جمع من الإلهام والحافز الإسلامي - Menurut Islam Update Lagi Nih sodara Muslimin Dan Muslimat, Tentang Menurut Islam. Untuk Sahabat Sekeyakinan Yang sedang Mencari Menurut Islam, Mungkin Menurut Islam Ini bermanfaat Buat Anda. Monggo Dilihat Menurut Islam di bawah Ini Agar Lebih Jelas Tau Tentang Agama kita Yang sangat Kita Cinta Dan Kita Puji-puji ini.
Kebanyakan dari kita
beranggapan bahwa blog ini sengaja mengutip ayat2 Quran sepotong potong
dan menafsirkannya secara sembarangan demi mengesankan keburukan Islam.
Untuk meluruskan anggapan yang salah tersebut kami postingkan sebuah buku Islam dari ulama besar Islam masa lalu, sehingga kita dapat melihat bagaimanakah penafsiran ayat2 Quran yang benar, dan membandingkannya dengan penafsiran ulama2 munafik masa kini. Dari sini anda dapat melihat, mengapa kami meninggalkan Islam.
Judul: Pedang Terhunus : Hukuman Mati bagi Pencaci Maki Nabi SAW
Judul asli : Ash Sharimul maslul 'ala Syatim Ar Rasul
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Taqrib : Dr Shaleh Ash Shahawi
Fisik : Buku ukuran sedang (p=24 cm), 411 Hal
Penerbit Griya Ilmu
Anda
dapat membeli buku tersebut di Gramedia, Gunung Agung (jika belum
ditarik dari peredaran), atau di toko buku Islam online, dilink
ini, atau link
ini.
Siapakah
Ibnu Taimiyah,
sang penulis kitab / buku ini? Beliau adalah ulama besar Islam yang
hidup pada abad ke 6 hijriah, untuk jelasnya anda dapat melihat
keterangan di
Wikipedia (klik disini).
Bagaimanakah tanggapan ulama2 besar lainnya terhadap beliau?
Al-Allamah
As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang
disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu
Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian
kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq
Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh
Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain. Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah… dan
belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah
dan sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba`
dibandingkan beliau.
Lalu apakah isi buku ini? Terdapat 3 point penting yang dapat kita ambil dari buku ini;
1. Buku ini menceritakan para korban pembunuhan Muhammad karena berani mengkritik / mengejek Muhammad dan ajarannya. (Mencaci maki hanyalah ungkapan hiperbolis saja, karena pada kenyataannya para korban tersebut hanyalah mengkritik)
2. Dalil dari Quran dan Sunnah untuk membunuh para kritikus / pencaci maki Muhammad, Quran, dan agama Islam.
3. Dalil dari Quran mengenai kewajiban kaum muslim untuk memerangi para non muslim sampai mereka mau tunduk pada Syariat Islam.
Anda juga dapat melihat topik serupa di situs
MUSLIM SEJATI ini (klik),
meskipun demikian di bagian catatan penting ada beberapa hal yang
masih salah yaitu mengenai sikap Muhammad terhadap penghinanya di point
1, silahkan anda bandingkan bagaimanakah sebenarnya HINAAN tersebut di
post
KORBAN PEMBUNUHAN MUHAMMAD ini (klik).
Adakah
kita menemukan kedamaian Islam setelah membaca buku dan artikel
tersebut? Buku ini jelas menunjukkan seperti apakah watak dan sifat
Muhammad sesungguhnya. Sang pembunuh ini memerintahkan untuk mencabut
nyawa siapa saja yang berani mengkritik dirinya. Muhammad menggunakan
Allah dan Quran ciptaannya sebagai alat untuk memanipulasi dan menutupi
kebohongannya! Mengejek Muhammad sama dengan mengejek Sang Pencipta Alam
Semesta sehingga wajib hukumnya untuk dibunuh. Bukankah ini gila?
Mungkinkah
Sang Pencipta Alam Semesta tersinggung dan tersakiti karena ucapan
makhluk ciptaannya, hingga Ia membutuhkan bantuan tangan para muslim
untuk membunuh manusia yang mengejeknya tersebut? Dimanakah
pengampunanNya? Bukankah hal yang mudah bagi Sang Pencipta Alam Semesta
untuk memberikan hidayahNya agar manusia tersebut bertaubat? Dan andai
Ia benar benar tersakiti, mengapa harus para muslim yang membunuhnya,
bukan Allah sendiri?
Jelas!
Semua ini hanyalah akal akalan dari seorang Muhammad untuk membungkam
semua kritik yang dapat membongkar kebohongannya! Muhammad membunuhi
saingannya yang sama2 mengaku nabi karena ia takut kalah berebut
pengaruh dan kekuasaan. Modus kekerasan seperti ini kerap kita temui
pada diktator2 didunia seperti Hitler, Saddam, ataupun Kim Jung Il untuk
memaksakan kehendak dan ideologi mereka.
