, bahwa apa yang telah keduanya
lakukan di Makkah bukan merupakan faktor keluarnya perintah Nabi untuk
membunuh Ibnu al-Asyraf, melainkan faktor yang sebenamya, adalah cercaan
dan yang sejenisnya yang secara khusus telah dilontarkan oleh Ibnu
al-Asyraf. Sedangkan apa yang telah dia lakukan di Makkah semakian
menjadi penguat dan penopang. Sebagaimana hal itu diperkuat lagi oleh
adanya riwayat yang menyebutkan, bahwa Ibnu al-Asyraf mengasingkan diri
di Makkah sewaktu terjadi perselisihan antara Nabi H dan Bani Qainuqa'.
Pada saat itu, dia berkata, "Saya tidak akan menolongnya dan tidak akan
memeranginya." Hal itu sebagai petunjuk bahwa dia tidak pemah
menampakkan permusuhannya terhadap Nabi .
Aspek
kedua, bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Ibnu al-Asyraf berupa
ratapannya terhadap orang-orang musyrik yang mati terbunuh, juga
ajakannya, caci makiannya, dan cercaannya terhadap agama Islam, serta
pengunggulannya terhadap agama orang-orang kafir (daripada agama Nabi ),
tidak lain merupakan bentuk penyakitan dengan lisan. Karena itu,
barangsiapa yang menentang pendapat tentang rusak atau batalnya sumpah
janji dan halalnya darah Ka'ab bin al-Asyraf oleh karena telah mencaci
Nabi , maka tentunya dia lebih menentang lagi hal itu berlaku untuk
perbuatan Ka'ab bin al-Asyraf yang lainnya. Karena, orang yang
berpendapat tidak rusak/batalnya sumpah janji Ka'ab oleh karena telah
mencaci maki Nabi H itu, dia juga berpendapat tidak batal/rusaknya
sumpah janji Ka'ab itu oleh karena perbuatan-perbuatanya yang lain.
Namun, kisah ini sebagai hujah bagi orang yang menentang pendapat
berkaitan dengan masalah-masalah ini, dan kami katakan, "Sesungguhnya
semua tindakan Ka'ab ini merusak sumpah janjinya."
Aspek
ketlga, bahwa pengunggulan agama orang-orang kafir atas agama kaum
Muslimin—tanpa diragukan lagi—bukanlah caci makian terhadap Nabi .
Karena, keadaan sesuatu yang diutamakan itu kondisinya masih lebih baik
daripada orang yang dicaci maki. Jika pengunggulan agama orang-orang
kafir atas agama kaum Muslimin itu saja bisa merusak sumpah janji, maka
tentunya mencaci maki lebih bisa merusak sumpah janji.
Adapun
ratapan Ka'ab bin al-Asyraf terhadap orang-orang Quraisy yang mati
terbunuh, juga ajakannya kepada mereka untuk membalas dendam kepada Nabi
, maka hal itu lebih sebagai pendorong/penggerak orang-orang Quraisy
untuk memerangi Nabi , mengingat orang-orang Quraisy waktu itu sudah
bersepakat untuk memerangi Nabi setelah peristiwa Badar, dan mereka
telah mengawasi rombongan dagang yang di dalamnya ada Abu Sufyan untuk
membiayai perang terhadap Nabi tersebut.
Sehingga,
dalam hal ini mereka sebenarnya tidak membutuhkan lagi ucapan Ka'ab bin
al-Asyraf. Memang benar, ratapan terhadap mereka yang terbunuh dan
pengunggulan agama mereka atas agama Islam yang dilakukan Ka'ab termasuk
salah satu faktor yang semakin menambah mereka marah dan memusuhi Nabi .
Namun, caci makian dan cercaan Ka'ab terhadap Nabi ;H dan agamanya
(Islam) itu juga termasuk salah satu faktor yang bisa memotivasi dan
mendorong mereka untuk memerangi Nabi .
Dari
sini bisa diketahui, bahwa cercaan Ka'ab (melalui syaimya) mengandung
kerusakan yang terdapat dalam ucapannya yang lain, atau bisa jadi lebih
rusak lagi. Jika ucapan Ka'ab yang lainnya saja bisa merusak sumpah
janjinya, maka tentunya cercaannya (melalui syaimya) itu juga bisa
merusak sumpah \ janjinya. Oleh karena itu, Nabi telah membunuh
sekelompok wanita yang telah mencela dan mencerca beliau, meskipun di
satu sisi beliau memaafkan seorang wanita yang telah membantu hal itu
dan memprovokasi untuk memerangi beliau.
Aspek
keempat, adanya beberapa aspek yang sudah populer di kalangan ulama,
yaitu bahwa firman Allah , "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang
yang diberi bahagian dari Al-Kitab ... dst." (an-Nisa: 51), turun
berkenaan dengan Ka'ab bin al-Asyraf atas apa yang telah diucapkannya
kepada orang-orang Quraisy, dan sungguh Allah ifi telah mengabarkan
dalam ayat ini bahwa Dia telah mengkutuknya, dan bahwa orang yang
dikutuk-Nya, maka dia tidak akan mendapati baginya seorang penolong.
Hal
itu sebagai dalil bahwa dia tidak mempunyai sumpah janji lagi, alias
sumpah janjinya telah batal. Sebab, jikalau dia masih mempunyai sumpah
janji, maka niscaya wajib bagi kaum Muslimin untuk menolong/ membelanya.
Dari sini bisa diketahui, bahwa ucapan semacam ini menyebabkan rusak
atau batalnya sumpah janjinya dan tidak adanya orang yang
menolong/membelanya.
Lalu,
bagaimana dengan ucapan yang lebih parah dari semua itu, semisal caci
makian dan celaan? Sebenarnya, Nabi —Wallahu A'lam—tidak pemah
menjadikan Ka'ab hanya dengan cercaannya (melalui bait syair) itu
sebagai penyebab rusaknya sumpah janjinya, mengingat Ka'ab tidak pemah
secara terang-terangan menyatakan ucapannya tersebut. Akan tetapi, Allah
memberitahukan hal itu dalam bentuk wahyu kepada Nabi , sebagaimana
yang telah disebutkan dalam beberapa hadits terdahulu.
Dan,
Nabi tidak pemah membunuh seorang pun dari kaum Muslimin maupun dari
kalangan kafir mu'ahid, melainkan karena dosa yang benar-benar nyata.
Maka, ketika Ka'ab bin al-Asyraf kembali ke Madinah dan menyatakan
cercaannya terhadap Nabi «H dan permusuhannya, maka dia pun berhak untuk
dibunuh, dikarenakan dia telah secara jelas dan nyata menyakiti Nabi di
hadapan banyak orang.
Apakah
Syair atau Pengulang-Ulangan dalam Mencaci Maki Itu Sebagai Landasan
Dihalalkannya Darah Seorang Pencaci? Jika dikatakan: Sungguh, cacian
yang dilontarkan Ibnu al-Asyraf terhadap Nabi itu berupa syair, dan
syair itu punya pengaruh dalam menyakiti dan menghalang-halangi upaya
sabilillah yang tidak sama atau berbeda dengan ucapan yang berbentuk
natsar (tidak bersajak)? Se-sungguhnya Ibnu al-Asyraf sudah
berulang-ulang dan seringkali melakukan hal itu, dan sesuatu jika telah
dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus, maka tentunya
mempunyai kondisi yang jelas berbeda halnya bila itu dilakukan hanya
sekali saja?!
Kami
katakan: Jika Ibnu al-Asyraf telah menyakiti Nabi dengan cara
melontarkan cacian makian yang tersusun dalam bait syair (mandhum), maka
sungguh wanita Yahudi itu telah menyakiti Nabi dengan ucapannya yang
berbentuk natsar (prosa), dan keduanya telah dihalalkan darahnya. Dari
sini bisa diketahui, bahwa bait syair (nadham) itu tidak mempunyai
pengaruh apa pun pada asal atau dasar hukum, mengingat seorang penya'ir
tersebut tidak pemah melakukan pengkhususan. Dan, sifat (looshqf)—jika
hukum tersebut telah nyata tanpa sifat itu—maka sifat tersebut tidak
mempunyai pengaruh apa pun, sehingga sifat itu pun tidak dikategorikan
sebagai bagian dari 'illat (sebab) hukum tersebut.
Dari
segi lain, maka juga tidak diragukan lagi, bahwa jenis yang
me-nyebabkan hukuman (sanksi) itu terkadang sebagian jenis-jenisnya
sangat berat sifat atau kadamya, atau sekaligus sifat dan kadarnya.
Karena, membunuh salah seorang dari kaum Muslimin itu tidaklah sama
dengan membunuh seorang anak atau bapak yang alim dan shalih. Akan
tetapi, hadits ini sebagaimana halnya hadits-hadits yang lainnya,
menunjukkan bahwa jenis penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan
Rasul-Nya dan juga caci makian secara umum itu bisa menghalalkan darah
seorang kafir dzimmi dan merusak sumpah janjinya, meskipun sebagian
orang-orang itu lebih berat dosanya daripada sebagian yang lainnya,
mengingat begitu beratnya caci makiannya itu dari segi macam atau
kadarnya.
Hal itu didasari oleh beberapa aspek berikut ini:
Pertama,
bahwa Nabi telah bersabda, "Siapakah yang mau membereskan Ka'ab bin
al-Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?" Di sini,
Nabi menjadikan 'illat (sebab) beliau menyuruh untuk membunuh Ka'ab
adalah karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, menyakiti
Allah dan Rasul-Nya itu, adalah nama atau sebutan mutlak, tidak terikat
dengan suatu macam dan kadar tertentu. Maka, wajib menjadikan tindakan
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, itu sebagai "illat (sebab) adanya
perintah untuk membunuh orang yang melakukan hal itu dari kalangan kafir
dzimmi maupun yang lainnya. Caci makian tersebut, baik sedikit ataupun
banyaknya, dan disusun dalam bentuk bait syair (nadham) ataupun prosa
(natsar), merupakan bentuk penyakitan/penyiksaan, tanpa diragukan lagi.
Sehingga,
hukum itu pun sangat berkait dengan caci makian tersebut. Yaitu,
perintah Allah dan Rasul-Nya untuk membunuh pelakunya. Seandainya memang
makna hadits di atas tidak seperti ini, niscaya Nabi akan bersabda,
"Siapakah yang mau membunuh Ka'ab bin al-Asyral, karena dia telah sangat
berlebihan dalam menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Atau, "... karena dia
sudah seringkali menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Atau, "...karena
didaterus-menerus menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Padahal, Nabi adalah
orang yang diberi jawami' al-kalim (kalimat yang paripuma), tidak pemah
berbicara berdasarkan hawa nafsu, dan tidak pernah keluar dari kedua
bibirnya melainkan suatu kebenaran (haq) dalam kemarahan maupun
keridhaannya ...."