Islam
yang ada sekarang ini telah dipoles sedemikian rupa sehingga nampak
seperti agama damai. Islam menjiplak nilai2 baik yang ada pada agama
lain sehingga yang nampak dimata kita hanyalah kemuliaannya. Mayoritas
muslim adalah muslim yang baik, yang menjunjung persamaan, kemanusiaan,
kebebasan beragama dan HAM, namun dengan bersikap demikian mereka
sesungguhnya telah melecehkan perintah Muhammad dan Quran, karena dalil
dan hukum Islam memerintahkan hal yang sebaliknya. Silahkan klik link
KESESATAN CENDIKIAWAN ISLAM ini.
Di
post tersebut disebutkan bahwa Islam menolak PLURALISME namun menerima
PLURALITAS (keragaman agama)! Benarkah Islam Sejati menerima pluralitas
/ keragaman agama? Saat berada di Mekah, Muhammad masih menerima
pluralitas, karena saat itu ia masih lemah dan tidak memiliki kekuasaan,
hal ini tercemin dari ayat2 Mekah yang toleran. Namun setelah berada di
Medinah, belang Muhammad mulai nampak, ayat2 damainya mulai berubah
menjadi ayat perang. Pluralitas menurut Muhammad hanya jika kaum ahlul
kitab (Yahudi dan Kristen) tunduk pada Hukum Islam yang dibuatnya (QS
9:29)! Jika mereka tidak mau tunduk wajib hukumnya untuk DIPERANGI dan
DIBUNUH. Sedang untuk kaum lain selain ahlul kitab (Quraish Hindu
Arab), wajib hukumnya untuk DIBUNUH jika tak mau menerima Islam.
Blog
ini membuktikan bahwa Alloh, Quran dan Islam hanyalah kebohongan
Muhammad belaka. Kebohongan seorang narsisis yang haus pemujaan dan
kekuasaan sehingga ia memerintahkan membunuh terhadap siapa saja yang
dapat menghalangi tujuannya! Karenanya saudaraku, TINGGALKANLAH MUHAMMAD DAN ISLAMNYA!
Ok, sekarang saatnya kita membaca buku tersebut!
Kami sengaja tidak menyensor isi buku ini, agar tidak dianggap fitnah. Selamat membaca!
PENGANTAR
Kondisi
pencaci maki Nabi tak terlepas dari tiga hal. Yaitu dia berasal dari
kelompok Islam, kelompok kafir dzimmi, atau dari kelompok kafir harbi.
Jika
dia seorang Muslim, maka kaum Muslimin telah sepakat tentang
kemurtadannya dan mewajibkannya untuk dibunuh. Al-Qadhi lyadh berkata,
"Kaum Muslimin telah sepakat untuk membunuh orang Islam yang mencela dan memaki Rasulullah.
Demikian pula kesepakatan kaum Muslimin agar membunuh dan mengkafirkan
pelakunya ini, telah disebutkan dalam banyak riwayat." Imam Ishaq bin
Rahuyah, salah seorang imam terkemuka berkata, "Kaum Muslimin telah
sepakat bahwa orang yang mencaci Allah Swt dan Nabi , menolak sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Swt
atau membunuh salah seorang Nabi, dia menjadi kafir meskipun dia
meyakini semua yang diturunkan oleh Allah Swt " Al-Khatthabi berkata,
"Aku tidak mengetahui seorang Muslim pun yang berselisih pendapat
tentang kewajiban untuk membunuhnya." Muhammad bin Sahnun berkata, "Para
ulama telah sepakat bahwa pencaci dan pencela Nabi itu kafir.
Ancamannya dia akan ditimpa dengan azab Allah Swt. Hukumnya
menurut umat Islam adalah dibunuh, dan barangsiapa yang meragukan
kekafiran dan siksanya, maka dia telah menjadi kafir."
Jika dia seorang kafir dzimmi, maka kebanyakan ulama sepakat bahwa sanksinya dibunuh. Hukum ini menjadi kesepakatan pula pada masa pertama dari generasi sahabat dan tabi'in. Lalu setelah itu, terjadilah perselisihan.
Jika dia seorang kafir harbi, maka kebanyakan riwayat (hadits) menyatakan bahwa Nabi menginginkan dan menganjurkan si pelaku dibunuh
karena perbuatannya tersebut, meskipun di satu sisi beliau juga
melarang hal itu diberlakukan atas orang lain yang berbuat sama. Ibnul
Mundzir berkata, "Mayoritas ulama sepakat bahwa sanksi bagi orang yang
mencaci Nabi adalah dibunuh. Di antara mereka yang berpendapat demikian
adalah Imam Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Ishaq, dan ini juga sebagai
mazhabnya Imam Asy-Syafi'i." Abu Bakar Al-Farisi, salah seorang pengikut
Imam Asy-Syafi'i meriwayatkan tentang kesepakatan kaum Muslimin, bahwa
sanksi bagi orang yang mencaci Nabi adalah dibunuh, sebagaimana sanksi
bagi orang yang mencaci selain Nabi adalah didera. Dan, kesepakatan yang
telah diriwayatkan ini sudah menjadi kesepakatan generasi sahabat dan
tabi'in terdahulu. Atau, dia memaksudkannya di sini tentang kesepakatan
mereka bahwa orang yang mencaci Nabi wajib dibunuh, jika dia seorang
Muslim.