Kedua,
jenis yang bisa menghalalkan darah itu tidak ada bedanya antara jenis
yang sedikit maupun yang banyak, dan jenis yang berat maupun yang ringan
dalam kapasitasnya sebagai faktor penyebab dihalalkannya darah. Hal ini
merupakan qiyas al-ushul. Dan, barangsiapa yang menyatakan selain itu,
maka sungguh dia telah keluar dari koridor qiyos al-ushul ini. Padahal,
dia tidak boleh melakukan hal itu kecuali atas dasar nash yang menjadi
landasan itu sendiri. Dan, tidak ada satu pun nash yang menunjukkan
diperbolehkannya perbuatan itu hanya dalam yang banyak saja, tanpa yang
sedikit.
Hal
itu diperjelas bahwa ucapan-ucapan yang merusak iman atau sumpah janji,
sama saja antara sekali diucapkan ataupun seringkali diucapkan.
Sebagaimana jikalau seseorang mengingkari satu ayat atau satu kewajiban
yang jelas, atau dia mengucapkan sekali saja, "Aku melanggar sumpah
janji dan keluar dari perlindunganmu," maka sesungguhnya yang demikian
ini akan menetapkan konsekuensi akibatnya (atau batalnya sumpah janji
tersebut), dan hal itu tidak membutuhkan pengulangan lagi.
Begitu
pula, dampak yang diakibatkan oleh caci makian dan cercaan terhadap
agama tersebut juga tidak membutuhkan pengulangan lagi. Ketiga, jika dia
seringkali melakukan dan mengucapkan hal semacam ini, maka kemungkinan
dia dibunuh karena jenis perbuatan dan ucapan yang menghalalkan darahnya
itu, atau bisa jadi karena faktor yang menghalalkan darahnya itu adalah
kadar atau jumlah tertentu.
Jika
temyata hal itu dikarenakan oleh faktor yang pertama, maka memang
itulah yang diharapkan, dan jika temyata itu lebih disebabkan oleh
faktor yang kedua, maka berapakah batasan jumlah yang bisa menghalalkan
darahnya itu? Dan, tidak boleh bagi siapa pun untuk menentukan jumlah
tersebut, kecuali atas dasar nash, ijma' atau qiyas. Namun, ketiganya
tersebut tidak ada di dalam ketiga hal semacam ini.
Keempat,
membunuh seseorang ketika dia sering melakukan hal-hal semacam ini,
bisa jadi sebagai had (sanksi) atau sebagai ta'ziryang terpulang kepada
pendapat seorang Imam (pemimpin). Jika itu berupa had (sanksi), maka
sudah semestinya ada pembatasan faktor yang menyebabkannya. Dan, tidak
ada suatu had (sanksi) pun melainkan dia bergantung kepada jenisnya,
mengingat berkata/berpendapat sesuatu selain hal itu disebut tahakkum
(kesewang-wenangan). Namun, jika temyata hal itu sebagai ta'zir, maka
tidak ada di dalam ushul ta'zir dalam bentuk pembunuhan. Maka, tidak
boleh menetapkan hukum tersebut kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Dan, keumuman-keumuman yang terdapat pada semisal ucapan Nabi : "Tidak
halal darah seorang Muslim melainkan oleh karena salah satu dari tiga
faktor." yang menunjukkan tentang hal tersebut .Lihat Fathul Bari, kitab
pembahasan tentang diyat (denda) (12/209), hadits no. 6878; Muslim
dalam bab perdamaian (qasamah) hadits no. 1676; Abu Daud dalam kitab
pembahasan tentang jihad, hadits no. 2768; dan Imam al-Baihaqi dalam
as-Sunan al-Kubra, (8/118). Ibnu Majah dalam kitab pembahasan tentang
diyat, hadits no. 2688; Musykil al-Atsaar, (1/77); Hilyat al-Auliyaa',
(3/324); .
ASPEK KEDUA
Adalah bahwa lima orang kaum Muslimin yang telah membunuh Ka'ab, yaitu: Muhammad bin Maslamah, Abu Nailah, Ibad bin Basyar, Harits bin Aus, dan Abu 'Abas bin Jibr telah mendapat izin dari Nabi untuk memperdayai dan menipu Ka'ab dengan suatu ucapan yang memperlihatkan/ mengesankan bahwa mereka telah menjamin keamanan Ka'ab dan telah menyetujuinya, namun temyata mereka kemudian membunuhnya.
Dari
apa yang sudah diketahui, bahwa orang yang memperlihatkan kepada
seorang kafir suatu jaminan keamanan, maka setelah itu orang kafir
tersebut tidak boleh dibunuh karena kekufurannya itu. Bahkan, jikalau
seorang kafir harbi tersebut sampai meyakini bahwa orang Muslim itu
telah menjamin keselamatannya dan mengucapkan hal itu kepadanya, maka
jadilah dia seorang yang mendapat jaminan keamanan (musfa'man). Nabi
telah bersabda dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh 'Umar bin
al-Hamq: "Barangsiapa yang memberikan jaminan keamanan kepada seseorang
atas nyawa dan hartanya, lalu dia membunuh orang tersebut, maka aku
berlepas diri darinya, meskipun orang yang terbunuh itu adalah orang
kafir." (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah) .Musnad Ahmad, (5/223, 224); dan
isnad hadits ini shahih
Dan
Sulaiman bin Shard dari Nabi , beliau telah bersabda: "Jika seseorang
telah mempercayakan keselamatan nyawanya kepadamu, maka janganlah kamu
membunuhnya." (HR. Ibnu Majah). Ibnu Majah dalam kitab pembahasan diyat,
hadits no. 2689; Musnad Imam Ahmad, (6/394); dan isnad hadits ini
dha'if (lemah), akan tetapi hadits yang terdahulu menguatkan maknanya.
Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang jihad, hadits no. 2769;
Dari
Abu Hurairah , dari Nabi H, beliau telah bersabda: "Iman itu sebagai
pengikat kematian, (oleh karena itu) seorang yang beriman tidak akan
dibunuh." (HR. Abu Daud dan yang lainnya)..Musnad Imam Ahmad, (1/167);
Imam ath-Thabarani dalam kitabnya al-Kabir, (19/319); Imam al-Hakim
dalam kitabnya al-Mustadrak, yaitu dalam kitab pembahasan tentang hudud
(sanksi), (4/352); dan isnad hadits ini shahih menurut syarat Imam
Muslim, dan telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.
Perkataan
yang telah mereka ucapkan kepada Ka'ab ini merupakan suatu jaminan
keamanan, dan setidaknya itu akan menjadi syubhat keamanan baginya. Dan,
yang semacam itu membuat Ka'ab tidak boleh dibunuh hanya semata-mata
karena kekufurannya. Karena, keamanan tersebut bisa melindungi nyawa
seorang kafir harbi dan paling tidak seorang kafir tersebut akan
terjamin keselamatannya karena itu, sebagaimana itu sudah diketahui
dalam beberapa hal.
Akan
tetapi, alasan mereka membunuh Ka'ab di sini dikarenakan Ka ab telah
mencaci maki dan menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, karena bolehnya
untuk membunuh Ka'ab oleh faktor inilah, maka darahnya tidak lagi
terlindungi dengan adanya jaminan dan juga perjanjian. Sebagaimana
jikalau seorang Muslim menjamin keselamatan orang yang wajib dibunuh
karena telah membegal/merampok, memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan
berusaha membuat kerusakan di bumi yang mengharuskan dia untuk dibunuh,
atau dia menjamin orang yang wajib dibunuh karena perzinaannya, atau dia
menjamin keselamatan orang yang wajib dibunuh karena kemurtadannya atau
karena meninggalkan rukun-rukun Islam dan lain sebagainya. Tidak
diperbolehkan baginya untuk membuat perjanjian kepadanya baik perjanjian
keamanan, perdamaian, ataupun perjanjian perlindungan. Karena,
membunuhnya itu merupakan salah satu had (sanksi), dan bukanlah
membunuhnya itu semata-mata karena dia seorang kafir atau harbi,
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Syubhat yang Gugur Berkaitan dengan Pembunuhan Ibnu al-Asyraf
Telah
dimunculkan kepada sebagian kalangan orang bodoh sebuah syubhat
berkaitan dengan pembunuhan Ibnu al-Asyraf ini, lalu dia menduga bahwa
darah yang semacam ini akan dijaga oleh perjanjian/perlindungan yang
terdahulu atau dengan jaminan keamanan secara zahir. Hal itu seperti
halnya syubhat yang telah dihadapkan kepada sebagian kalangan ahli
fiqih, sehingga dia juga menduga bahwa sumpah janji itu tidak bisa rusak
karena hal tersebut. Maka, Ibnu Wahab telah meriwayatkan dengan
sanadnya dari 'Ibayah yang berkata, "Pembunuhan terhadap Ibnu al-Asyraf
ini telah disampaikan di hadapan Mua'awiyah, lalu Ibnu Yamin berkata,
"Pembunuhan ini adalah pengkhianatan!" Lalu Muhammad bin Maslamah
berkata, "Wahai Mu'awiyah, apakah dia mengkhianati Rasulullah di
hadapanmu, lalu kamu tidak mengingkari?! Demi Allah, selamanya tidak ada
atap yang akan melindungiku dan dirimu, dan mereka pun tidak bakhil
kepadaku atas darah orang ini, melainkan aku telah membunuhnya."
Dalil Kedua:
Kisah Abu 'Afak al-Yahudi (kakek tua berumur 120 thn)
Sungguh,
al-Waqidi telah meriwayatkan bahwa seorang syaikh (orang yang sudah
tua) dari Bani 'Amr bin 'Auf yang disebut Abu 'Afak, dan dia adalah
seorang syaikh (orang yang sudah tua) yang sudah berusia 120 tahun
sewaktu Nabi datang di Madinah pemah memprovokasi orang-orang untuk
memusuhi Nabi , dan dia tidak pemah masuk ke dalam agama Islam. Ketika
Nabi keluar ke medan Badar dan Allah telah memberinya keberuntungan atas
kemenangan yang dicapainya, maka dia merasa iri dan benci kepada Nabi,
sehingga dia pun melantunkan sebuah qasidah yang mengandung unsur celaan
kepada Nabi dan juga terhadap para pengikut beliau. Dia mengucapkan, "Maka, seorang penunggang (kuda) itu merampas harta mereka, baik yang haram maupun yang halal untuk mereka sekalian."
Salim
bin 'Umair berkata, "Aku bemadzar akan membunuh Abu 'Afak atau malah
akulah yang akan mati." Maka, dia pun sabar menunggu kesempatan dan
mencari kelengahan Abu 'Afak hingga akhimya tiba suatu malam yang panas
(gerah). Kala itu, Abu 'Afak tidur di serambi rumah dari Bani 'Amr bin
'Auf pada musim kemarau lalu datanglah Salim bin 'Umair. Maka,
Salim pun menusukkan pedang ke arah perut/hati Abu 'Afak hingga pedang
tersebut menembus/menancap di alas tikamya, dan musuh Allah itu pun
seketika menjerit /menyeringai. Lalu, orang-orang yang
termasuk dalam ucapannya tersebut mengerumuninya, lalu mereka memasukkan
tubuhnya ke dalam rumahnya dan menguburkannya. Mereka bertanya,
"Siapakah yang telah membunuhnya? Demi Allah, seandainya kami mengetahui
pembunuhnya, niscaya kami pasti telah membunuhnya!"
Hal
ini juga telah dituturkan oleh Muhammad bin Sa'ad, yaitu bahwa Abu
'Afak adalah seorang Yahudi. Dan, sungguh kami telah menyebutkan bahwa
kaum Yahudi di Madinah semuanya telah berjanji kepada Rasulullah , dan
manakala seorang dari mereka ada yang mencerca dan menunjukkan celaan
terhadap Nabi, maka dia harus dibunuh.
Dalam kisah ini terdapat petunjuk yang jelas bahwa seorang kafir
mu'ahid jika dia menampakkan caciannya, berarti dia sudah merusak sumpah
janjinya dan boleh dibunuh melalui tipu muslihat. Hanya saja, pendapat
ini berasal dari riwayat para ulama di bidang peperangan. Dan, tanpa
diragukan lagi, hal ini sah-sah saja bila dijadikan sebagai penguat di
sini.
Dalil Ketiga:
Hadits Anas bin Zanim ad-Daili
Hadits
ini sangat populer menurut kalangan ahli sejarah (sirah), dan telah
disebutkan oleh Ibnu Ishaq, al-Waqidi, dan yang lainnya. Al-Waqidi
sungguh telah meriwayatkan dari Mihjan bin Wahab yang berkata, "Puncak
permusuhan antara Khuza'ah dan Kinanah, adalah bahwa Anas
bin Zanim ad-Dailami telah mencerca Rasulullah, dan ternyata hal itu
didengar oleh seorang pemuda dari kubu Khuza'ah. Seketika, pemuda itu
pun menimpuknya dan melukainya. Lalu Anas pun bergegas kepada
kaumnya dan memperlihatkan lukanya itu. Sehingga dari situ, berkobarlah
pertikaian beserta apa yang sudah terjadi di antara mereka sebelumnya
dan juga tuntutan kematian oleh Bani Bakar terhadap pihak Khuza'ah.
Al-Waqidi
berkata: Haram bin Hisyam bin Khalid al-Ka'bi telah menyampaikan hadits
kepadaku dari bapaknya yang berkata, '"Amr bin Salim al-Khuza'i telah
keluar bersama 40 orang penunggang dari kubu Khuza'ah untuk meminta
pertolongan kepada Rasulullah dan mengabarkan kepada beliau atas apa
yang telah menimpa mereka." Al-Waqidi berkata: Ketika rombongan tersebut
telah sampai, mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas
bin Zanim ad-Daili telah mencerca engkau." Maka, seketika Rasulullah pun menghalalkan darahnya.
Hal itu terdengar oleh Anas bin Zanim ad-Daili, maka dia pun datang
untuk meminta maaf kepada Rasulullah atas apa yang telah diucapkannya
terhadap Nabi, lalu dia pun melantunkan qasidah yang berisi pujian
terhadap diri Rasulullah , dan telah diucapkan oleh Naufal bin Muawiyah
sewaktu meminta maaf kepada beliau, sehingga beliau pun memaafkannya.
Dalil
petunjuknya, adalah bahwa Nabi telah melakukan perjanjian damai dengan
kaum Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah selama sepuluh tahun, dan Bani
Khuza'ah termasuk di dalam perjanjiannya itu. Adapun kebanyakan mereka
adalah kaum Muslimin, dan mereka adalah pemberi kabar bagi Rasulullah ,
baik orang Islam maupun orang kafir. Sedangkan Bani Bakar termasuk di
dalam janji kaum Quraisy. Sehingga, semua orang-orang ini terlibat dalam
perjanjian. Ini menurut riwayat yang telah mutawatir dan tidak
diperselisihkan lagi oleh kalangan ulama.
Sesungguhnya
seorang kafir mu'ahid ini telah mencerca Nabi menurut apa yang
diceritakan darinya, lalu seorang pemuda dari Bani Khuza'ah melukainya,
lalu mereka melaporkan kepada Nabi bahwa orang tersebut telah mencerca
beliau. Laporan tersebut mereka maksudkan agar Nabi memerangi Bani
Bakar, lalu Nabi seketika menghalalkan darah orang tersebut, dan tidak
menghalalkan darah orang yang selainnya. Kalau bukan karena mereka telah
mengetahui bahwa mencerca Nabi oleh seorang kafir mu'ahid itu bisa
menyebabkan balasan/dendam beliau, maka mereka tidak akan pernah
melakukan hal itu. Kemudian, Nabi pun menghalalkan darah orang tersebut
karenanya, meskipun cercaan tersebut dilontarkan dalam masa perjanjian.
Hal ini sebagai nosh (ketetapan) bahwa seorang kafir mu'ahid yang
mencerca Nabi itu dihalalkan darahnya.
Kemudian,
pada saat Anas bin Zanim datang, maka dia pun masuk Islam di dalam
syairnya. Oleh karena itu, mereka pun memasukkannya ke dalam daftar
sahabat Rasulullah, dan karenanya pula, dia sangat mengingkari telah
mencerca Nabi , dan menampik kesaksian orang-orang tersebut bahwa mereka
adalah musuh-musuhnya, mengingat di antara dua kabilah tersebut
terdapat pertumpahan darah dan peperangan. Jika saja apa yang
dilakukannya itu tidak sampai menghalalkan darahnya, niscaya dia tidak
memerlukan sedikit pun dari semua itu. Kemudian setelah dia masuk Islam,
mengungkapkan apologi (permintaan maaf)nya, menyangkal ucapan para
pembawa berita dan memuji Rasulullah , dia meminta ampunan kepada Nabi
atas penghalalan darahnya.
Dan,
ampunan tersebut hanya terwujud dengan diperbolehkannya menimpakan
sanksi (hukuman) atas dosa yang telah diperbuatnya. Dari sini bisa
diketahui, bahwa Nabi semestinya berhak menjatuhkan hukuman terhadapnya
sewaktu dia datang untuk menjadi seorang Muslim, akan tetapi beliau
memaafkannya karena kearifan dan kemurahannya. Di dalam hadits ini
disebutkan, bahwa Naufal bin Mu'awiyahlah yang menjadi mediatomya kepada
Nabi. Dan, umumnya para ulama sejarah (sirah) menyebutkan, bahwa Naufal
ini merupakan biangnya orang-orang yang sombong yang telah memusuhi
Bani Khuza'ah dan membunuh mereka. Dan untuk tugas itu, mereka telah
dibantu oleh orang-orang Quraisy. Oleh karena itulah, maka sumpah janji
orang-orang Quraisy dan Bani Bakar menjadi batal/terlanggar. Kemudian,
Naufal masuk Islam pada waktu sebelum peristiwa Fathu Makkah hingga dia
menjadi mediator bagi orang yang telah mencerca Nabi ini.
Dari
sini bisa diketahui, bahwa mencerca Nabi (melalu syair) ini lebih berat
dari sekadar melanggar / membatalkan janji dengan memerangi. Mengingat
jika seseorang melanggar janji dengan cara memerangi, sedangkan yang
lain mencerca Nabi , lalu keduanya masuk Islam, maka orang yang
memerangi tersebut dilindungi darahnya, sementara orang yaqg mencerca
tersebut boleh dibalas. Oleh karena itu, pemuda ini menyertakan dosa
"pencorengan kehormatan" tersebut dengan dosa "penumpahan darah atau
pembunuhan". Dari sini bisa diketahui, bahwa keduanya sama-sama
menyebabkan dirinya dibunuh, dan bahwa mencoreng kehormatan Nabi menurut
mereka lebih besar dosanya daripada membunuh kaum Muslimin dan kafir
mu'ahid.
Hal
itu diperjelas bahwa Nabi tidak pernah menghalalkan darah seorang pun
dari Bani Bakar yang melanggar/merusak sumpah janjinya itu sendiri.
Justeru, beliau telah mempersilahkan Bani Bakar untuk membalas dendam
mereka terhadap Bani Khuza'ah sewaktu Fathu Makkah, tepatnya di tengah
siang belong, dan beliau juga menghalalkan darah orang ini sendiri
hingga dia masuk Islam dan memohon maaf.
Hal
ini mengingat perjanjian tersebut adalah perjanjian untuk damai dan
gencatan senjata, bukan perjanjian jizyah (upeti) dan dzimmah
(perlindungan). Dan, seorang kafir muhadin (yang terikat janji damai)
yang bertempat tinggal di negerinya bisa melakukan di negerinya tersebut
segala bentuk kemungkaran ucapan maupun perbuatan yang berkaitan dengan
agama dan dunianya dengan sesuka hatinya.
Dan,
hal itu tidak membuat sumpah janjinya batal hingga dia harus diperangi.
Dari sini bisa diketahui, bahwa cercaan (dalam bentuk syair) merupakan
salah satu jenis/bentuk peperangan dan bisa jadi lebih berat daripada
hal itu, dan bahwa orang yang mencerca Nabi itu tidak mempunyai
perlindungan keamanan.
PASAL KEEMPAT:
Halalnya Darah Seorang Kafir Harbi Karena Mencaci Maki Nabi Meskipun Dia Bertaubat
Halalnya
darah seorang kafir harbi oleh karena telah mencaci maki Nabi dan
adanya syariat untuk membunuhnya meskipun dia datang bertaubat setelah
mampu melakukannya, berdasar pada banyak dalil dari as-Sunnah, di
antaranya: Bahwa Nabi telah menyuruh untuk membunuh sekelompok orang
dikarenakan telah mencaci maki beliau, dan juga membunuh sekelompok
orang lainnya dikarenakan alasan yang sama. Namun, pada satu sisi beliau
menahan diri (tidak membunuh) dan membiarkan orang yang memiliki
posisi/kedudukan yang sama dengan mereka, mengingat dia adalah seorang
kafir harbi.
Dalil
lainnya, adalah riwayat yang telah disampaikan oleh Sa'id bin
al-Musayyib bahwa Nabi sewaktu peristiwa Fathu Makkah telah menyuruh
untuk membunuh Ibnu az-Zaba'ri. Dan, di sini Sa'id bin al-Musayyib
merupakan perawi hadits-hadits mursal yang paling baik kualitasnya, dan
tidaklah menjadi masalah bila riwayat ini tidak disebut-kan oleh
sebagian kalangan ulama spesialis di bidang peperangan. Hal itu
mengingat mereka berselisih pendapat tentang jumlah orang yang
dikecualikan dari jaminan keamanan yang diberikan Nabi waktu itu.
Masing-masing mengabarkan apa yang telah diketahuinya.
Adapun
orang yang menetapkan dan menyebutkan sesuatu itu menjadi hujah bagi
orang yang tidak menetapkannya. Dalil petunjuk dari kisah Ibnu
az-Zaba'ri ini adalah bahwa dosa yang diperbuat oleh Ibnu az-Zaba'ri
bahwa dia orang yang sangat memusuhi Rasulullah dengan lisannya. Dia
adalah orang yang paling hebat membuat syair. Dia pernah mencerca para
penyair Islam, semisal Hassan bin Tsabit dan Ka'ab bin Malik. Adapun
dosa-dosanya yang lain telah terbawa ke dalam dosanya ini. Cukup banyak
orang dari kaum Quraisy yang telah terdidik di bawah asuhannya. Kemudian
Ibnu az-Zaba'ri lari ke Najran, dan setelah itu dia menghadap Nabi
untuk masuk Islam.
Dia
mempunyai banyak syair indah/bagus berkaitan dengan tema taubat dan
apologi (permintaan maaf). Lalu, Nabi pun menghalalkan darahnya karena
pemah mencerca beliau (dalam syaimya), padahal waktu itu beliau telah
memberi jaminan kemananan kepada seluruh penduduk kota Makkah, selain
orang yang melakukan kejahatan semacam ini dan yang sejenisnya. Di
antara dalil lainnya adalah kisah Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul
Mutthalib. Hal itu, mengingat kisah tentang caci makiannya terhadap Nabi
dan berpalingnya muka Nabi dari dirinya sewaktu dia datang menghadap
beliau untuk masuk Islam, sudah sangat masyhur dan populer.
Ibnu
Ishaq berkata: Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah
bin al-Mughirah telah menemui Rasulullah di Tsaniyat al-'Uqab yang
berada di antara Madinah dan Makkah. Keduanya memohon untuk menghadap
beliau. Lalu, Ummu Salamah pun mengatakan kepada beliau tentang
keduanya, dan berkata, "Wahai Rasulullah, mereka adalah putera pamanmu
dan putera bibimu dan sekaligus iparmu." Namun, Nabi menjawab, "Aku
tidak peduli terhadap mereka berdua! Adapun putera pamanku itu, dia
telah merusak kehormatanku, sedangkan putera bibiku dan iparku itu, maka
dialah orang yang telah mengucapkan apa yang telah diucapkannya di
Makkah. ". Imam ath-Thabarani dalam kitab al-Kabir, (8/11); Imam
al-Haitsami di dalam kitab Majma' az-Zawaaid (6/167) berkata: rijal atau
perawi hadits ini adalah rijal yang shahih.
Ketika
kabar tersebut terdengar oleh keduanya dan Abu Sufyan waktu itu
ditemani oleh puteranya maka dia pun berkata, "Demi Allah, sungguh
Rasulullah mengizinkanku ataukah aku akan menyeret tangan puteraku ini
untuk enyah/berkelana di muka bumi ini hingga kami mati dalam keadaan
dahaga atau kelaparan." Ketika Rasulullah mendengar ucapan Abu Sufyan
tersebut, maka hatinya merasa miris/iba kepada keduanya, sehingga
keduanya boleh menemuinya.
Lalu,
Abu Sufyan menyatakan keIslamannya dan permohonan maafnya atas apa yang
telah diperbuatnya terhadap Nabi di masa lampau. Dalil petunjuk dari
kisah Abu Sufyan ini adalah bahwa Nabi telah menghalalkan darah Abu
Sufyan bin al-Harits, bukan darah para pemuka kaum musyrikin lainnya
yang sangat berandil besar dalam memerangi Nabi dengan tangan dan harta.
Nabi datang ke Makkah bukan untuk menumpahkan darah atau membunuh
penduduknya, melainkan untuk mengasihi mereka di bawah naungan Islam.
Dan,
tidak ada sebab atau alasan yang mengkhususkan penghalalan darah Abu
Sufyan itu, melainkan karena cercaannya terhadap diri Nabi . Kemudian
Abu Sufyan pun datang untuk masuk Islam, namun Nabi memalingkan muka
darinya. Padahal, tujuan semula Nabi adalah mempersatukan orang-orang
yang berjauhan atas landasan Islam, terlebih-lebih terhadap keluarga
terdekatnya. Semua itu dikarenakan Abu Sufyan telah merusak kehormatan
Nabi , sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadits.
Di
antara dalil lainnya lagi, adalah bahwa Nabi pada waktu Fathu Makkah
juga telah menyuruh untuk membunuh al-Huwairits bin Naqid, dan kisah ini
pun sangat populer di mata kalangan ulama sejarah (sirah). Musa bin
'Uqbah di dalam kitab Maghozi-nya mengatakan dari az-Zuhri—dan ini
merupakan kitab tentang peperangan yang paling shahih—. Dia menuturkan,
"Rasulullah menyuruh mereka agar menahan diri untuk tidak memerangi
seorang pun kecuali orang-orang yang telah memerangi mereka. Beliau
menyuruh untuk membunuh empat orang yang salah satunya adalah
al-Huwairits bin Nuqaid." Konon, al-Huwairits termasuk daftar orang yang
telah menyakiti Rasulullah , dan akhimya Ali bin Abu Thalib pun
membunuhnya. .Lihat as-Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi, (9/121).
Dalil
petunjuk dalam kisah ini adalah bahwa Nabi telah menyuruh untuk
membunuh orang ini hanya karena dia telah menyakiti Nabi , meskipun
waktu itu beliau telah memberi jaminan keamanan kepada penduduk Makkah
yang pernah memerangi Nabi beserta para sahabatnya, dan bahkan telah
melakukannya berulang-ulang kali.
Di
antara dalil lainnya, adalah bahwa Nabi sewaktu pulang dari Badar untuk
kembali ke Madinah, beliau membunuh Nadhar bin al-Harits dan 'Uqbah bin
Abu Mu'ith, namun beliau tidak membunuh para tawanan perang Badar yang
lainnya. Dan, kisah ini sudah sangat terkenal.
Al-Waqidi
berkata: Rasulullah menghadap para tawanan hingga ketika mereka tiba di
'Irq adh-Dhibyah. Beliau menyuruh 'Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah
untuk memenggal leher 'Uqbah bin Abu Mu'ith. Sehingga, 'Uqbah pun
bertanya, "Sungguh celakalah aku, atas dasar apakah aku dibunuh di
antara para tawanan yang hadir di sini, wahai kaum Quraisy?" Lalu
Rasulullah pun menjawab: "... karena permusuhanmu terhadap Allah dan
rasul-Nya." Dalil petunjuk yang terdapat dalam kisah Nadhar dan 'Uqbah,
bahwa mencaci maki yang menyebabkan kedua orang ini dibunuh di antara
seluruh tawanan perang adalah karena ucapan dan perbuatan mereka yang
telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya ayat-ayat yang turun
berkenaan dengan Nadhar ini sudah terkenal.
Begitu
pula penyiksaan oleh Ibnu Abi Mu'ith juga sangat masyhur, baik itu
melalui lisannya ataupun tangannya, yaitu semisal ketika dia menjerat
dengan sangat kuat leher Nabi dengan selendangnya karena menginginkan
kematian beliau, dan ketika dia melemparkan duri pohon kurma ke atas
punggung Nabi , sementara beliau waktu itu sedang melakukan sujud, dan
lain sebagainya.
Di
antara dalil lainnya lagi, adalah perintah Nabi untuk membunuh siapa
saja dari kaum Quraisy dan seluruh bangsa Arab yang telah mencercanya
setelah Fathu Makkah, semisal Ka'ab bin Zuhair dan yang lainnya. Di
antara kisah Ka'ab, yaitu setelah dia mendengar bahwa Nabi telah
menghalalkan darahnya, dia segera menghadap Nabi untuk meminta
perlindungan, bertaubat dan masuk agama Islam. Ketika itu, dia
melantun-kan qasidahnya yang terkenal dengan judul, Baanat Su'aadu.
Lalu, Nabi pun memaafkannya dan menerima taubatnya. Penghalalan darah
Ka'ab bin Zuhair oleh Nabi atas apa yang telah diucapkannya itu, meski
sebenarnya ucapan itu bukan merupakan cercaan yang mendalam, lebih
dikarenakan dia telah mencerca agama Islam, mencela diri Nabi dan
mencela ajaran yang diserukan oleh Rasulullah .
Sedang
permohonan maaf oleh Ka'ab meskipun dia telah bertaubat sebelum mampu
melakukan taubat itu dan telah datang sebagai seorang Muslim sedangkan
dia adalah seorang kafir harbi adalah sebagai dalil akan
kepatutan/kemestian seorang kafir harbi untuk dibunuh, meskipun dia
telah masuk Islam dan datang untuk bertaubat. Di antara dalil lainnya
juga, adalah kisah Abu Rafi' al-Yahudi. Dia termasuk salah seorang yang
diceritakan telah dibunuh karena menyakiti Nabi. Dan, kisah orang ini
sudah sangat populer di kalangan para ulama. Maka di sini, kami akan
menuturkan tempat petunjuk atau Dalil dari kisah tersebut.
Dari
Barra' bin 'Azib yang berkata, "Rasulullah telah mengutus beberapa
pemuda dari kalangan Anshar kepada Abu Rafi' al-Yahudi. Beliau
menyerahkan kepemimpinan atas mereka kepada Abdullah bin 'Atik. Ketika
itu, Abu Rafi' telah menyakiti Nabi dan membantu hal itu, dan dia berada
dalam suatu benteng di daerah Hijaz. Ketika para pemuda itu sudah
dekat, sementara matahari telah terbenam dan orang-orang pun telah
pulang dari bepergiannya, Abdullah pun berkata kepada kawan-kawannya,
"Duduklah kalian di tempat kalian, karena aku akan pergi dan berlaku
sopan kepada penjaga pintu agar aku bisa masuk." Setelah itu, dia pun
berjalan dan mendekati pintu.
Kemudian,
dia bertutup dengan pakaiannya, seakan-akan dia sedang memenuhi
hajatnya. Orang-orang pun masuk pintu, lalu penjaga pintu itu pun
berbisik kepadanya, "Wahai Abdullah, jika kamu ingin masuk, maka
masuklah, karena aku ingin menutup pintu." Abdullah bertutur, "Maka, aku
segera masuk lalu bersembunyi/menyelinap. Ketika orang-orang telah
masuk, maka penjaga pintu itu pun menutup pintunya dan meng-gantungkan
kunci-kuncinya pada sebuah pasak/gantungan." Abdullah bertutur, "Lalu
aku pun berdiri menghampiri kunci-kunci itu, lalu meng-ambilnya dan
membuka pintu.
Malam
itu, Abu Rafi' sedang mengobrol/ bercengkrama dengan orang yang
bersamanya, dan dia berada dalam ruangan atas. Ketika teman-teman
cengkrama/ngobrolnya telah pergi, maka aku pun segera naik. Dan setiap
kali aku membuka pintu, maka aku tutup Jika telah aku nadzarkan, maka
mereka tidak akan selamat dariku hingga aki bisa membunuhnya. Lalu aku
pun sampai kepadanya. Ternyata dia berada dalam rumah/ruangan gelap yang
terletak di tengah-tengah keluarganya. Aki tidak bisa melihat di
rumah/ruangan manakah dia berada. Aku pun bersuare "Wahai Abu Rafi'."
Dia pun menyahut, "Siapa ini?" Lalu aku segera turun mendatangi arah
suara itu, dan langsung menebaskan pedang ke arahnya; dengan sekali
tebasan. Aku sangat takut dan tidak mempunyai seorang penolong pun.
Seketika itu Abu Rafi' pun menjerit.
Lalu
aku keluar dai rumah/ruangan itu dan berdiri tidak jauh darinya.
Kemudian aku kembal kepadanya dan berkata, "Apakah teriakan ini, wahai
Abu Rafi?" Di; berkata, "Sungguh celaka, seorang lelaki di dalam
rumah/ruangan telal menebaskan pedang kepadaku tadi." Abdullah bertutur,
"Lalu aku menebas kan pedang ke arahnya lagi dengan tebasan yang bisa
membunuhnya. Namun, temyata aku belum mampu membunuhnya. Kemudian
aku menusukkan mata pedang ke arah perutnya hingga menembus punggung
nya, sehingga aku pun tahu bahwa aku telah membunuhnya.
Lalu,
aku membuka pintu-pintu tersebut satu per satu hingga sampai pada
tangga. Lalu aku langkahkan kakiku dan temyata aku telah sampai di
tanah/lantai dasar Namun, aku terjatuh dalam malam yang diterangi oleh
cahaya bulan itu hingga betisku retak/patah, dan aku pun membalutnya
dengan sorban Kemudian aku pergi untuk kemudian duduk di depan pintu.
Aku katakah: Aku tidak akan keluar malam ini hingga aku mengetahui benar
apakah aku telah membunuhnya atau belum? Ketika ayam jantan telah
berkokok, seseorang yang meratapi kematian Abu Rafi' berdiri di atas
pagar dan aerkata, "Seorang pedagang dari penduduk Hijaz meratapi Abu
Rafi'."
Lalu
aku pergi menghampiri kawan-kawanku dan aku katakan, "Suatu
keberhasilan, sungguh Allah telah membunuh Abu Rafi'." Lalu aku sampai
ke hadapan Nabi dan menceritakan semuanya kepada beliau. Kemudian beliau
berkata, "Rentangkan kakimu." Lalu, aku pun merentang-tan kakiku, dan
Nabi pun mengusapnya, dan seolah-olah aku tidak jemah mengeluhkannya,"
(HR. Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya).. Lihat Fathul Ban dalam kitab
pembahasan tentang peperangan, (71395, 396, hadits no. 4039).
Dalil petunjuk dari kisah Abu Rafi': Sungguh, telah terlihat jelas dalam usah ini, bahwa kaum Muslimin atas seizin Nabi telah secara sembunyi-sembunyi membunuhnya
dikarenakan dia telah menyakiti dan memusuhi, dan bahwa dia seperti
Ibnu al-Asyraf, hanya saja Ibnu al-Asyraf adalah seorang kafir mu'ahid.
Lalu, Abu Raff menyakiti Nabi ljg dan Rasul Nya. Sehingga, Nabi pun
menyuruh kaum Muslimin untuk membunuh-nya, dan dia bukanlah seorang
kafir mu'ahid.
Di
antara dalil lainnya adalah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi pemah
keluar untuk membunuh orang yang mencercanya (melalui syair) dan
bersabda, "Siapakah yang mau membelaku terhadap musuhku?"
Al-Umawi di dalam kitab Maghazi-Nya telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa seorang lelaki dari kaum musyrikin telah mencela Rasulullah ,
lalu Rasulullah pun bersabda, "Siapakah yang mau me/indungilcu terhadap
musuhku?". Lihat Mushannaf Abdurrazzaq, hadits no. 9477, 9704. Telah
disebutkan takhrijnya. Derajat hadits ini dhaif.
Maka,
Zubair bin 'Awam berdiri dan berkata, "Aku." Lalu Zubair membunuh
lelaki itu, dan Rasulullah pun memberi harta rampasan dari lelaki itu
kepada Zubair, dan saya menduga itu hanya terjadi pada perang Khaibar
sewaktu Yasir terbunuh. Dan, hadits ini juga diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa seorang lelaki
telah mencaci maki Nabi , lalu beliau pun bersabda, "Siapakcah yang mau
membelaku terhadap musuhku." Lalu Khalid berkata, "Aku." Lalu Nabi pun
mengirimnya kepada lelaki itu, hingga Khalid membunuhnya.
Di
antara dalil lainnya adalah bahwa para sahabat Nabi jika mereka
mendengar ada orang yang mencaci maki dan menyakiti Nabi , maka mereka
akan membunuhnya, meskipun orang itu adalah kerabatnya. Maka, Nabi pun
mengakui hal itu kepada mereka dan meridhainya. Dan, terkadang orang
yang melakukan hal itu disebut sebagai pembela Allah dan Rasul-Nya. Abu
Ishaq al-Fazari di dalam kitabnya yang terkenal tentang sirah (sejarah)
telah meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, dari Isma'il bin Sami', dari
Malik bin 'Umair yang berkata, "Telah datang seorang lelaki kepada
Rasulullah dan berkata, "Sesungguhnya aku bertemu ayahku di antara kaum
musyrikin, lalu aku mendengar darinya ucapan kotor yang ditujukan
kepadamu. Maka, aku pun tidak sabar untuk menusuknya dengan tombak dan
membunuhnya.
Abu
Ishaq al-Fazari di dalam kitab yang sama juga telah meriwayatkan dari
al-Auza'i, dari Hassan bin 'Athiyah yang berkata: Rasulullah H telah
mengutus satu pasukan yang di di dalamnya terdapat Abdullah bin Rawahah
dan Jabir. Ketika mereka telah berhadapan dengan kaum musyrikin, maka
terdapat seseorang dari kaum musyrikin yang mencaci maki Rasulullah .
Lalu, seseorang dari kaum Muslimin berdiri dan berkata, "Aku adalah
fulan bin fulan, dan ibuku adalah fulanah, maka caci makilah aku dan
ibuku, dan janganlah kamu mencaci maki Rasulullah " Namun, hal itu malah
menambah permusuhan si pencaci maki itu.
Lalu
dia pun mengulangi kata-katanya itu, dan begitu pula lelaki musyrik itu
pun mengulangi tindakannya. Lalu pada ucapan yang ketiga kalinya lelaki
Muslim itu berkata, "Jikalau kamu ulangi lagi, niscaya akan aku serang
kamu dengan pedangku." Lalu temyata lelaki musyrik itu mengulangi
tindakannya itu, sehingga lelaki Muslim itu pun menyerangnya. Namun,
lelaki musyrik itu kabur/lari, dan lelaki Muslim itu pun mengejarnya
hingga dia merobek/membelah barisan kaum musyrikin, lalu menebas lelaki
musyrik itu dengan pedangnya, dan akibatnya kaum musyrikin pun
mengepungnya dan membunuhnya. Pada saat itu, Rasulullah bersabda,
"Apakah kalian terkesima dari lelaki yang telah membela Allah dan
Rasul-Nya ini?" Kemudian, lelaki musyrik itu pun sembuh dari lukanya,
untuk kemudian masuk Islam. Konon, lelaki itu bemama ar-Rahil. Kisah ini
juga telah diriwayatkan oleh al-Umawi di dalam kitab Maghazi-nya persis
seperti ini.
Semua
hadits-hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah mencaci maki dan
menyakiti Nabi dari kalangan kaum kafir, itu dikehendaki kematiannya
oleh Nabi dan diperintahkan untuk dibunuh karena tindakannya itu. Begitu
pula, para sahabatnya juga akan melakukan hal yang sama. Namun, pada
sisi yang lain beliau membiarkan orang lain yang sepertinya, meskipun
sebenarnya orang itu adalah seorang kafir yang tidak terikat perjanjian.
Bahkan, beliau malah memberi jaminan keamanan bagi orang-orang tersebut
dan berbuat baik kepada mereka tanpa suatu perjanjian antara beliau
dengan mereka sama sekali. Kewajiban Membunuh Seorang Pencaci Maki Nabi
dengan Memberi Maaf Kepada Pelaku Kekufuran yang Sejenisnya, Itu Sudah
Terpatri dalam Sanubari Para Sahabat.
Sunnah
Rasulullah yang telah kita sampaikan ini yang berkaitan dengan
kewajiban membunuh orang yang telah mencaci maki beliau dari kalangan
kaum musyrikin, serta pemberian maaf kepada pelaku kekufuran yang
sejenisnya, sudah terpatri dalam hati sanubari para sahabat pada masa
Nabi . Mereka menghendaki pencaci maki itu dibunuh dan menganjurkan hal
itu, meskipun mereka tidak melakukan itu terhadap yang lainnya. Mereka
juga menjadikan hal itu sebagai faktor yang menyebabkan pelakunya harus
dibunuh, dan mempertaruhkan jiwanya untuk itu. Dalam hal ini telah
disebutkan beberapa hadits; di antaranya, adalah:
• Hadits tentang seseorang yang mengatakan, "...
Caci makilah aku dan ibuku, dan janganlah itu kamu lakukan terhadap
Rasulullah ." Kemudian dia pun menyerang pelakunya hingga dia sendiri
terbunuh.
• Hadits tentang seorang yang telah membunuh bapaknya sewaktu dia mendengar bapaknya mencaci maki Nabi .
• Hadits tentang seseorang dari kaum Anshar yang telah bemadzar untuk membunuh al-Ashma', lalu dia pun membunuhnya.
•
Hadits tentang seseorang yang telah bernadzar untuk membunuh Ibnu Abi
Sarah, dan Nabi menahan diri untuk memba'iatnya hingga dia memenuhi
nadzarnya.
•
Dan riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari
hadits Abdurrahman bin Auf tentang kemauan keras dua orang pemuda Anshar
yang ingin membunuh Abu Jahal pada waktu perang Badar, dikarenakan dia
telah mencaci maki Rasulullah . Kisah ini sudah sangat populer, yaitu
tentang kegembiraan Nabi t akan kematian Abu Jahal dan sujudnya beliau
karena syukur.
Beliau
bersabda, "Orang ini adalah fir'aunnya umat ini.".Musnad Imam Ahmad,
(1/444); Imam ath-Thabarani dalam al-Kabir, (9/82, 83); Kisah pembunuhan
Itu termuat dalam Shahih Bukhari dan Muslim; dan lihat Gath al-Bari,
(7/293).
Hal
ini terlepas adanya larangan beliau untuk membunuh Abu al-Bukhturi Ibnu
Hisyam, padahal dia adalah seorang kafir yang tidak punya ikatan
perjanjian, mengingat Ibnu Hisyam telah menghindari perbuatan itu dan
malah berbuat baik dengan berusaha merusak lembar kezaliman. Dan juga
Nabi telah berkata, "Seandainya Muth'im bin 'Adi masih hidup, kemudian
dia berkata kepadaku tentang para tawanan ini, niscaya aku bebaskan
mereka semua untuknya." Beliau memberi hadiah kepada Muth'im karena
telah memberi sewaan kepadanya sewaktu berada di Makkah, dan Muth'im
bukanlah seorang yang terikat perjanjian. Dari sini bisa diketahui,
bahwa seorang yang menyakiti Nabi wajib dibunuh dan dibalas. Berbeda
dengan orang yang menjauhi hal itu, meskipun mereka berdua sama-sama
orang kafir. Sebagaimana Nabi *jg malah memberi hadiah kepada orang yang
berbuat baik kepadanya karena kebaikannya itu, meskipun dia adalah
seorang kafir.
Balasan
Allah untuk Nabi-Nya Terhadap Orang-Orang yang Menyakitinya, Jika Kaum
Mukminin Tidak Mampu Melakukannya Di antara sunnatullah adalah bahwa
jika kaum Mukminin tidak sanggup menyiksa seseorang dari golongan
orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah
akan membalasnya untuk Rasul-Nya dan akan menjaga beliau terhadap
kejahatan orang tersebut. Sebagaimana hal itu telah kita sampaikan dalam
kisah seorang penulis yang mereka-reka atas nama Nabi , dan sebagaimana
Allah telah berfirman:
"Maka
sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara
kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu.
(Al-Hijr: 94-95)
Kisah
tentang pembinasaan yang dilakukan Allah terhadap satu per satu dari
orang-orang yang mengejek Nabi ini sudah sangat populer, dan para ulama
ahli sejarah dan tafsir telah mengisahkannya. Mereka berdasarkan apa
yang telah dikisahkan adalah sejumlah orang yang merupakan pemuka-pemuka
kaum Quraisy. Di antaranya adalah: al-Walid bin al-Mughirah, al-'Ash
bin Wail, dua orang hitam yang merupakan putera dari Abdul Mutthalib,
dan putera dari Abdu Yaghuts, serta Hants bin Qais.
Sungguh,
Nabi telah menulis surat kepada Kisra dan Kaisar, dan keduanya tidak
masuk Islam, akan tetapi Kaisar sangat menghormati surat Nabi tersebut
dan memuliakan utusannya, sehingga tetap kokohlah kekuasaannya,
sedangkan Kisra merobek-robek surat Rasulullah tersebut dan sebaliknya
malah mengejek Rasulullah , sehingga tidak berselang lama Allah pun
membunuhnya dan mengkoyak-koyak kekuasaannya, dan tidak tersisa sedikit
pun kekuasaan bagi para Kisra. Hal ini Wallahu A'lam, merupakan
pembuktian terhadap firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang membend
kamu, dialah yang terputus." (al-Kautsar: 3)
Karena
itu, semua orang yang membenci dan memusuhinya, maka Allah akan memutus
asal pangkalnya dan menghilangkan dirinya dan jejaknya. Dan dikatakan,
sesungguhnya ayat ini turun kepada al-'Ash bin Wail, atau 'Uqbah bin Abu
Mu'ith, atau kepada Ka'ab bin al-Asyraf, dan sungguh Anda tclah melihat
apa yang telah diperbuat oleh Allah terhadap mereka semua. Di antara
ungkapan yang sudah sangat populer adalah, "Daging para ulama itu
beracun." Lalu, bagaimana dengan daging para Nabi? Disebutkan dalam
hadits shahih dari Anas dari Nabi, bahwa bcliau bersabda, "Allah
berfirman, "Barangsiapa yang memusuhi salah seorang waliku, maka sungguh
dia telah menantang Aku untuk perang. " Lalu, bagaimana dengan orang
yang telah memusuhi para Nabi sendiri, dan juga orang yang memusuhi
Allah.
Kewajiban
Membunuh Seorang Pencaci Maki Dikarenakan Caci Makiannya, Bukan
Semata-Mata Karena Kekufurannya Jika telah ditetapkan secara kuat
melalui sunnah Rasulullah, sirah para sahabat dan lain sebagainya yang
telah kita sebutkan di atas, bahwa seorang pencaci maki Rasulullah itu
wajib dibunuh, maka di sini akan kami katakan: bahwa kewajiban untuk
membunuh orang tersebut tidak lain dikarenakan dia seorang kafir harbi
atau karena caci makiannya yang mengandung hal tersebut. Faktor yang
pertama dinyatakan batil, karena hadits-hadits tersebut menetapkan bahwa
orang tersebut tidak dibunuh hanya semata-mata karena dia seorang kafir
harbi, melainkan kebanyakan hadits-hadits tersebut menetapkan bahwa
faktor yang menyebabkan orang tersebut dibunuh tidak lain adalah caci
makiannya itu.
Oleh
karena itu, kami katakan di sini: Jika seorang kafir harbi itu wajib
dibunuh karena dia telah mencaci maki Rasulullah, maka tentunya seorang
Muslim dan kafir dzimmi juga demikian. Karena, faktor yang
menyebabkannya dibunuh adalah caci makiannya tersebut, bukan semata-mata
karena kekufuran dan permusuhannya terhadap Nabi, seperti yang telah
dijelaskan. Maka, di mana saja faktor ini berada, maka di situ pula
terdapat kewajiban untuk membunuh. Hal itu mengingat kekufuran hanya
menghalalkan darah, tidak menyebabkan pembunuhan terhadap seorang kafir
dalam kondisi apa pun. Sehingga, pada waktu itu, boleh baginya
mendapatkan keamanan, melakukan perjanjian damai dengannya, memberi
hadiah kepadanya dan membayar tebusannya. Akan tetapi, jika seorang
kafir itu memiliki janji yang melindungi darahnya yang telah dihalalkan
oleh kekufurannya itu, maka hal ini sebagai perbedaan antara seorang
kafir harbi dan dzimmi. Adapun faktor-faktor lainnya yang menyebabkan
dia dibunuh, maka hal itu tidak termasuk dalam hukum perjanjian ini.
Telah
nyata melalui as-Sunnah bahwa Nabi pernah menyuruh untuk membunuh
seorang yang mencaci maki beliau hanya semata-mata karena caci makiannya
itu, bukan karena kekufuran yang tidak punya ikatan perjanjian
dengannya. Jika telah didapati caci makian ini dan caci makian itu
merupakan penyebab si pelakunya dibunuh, sedangkan pada satu sisi sumpah
janji tidak bisa melindungi dari keharusan itu maka pada saat itulah
dia wajib dibunuh. Hal itu juga karena kebanyakan perkara tersebut
disebabkan karena dia adalah seorang kafir harbi yang mencaci maki Nabi.
Adapun seorang Muslim jika dia mencaci maki Nabi maka dia menjadi
seorang murtad yang mencaci maki Nabi .
Dan, membunuh seorang yang murtad itu lebih diwajibkan daripada membunuh seorang kafir tulen (asli).
Begitu pula, seorang kafir dzimmi, jika dia mencaci maki Nabi , maka
dia berubah menjadi seorang kafir yang mencaci maki Nabi setelah sumpah
janjinya yang terdahulu, dan membunuh orang semacam ini lebih ditekankan
lagi. Dari hadits-hadits tersebut tampak jelas bahwa seorang pencaci maki Nabi wajib dibunuh.
Karena,
Nabi dalam beberapa tempat/kesempatan telah menyuruh untuk membunuh
seorang pencaci maki tersebut, dan suatu perintah menuntut suatu
kewajiban. Dan, Nabi tidak pernah mendengar cacian atas dirinya dari
seseorang, melainkan beliau telah menghalalkan darah orang tersebut, dan
begitu pula sikap para sahabatnya. Hal ini terlepas adanya kemungkinan
beliau untuk memaafkannya.
Maka,
jika sekiranya beliau tidak mungkin memaafkan orang tersebut, perintah
membunuh seorang pencaci itu menjadi lebih kuat dan keinginan untuk
itupun menjadi lebih mendesak. Dan, tindakan beliau ini merupakan salah
satu bentuk jihad dan sikap keras/tegas terhadap orang-orang kafir dan
munafik, di samping sebagai upaya menampakkan agama Allah dan
meninggikan kalimat-Nya, dan tindakan ini sebagaimana diketahui,
hukum-nya adalah wajib.
Dari sini bisa diketahui, bahwa secara umum membunuh seorang yang mencaci maki Nabi hukumnya wajib.
Dan sekiranya Nabi sampai memaafkannya, maka dia tidak lain adalah
orang-orang yang ditakdirkan menjadi penegak agama Islam yang taat
kepadanya, atau termasuk orang yang datang dalam keadaan menyerah (masuk
Islam). Adapun orang-orang yang tidak mau atau tercegah untuk itu, maka
Nabi tidak pemah memaafkan seorang pun dari mereka.
Tidak
disangkal lagi, bahwa sebagian sahabat ada yang memberi jaminan
keamanan kepada seorang dari dua biduanita (wanita penyanyi), dan
sebagian mereka ada yang memberi jaminan keamanan kepada Ibnu Abi Sarh,
karena kedua orang ini telah tunduk dan ingin masuk Islam dan taubat.
Dan, barangsiapa yang demikian, maka sungguh Nabi telah memaafkannya,
sehingga dia tidak wajib dibunuh. Jika telah nyata bahwa seorang pencaci
Nabi itu wajib dibunuh, sedangkan seorang kafir harbi yang tidak pernah
mencaci maki Nabi itu tidak wajib dibunuh hanya boleh saja dia dibunuh
maka sudah semestinya jika perlindungan itu tidak bisa melindungi nyawa
orang yang wajib dibunuh itu, dan hanya bisa melindungi nyawa orang yang
boleh dibunuh saja.
Ketahuilah,
bahwa seorang yang murtad itu tidak punya perlindungan, dan bahwa
seorang pembegal dan pezina sewaktu mereka harus dibunuh tidak bisa
dilindungi hanya karena statusnya sebagai seorang dzimmi. Begitu pula,
tidak ada keistimewaan bagi seorang kafir dzimmi atas kafir harbi selain
dengan ikatan janjinya itu. Dan berdasarkan dalil Ijma', ikatan janji
itu tidak berarti sebagai justifikasi dia boleh mencaci maki Nabi.
Dengan demikian, seorang kafir dzimmi boleh jadi telah bersekutu
(bekerja sama) dengan kafir harbi dalam hal mencaci maki Nabi yang
menyebabkan dia dibunuh, sementara dia tidak mengakuinya, maka wajib dia
dibunuh secara paksa.
Di
samping itu, Nabi juga telah menyuruh untuk membunuh orang yang telah
mencaci makinya, meskipun di satu sisi beliau memberi jaminan keamanan
bagi orang yang pemah memerangi dirinya dan hartanya. Dari sini bisa
diketahui, bahwa seorang pencaci maki Nabi itu lebih berat ancamannya
daripada ancaman karena memusuhi Nabi dan yang sejenisnya. Adapun
seorang kafir dzimmi, jika dia memerangi, maka dia harus dibunuh. Maka,
jika dia mencaci maki Nabi , justeru lebih layak lagi harus dibunuh.
Rahasia menjadikan hadits ini sebagai dalil adalah bahwa seorang kafir
dzimmi tidak dibunuh hanya semata-mata karena sumpah janjinya telah
batal. Karena, pembatalan sumpah janji itu membuatnya seperti seorang
kafir yang tidak punya ikatan perjanjian. Dan, telah terbukti melalui
berbagai sunnah ini, bahwa Nabi tidak pemah menyuruh untuk membunuh
seorang pencaci makinya itu hanya semata-mata karena dia seorang kafir
yang tidak terikat perjanjian. Akan tetapi, beliau membunuhnya karena
caci makiannya itu, di samping sebenamya caci makiannya itu menyebabkan
bentuk kekufuran, pemnusuhan dan perlawanan. Tindakannya ini menyebabkan
dia harus dibunuh di mana pun dia berada. Dan, insya Allah pembahasan
tentang kewajiban membunuh orang ini akan disampaikan nanti.
Sebab-Sebab
Terlindunginya Darah Sebagian Orang dari Kalangan Kaum Kafir Harbi yang
Dihalalkan Darahnya Akibat Telah Mencaci Maki Nabi Di antara
orang-orang yang sepatutnya dibunuh akibat mencaci maki Nabi ini, ada
orang yang telah dibunuh, namun di antara mereka ada yang datang untuk
masuk agama Islam dan bertaubat, sehingga darahnya pun terlindungi
karena tiga faktor:
Pertama,
dia telah bertaubat sebelum hukuman mati tersebut sempat dilakukan.
Seorang Muslim yang wajib dikenai sanksi (had) atas dirinya, jikalau dia
telah bertaubat sebelum hukuman tersebut sempat dilakukan, maka secara
otomatis gugurlah hukuman tersebut. Oleh karena itu, hal ini sudah
sepatutnya pula berlaku bagi seorang kafir harbi.
Kedua, Di antara budi pekerti Rasulullah adalah dengan memaafkan mereka.
Ketiga,
seorang kafir harbi, jika dia telah masuk Islam, maka dia tidak dikenai
hukuman atas apa yang telah dilakukannya semasa berada dalam masa
Jahiliyah, baik itu berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak
manusia lainnya. Hal ini menurut sepengetahuan kami tidak ada
perselisihan di antara para ulama, mengingat firman Allah : "Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu, 'Jika mereka berhenti (dari
kekaflrannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka atas dosa-dosa
mereka yang telah lalu'." (al-Anfal: 38) Juga sabda Nabi: "Islam itu
memutus/menghapus apa yang sebelumnya." (HR. Muslim) .Muslim dalam kltab
pembahasan tentang Iman, (1/112); Musnad Imam Ahmad, (4/199, 204, 205);
dan ath-Thabaqaat al-Kubraa, (7: 2/191). Dan juga sabda Nabi :
"Barangsiapa yang berbuat baik di dalam Islam, maka dia tidak dikenai
hukuman atas apa yang telah diperbuatnya semasa berada di dalam masa
Jahiliyah." (Muttafaq 'Alaih) .Muslim, dalam kitab pembahasan tentang
Iman, (1/111); Ibnu Majah dalam kitab pembahasan tentang Zuhud, hadits
no. 4242; dan Musnad Imam Ahmad, (1/409, 431). Lihat Fathul Bari, dalam
kitab pembahasan tentang jihad, (6/39);
Karena
inilah, banyak sekali orang yang telah masuk Islam. Sedangkan mereka
pernah membunuh orang-orang terkcnal, namun tidak seorang pun dan mereka
yang dituntut dengan hukuman mati (qishash), diyat (denda) dan kaffarat
(tebusan). Di antara kasus-kasus semacam ini, adalah: Telah masuk Islam
Wahsyi, sang pembunuh Hamzah; Ibn al-'Ash, sang pembunuh Ibnu Qauqal;
'Uqbah bin al-Harits, sang pembunuh Khubaib bin 'Adi, dan masih ada lagi
orang yang tidak terhitung yang telah tersebut di dalam riwayat yang
shahih bahiwa dia telah masuk Islam, padahal telah dikenal dengan jelas
bahwa dia telah membunuh dengan tangannya sendiri salah seorang dari
kaum Muslimin. Namun, meskipun demikian, Nabi tidak menimpakan kepada
seorang pun dari mereka hukuman mati (qishash).
Bahkan,
beliau malah bersabda: "Allah tertawa kepada dua orang yang salah
satunya akan membunuh teman yang lainnya, namun keduanya sama-sama masuk
surga. Orang yang satunya ini mati terbunuh fi sabilillah, sehingga
Allah pun memasukkannya ke dalam surga. Kemudian, Allah akan mengampuni
dosa si pembunuh, lalu dia masuk Islam dan mati terbunuh fi sabilillah,
sehingga dia pun akan masuk surga." (Muttafaq 'Alaih).Muslim dalam kitab
pembahasan tentang kepemerintahan (imarah), (3/1504); dan Musnad Imam
Ahmad, (2/464).
Begitu
pula, Nabi tidak pemah membebankan kepada seorang pun dari mereka
tanggungan harta milik kaum Muslimin yang telah dirusaknya, juga tidak
pemah menegakkan kepada seorang pun sanksi (had) atas pcrbuatan zina,
pencurian, meminum minuman keras, atau sanksi karena menuduh orang lain
berzina (qadzaf), baik dia masuk Islam sebelum ataupun sesudah menjadi
tawanan perang. Hal ini merupakan masalah yang sepengetahuan kami tidak
pemah ada perselisihan di antara kaum Muslimin, baik dalam riwayat
maupun di dalam fatwa. Bahkan, jika seorang kafir harbi masuk Islam
sementara di tangannya terdapat harta orang Islam yang pemah diambilnya
dari tangan kaum Muslimin dengan cara rampasan atau yang semisalnya
yaitu dari harta yang tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dari orang
Islam mengingat harta tersebut diharamkan di dalam agama Islam maka
harta tersebut menjadi hak miliknya, dan tidak perlu dipulangkan kepada
orang Islam yang pernah memilikinya, menurut pendapat jumhur ulama dari
kalangan tabi'in dan generasi setelahnya.
Pendapat
ini sebagai makna/tafsiran yang berasal dari Khulafaur Rasyidin, dan
juga merupakan mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, ketetapan dari
pendapat Imam Ahmad serta pendapat mayoritas pengikut-nya. Hal itu
berdasarkan bahwa Islam atau ikatan janji telah menetapkan harta yang
ada di tangannya yang diyakininya sebagai hak miliknya itu.
Karena,
harta tersebut telah keluar dari pemiliknya yang Muslim yang telah
menyerahkannya fi sabilillah dan mengharapkan pahala dari sisi Allah ,
dan harta tersebut menjadi halal bagi si perampas harta tersebut
(disebabkan) Allah telah mengampuni dosa-dosa yang diperbuatnya
berkaitan dengan darah/nyawa dan harta kaum Muslimin dengan masuknya dia
ke dalam agama Islam. Maka, Nabi tidak membebankan kepadanya untuk
mengembalikan harta tersebut kepada sang pemiliknya, sebagaimana beliau
tidak pernah membebankan kepadanya nyawa dan harta yang telah
dirusaknya.
Dia
juga tidak usah mengqadha atau mengganti semua ibadah yang telah
ditinggalkannya, karena semua itu telah ikut kepada keyakinan yang dulu.
Ketika dia berhenti dari keyakinan tersebut, maka terampunilah
dosa-dosa yang menyertainya. Sehingga, harta yang ada di tangannya itu
tidak dibebankan kepadanya. Maka, harta itu pun tidak diambil darinya,
seperti halnya semua yang ada di tangannya berupa akad-akad atau
transaksi-transaksi rusak yang pernah dihalalkannya, semisal riba dan
yang lainnya.
Jika
seorang musyrik dari kalangan kafir harbi tidak dituntut—karena
kelslamannya ituatas apa yang telah diperbuatnya terhadap darah/nyawa
dan harta kaum Muslimin serta hak-hak Allah, dan juga tidak diminta
semua yang ada di tangannya, berupa hcirta-harta yang pemah dirampasnya
dari tangan mereka, maka tentunya dia juga tidak dijatuhi hukuman atas
caci makian dan yang lainnya yang telah dilakukan di masa lampau.
Kesemuanya ini merupakan bentuk ampunan terhadap orang-orang semacam
ini.
PEMBAHASAN KETIGA
Ijma' Sahabat dan Tabiin atas Kekafiran dan Hukuman Mati bagi Pencaci Maki Nabi
Terdapat
kesepakatan (ijma') sahabat tentang hukum caci maki yang membatalkan
keimanan dan hak perlindungan bagi pelakunya, serta mewajibkan hukuman
mati. Kesepakatan ini dikutip dari berbagai kasus yang tersebar dan
teijadi semisalnya, tidak ada seorang pun sahabat yang meng-ingkarinya,
sehingga kesimpulan hukumnya menjadi Ijma' (kesepakatan). Di antara
kutipan tersebut adalah:
•
Seperti disebutkan Saif bin Umar at-Tamimi dalam kitabnya ar-Riddah wa
al-Futuh yang dikutip dari beberapa gurunya, mengatakan: cerita berikut
dihubungkan kepada Muhajir bin Abi Umaiyyah, seorang Gubemur Yamamah,
yang di kedua sisinya ada dua orang biduanita, yang salah satunya
menyanyi dengan mencaci maki Rasulullah sehingga Gubemur memotong
tangannya dan mencabut gigi taringnya. Sedangkan biduanita yang satunya
menyanyi dengan mencaci maki kaum Muslimin. Kemudian Abu Bakar menulis
surat kepadanya: Aku dengar apa yang engkau lakukan atas wanita yang
menyanyi dan mencaci maki Rasulullah andaikan engkau tidak mendahuluiku
(dengan keputusanmu), maka aku pasti akan memerintahkan untuk
membunuhnya. Karena, hukuman atas pelanggaran terhadap hak para Nabi,
tidak seperti hukuman untuk pelanggaran lainnya. Maka, barangsiapa dari
seorang Muslim yang meringankan hukumannya, maka ia dianggap murtad, dan
jika ia orang kafir yang meminta perlindungan (mu'ahid) maka ia disebut
kafir muharib yang berkhianat.
Pada
pernyataan di atas secara tegas menunjukkan diwajibkannya hukuman mati
bagi orang yang mencaci maki Rasulullah , baik seorang Muslim atau
mu'ahid (orang kafir yang mendapat perlindungan jiwa karena kesepakatan
yang ia lakukan bersama kaum Muslimin), meskipun ia perempuan. Dan
pelakunya wajib dibunuh tanpa diminta untuk taubat terlebih dahulu.
Sangat berbeda dengan orang yang mencaci maki manusia biasa. Hukuman
mati baginya adalah hukuman yang menjadi hak para Nabi, sebagaimana
hukuman cambuk untuk orang yang mencaci maki selain mereka adalah
hukuman yang menjadi haknya sendiri.
Namun,
alasan Abu Bakar tidak memerintahkan untuk membunuh wanita tersebut
karena Muhajir (sebagai Gubernur) telah terlebih dahulu memberikan
hukuman baginya atas dasar Ijtihad yang dilakukan oleh Muhajir, sehingga
Abu Bakar tidak menginginkan bertumpuknya dua hukuman. Mungkin saja
wanita itu masuk Islam atau taubat dan Muhajir menerima taubatnya
sebelum surat yang dia terima dari Abu Bakar, dan menjadi bagian ijtihad
yang dilakukan lebih awal menjadi sebuah hukum. Maka, beliau tidak
berkenan meng-ubahnya. Karena, sebuah ijtihad tidak dapat dibatalkan
dengan ijtihad. Pemyataan Abu Bakar ini menunjukkan bahwa hal yang
menghalangi dijatuhkannya hukuman mati atas wanita tersebut adalah
keputusan Muhajir yang jatuh lebih dahulu.
•
Termasuk riwayat yang menunjukkan adanya Ijma', seperti diungkapkan
oleh Harb dalam Mosail-nya dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid
berkata: Umar membawa seorang pemuda yang mencaci maki Rasulullah lalu
beliau membunuhnya, kemudian beliau mengatakan: "Siapa saja yang mencaci maki Allah, atau mencaci maki salah seorang dari para Nabi, make bunuhlah orang itu!" Dari
Abu Masja'ah bin Rubai berkata: tatkala Umar datang ke Syam, warga
Konstantinopel berdiri di jalan menuju Syam. Lalu, Abu Masja'ah
menyebutkan perjanjian Umar dan butir-butir yang diajukannya kepada
mereka, riwayat selengkapnya: Maka, Umar berdiri di hadapan massa,
seraya memanjatkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian beliau
berkata: Segala puji hanya milik Allah, aku memuji dan meminta
pertolongan-Nya. Siapa saja yang Allah berikan petunjuk, maka Dia tidak
akan menyesat-kannya, dan siapa saja yang Allah sesatkan, maka Dia
tidaklah menjadi petunjuk untuknya. Tiba-tiba ada seorang pendeta
menyela, "Sesungguhnya Allah tidak menyesatkan siapa pun!" Umar berkata,
"Sesungguhnya kami tidak memberikan perjanjian kepada kalian agar
engkau masuk ke agama kami. Dan, demi Dzat yang jiwaku ada di
Tangan-Nya, jika engkau ulangi, maka aku pasti akan memenggal kepalamu!"
Inilah
Umar. Di hadapan sahabat Muhajirin dan Anshar mengatakan kepada
orang-orang yang menandatangani perjanjian dengannya, Sesungguhnya kami
tidak memberikan perjanjian agar engkau masuk ke agama kami. Dan beliau
bersumpah jika ia mengulangi perbuatannya, maka beliau akan memenggal
kepalanya. Maka dari sini diketahui adanya Ijma' (kesepakatan) sahabat
tentang penduduk yang melakukan perjanjian kesepahamari dengan kaum
Muslimin agar mereka tidak menampakkan pertentangan mereka terhadap
agama kita, karena hal itu menghalalkan darah mereka, dan bentuk
pertentangan yang paling besar adalah mencaci maki Nabi kita . Ini
adalah hal yang sangat jelas bagi mereka.
Namun,
sesungguhnya alasan Umar tidak membunuhnya karena bagi pendeta tersebut
belum sepenuhnya mengerti bahwa pernyataannya adalah bagian dari cacian
terhadap agama kita. Di samping adanya kemungkinan bahwa ia menyakini
hukum yang dikeluarkan oleh Umar berasal dari ijtihadnya sendiri. Maka,
tatkala Umar mendekatinya dan menjelaskan kepadanya bahwa ini adalah
agama kami, Umar mengatakan, "Jika engkau ulangi sekali lagi, aku pasti
akan membunuhmu!"
•
Termasuk dalam pembahasan ini, seperti alasan Imam Ahmad, yang beliau
riwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: Suatu hari di hadapan Ibnu Umar,
lewatlah seorang pendeta. Kemudian, beliau diberitahu bahwa pendeta ini
sering mencaci maki Rasulullah . Maka, beliau berkata, "Seandainya aku
mendengarnya, maka aku pasti akan membunuhnya. Sesungguhnya kita tidak
memberi mereka perlindungan untuk mencaci maki Nabi kita ."
Riwayat-riwayat yang menyebutkan peristiwa ini semuanya memuat redaksi
hukum bagi seorang dzimmi dan dzimmiyah (orang kafir yang meminta
perlindungan kepada kedaulatan Islam), dan sebagian riwayat mencakup
orang kafir dan Muslim secara umum, atau bahkan sebagiannya mengandung
arti kedua-duanya.
•
Kisah seorang pemuda yang dibunuh oleh Umar dengan tanpa diminta untuk
bertaubat terlebih dahulu, ketika ia menolak untuk rela dengan keputusan
hukum Nabi serta peristiwa dibukanya kepala Shabigh bin 'Asal olehnya
dan perkatannya, "Jika aku melihatmu mencukur rambut, aku pasti akan
memenggal kepalamu," dengan tanpa memintanya bertaubat, sedangkan
kesalahan kaumnya adalah berpaling dari Sunnah Rasulullah .
•
Dari Ibnu Abbas , dalam penafsirannya atas firman Allah: "Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi
beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat...."
Beliau mengatakan, ayat tersebut tentang Aisyah dan istri-istri Nabi .
Secara khusus tidak ada taubat bagi penuduh, sementara bagi orang yang
menuduh wanita beriman (yang lain), Allah menjadikan baginya untuk
bertaubat. Beliau mengatakan: Ayat ini turun tentang Aisyah secara
khusus, sedangkan laknat untuk kaum munafik secara umum. Ini dapat
dimengerti karena menuduh Aisyah atas perbuatan seperti itu sama halnya
dengan menyakiti Rasulullah dan berbuat munafik, sedangkan seorang
munafik wajib dibunuh tatkala tidak diterima taubatnya.
•
Imam Ahmad meriwayatkan dengan silsilah sanadnya bahwa seorang wanita
mencaci maki Rasulullah . Maka, Khalid bin Walid membunuhnya. Dan,
wanita ini tidak dikenal dalam riwayat-riwayatnya.
•
Kisah Muhammad bin Maslamah bersama dengan Ibnu Yamin yang mengaku
telah membunuh Ka'ab bin al-Asyraf yang dikenal sebagai pengkhianat.
Muhammad bin Maslamah bersumpah jika ia bertemu dengannya sendirian, ia
pasti akan membunuhnya, karena ia menuduh Rasulullah sebagai penghianat,
dan kaum Muslimin tidak ada satupun yang mengingkari perbuatan Muhammad
bin Maslamah. Pemuda (Ka'ab) tersebut adalah seorang Muslim, karena
pada saat itu tidak ada seorangpun penduduk Madinah yang bukan Muslim.
Dalam pemuatan argumen atas kisah ini, tidak disebutkan pelarangan
penguasa pada saat itu terhadap pembunuhan atas orang tersebut.
Sedangkan
sikap diamnya tidak berarti ia menyalahi Muhammad bin Maslamah atas
pemyataannya. Mungkin saja ia (sebagai penguasa) tidak sempat melihat
hukum atas orang tersebut, atau sudah melakukan kajian hukum namun tidak
menemukan kesimpulan yang tepat. Atau, ia mengira bahwa orang tersebut
mengatakan demikian karena keyakinan bahwa ia membunuh karena perintah
Rasul, atau karena sebab-sebab yang lain.
•
Disebutkan oleh Ibnul Mubarak, bahwa Ghirfah bin Harits al-Kindi
seorang sahabat Rasul mendengar seorang Nashrani yang mengumpat
Rasulullah. Maka, beliau memukulnya hingga hidungnya terluka, kemudian
ia mengadu kepada Amr bin Ash, lalu beliau berkata, "Kita sudah
memberikan perjanjian damai kepada mereka." Maka, Ghirfah berkata, "Aku
berlindung kepada Allah, jika kita memberikan perlindungan supaya mereka
menampakkan umpatan terhadap Rasulullah . Akan tetapi, sesungguhnya
kita memberikan perjanjian kepada mereka agar kita memberikan mereka
kelonggaran menuju gereja-gereja mereka, agar mereka dapat mengerjakan
apa yang layaknya mereka kerjakan, dan kita tidak memaksakan mereka pada
sesuatu yang tidak mereka mampu.
Dan,
jika ada musuh yang mengincar mereka, maka kita memeranginya demi
perlindungan mereka, dan kita membiarkan mereka dengan hukum-hukum yang
mereka yakini, kecuali jika mereka rela dengan hukum kita sehingga kita
memberikan putusan sesuai dengan hukum Allah dan hukum Rasulullah. Dan,
jika mereka tidak mau dengan hukum kita, maka kita tidak memaksakan
mereka." Maka Amr berkata, "Engkau benar!"
Amr
dan Ghirfah bersepakat bahwa perjanjian (perlindungan) antara kita
dengan mereka tidak menjadikan sikap diam terhadap mereka untuk
mengumpat Rasul seperti sikap diam terhadap kekufuran dan pendustaan
mereka. Maka, bilamana mereka menampakkan umpatan terhadap Rasul , maka
mereka telah melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan darah mereka
menjadi halal. Tiada lagi perjanjian perlindungan atasnya, sehingga
boleh hukumnya untuk membunuh mereka.
Akan
tetapi, alasan mengapa orang tersebut tidak dibunuh—Wallahu
A'lam—karena belum ada bukti yang kuat, hanya apa yang didengar oleh
Ghirfah. Mungkin saja Ghirfah bermaksud membunuhnya dengan pukulannya
itu, namun dia tidak melanjutkannya karena belum lengkapnya bukti,
karena sikap tersebut mendahului Imam (pemimpin) sedangkan Imam belum
menetapkan apapun.
•
Dari Khulaid, menceritakan: Ada seseorang yang mencaci maki Umar bin
Abdul Aziz, kemudian Umar berkata, "Sesungguhnya ia tidak dibunuh
kccuali orang yang mencaci maki Rasulullah . Namun, cambuklah ia pada
kepalanya beberapa kali cambukan. Seandainya bukan karena saya
mengetahui bahwa hal ini lebih baik baginya, maka pasti tidak akan saya
lakukan." Diriwayatkan oleh Harb, dan diceritakan kembali oleh Imam
Ahmad. Cerita ini sangat masyhur berasal dari Umar bin Abdul Aziz,
seorang khalifah dan ahli dalam bidang hadits.
Demikianlah
pendapat para sahabat Rasulullah serta para tabi'in (pengikutnya
setelah generasi sahabat). Tidak ada satupun sahabat atau tabi'in yang
menyalahinya, akan tetapi mengakui dan menganggap baik kesimpulan
tersebut.
Karena
panjangnya buku ini (411 halaman), posting ini hanya sampai halaman 145
saja! Untuk halaman selebihnya anda dapat membeli dan membaca pada buku
aslinya!