Kesimpulannya, bahwa pencaci tersebut bila ternyata dia seorang Muslim, maka dia dinyatakan kafir dan dibunuh menurut ijma',
dan ini adalah pendapat keempat imam mazhab dan yang lainnya,
sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahuyah dan yang lainnya.
Jika dia seorang kafir dzimmi, maka dia juga harus dibunuh menurut
mazhabnya Imam Malik, Ahlul Madinah, Ahmad, dan para pakar hadits. Dan,
kami telah memisahkan bab ini untuk menghadirkan dalil-dalil yang
menyatakan kekufuran pencaci tersebut, batalnya janjinya, dan keharusan
membunuhnya berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, ijma' para sahabat dan
tabi'in, serta dalil i'tibar (qiyas).
Lalu, kajian terhadap dalil-dalil ini saya bagi kepada beberapa pembahasan berikut ini:
Pembahasan Pertama, dalil-dalil al-Quran yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
Pembahasan Kedua, dalil-dalil as-Sunnah yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
Pembahasan Ketiga, ijma' para sahabat dan tabi'in yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
Pembahasan Keempat, dalil qiyas yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.
PEMBAHASAN PERTAMA
Dalil-Dalil al-Quran yang Menyatakan Bahwa Mencaci Menyebabkan Batalnya Iman dan Hilangnya Jaminan Keamanan, serta Mengharuskan Si Pelaku Dibunuh
PASAL PERTAMA:
Dalil-Dalil al-Quran Tentang Batalnya Janji Seorang Kafir Dzimmi Karena Mencaci Serta Kewajiban Membunuhnya
Batalnya janji seorang kafir dzimmi karena mencaci Allah Swt , kitab-Nya, agama-Nya, dan Rasul-Nya, serta keharusan untuk membunuhnya merupakan tema yang telah dipaparkan oleh dalil-dalil al-Quran berikut ini:
Dalil Pertama:
Mencaci
maki berbeda dengan ketundukan, yang bersama dengan membayar jizyah
(upeti) dijadikan oleh Allah Swt sebagai tujuan memerangi Ahlul Kitab.
Allah Swt berfirman:
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt
dan tidak (pula) pada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah Swt), (yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka da/am keadaan tunduk." (at-Taubah: 29)
Kita
diperintahkan untuk memerangi mereka (non-muslim) sampai mereka mau
membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan tunduk,
dan tidak boleh menahan untuk memerangi mereka kecuali jika mereka
dalam keadaan tunduk sewaktu membayar jizyah tersebut. Sudah dimaklumi,
bahwa memberi jizyah itu dimulai sejak waktu mengeluarkan dan
keharusannya hingga waktu menyerahkan dan memegangnya. Jika ternyata
mereka tidak memenuhinya atau memenuhinya namun terhalang untuk
menyerahkannya, maka mereka dianggap tidak membayar jizyah, mengingat
hakikat memberi di sini tidak ada.
Dan,
kalaupun ketundukan itu merupakan keadaan mereka sepanjang waktu, maka
tentu bisa dipahami bahwa orang yang secara terang-terangan mencaci Nabi
di hadapan kita, memaki Allah Swt pada forum-forum majelis kita, dan
mencerca agama kita dalam perkumpulan kita, maka dia bukanlah orang yang
tunduk. Karena, seorang yang tunduk adalah seorang yang merasa rendah
dan hina, sedangkan caci maki ini adalah tindakan seorang yang gagah
lagi perkasa, bahkan dia merupakan batas akhir dari perendahan dan
penghinaan terhadap kita.
Para
pakar bahasa mengatakan, bahwa ketundukaan memiliki arti kehinaan dan
kelaliman. Berarti seorang yang tunduk adalah seorang yang ridha dengan
kelaliman. Tidak samar lagi bagi orang yang mau berpikir, bahwa mencaci
maki secara terang-terangan terhadap agama umat yang telah memperoleh
kemuliaan di dunia dan akhirat, bukanlah tindakan seorang yang ridha
terhadap kehinaan dan kerendahan, dan hal ini sangat terlihat jelas,
tanpa samar lagi.
Jika
memerangi mereka itu wajib bagi kita, kecuali jika mereka tunduk,
sedang mereka bukan terbilang orang-orang yang tunduk, maka tentunya
memerangi mereka itu sangat diperintahkan. Dan, setiap
orang yang diperintahkan bagi kita untuk memeranginya dari golongan
orang-orang kafir, maka dia harus dibunuh jika kita mampu melakukannya.
Begitu pula, jika kita telah diperintahkan untuk memerangi mereka sampai
terpenuhinya tujuan ini, maka tidak boleh diberlakukan kepada mereka
perjanjian ahlu dzimmi tanpa adanya tujuan ini. Dan, kalaupun
diberlakukan kepada mereka, maka itu dinyatakan perjanjian yang tidak
sah, dan mereka tetap boleh diperangi.
Syubhat (keraguan/sanggahan):
Dikatakan,
sesungguhnya orang-orang tersebut mengira bahwa mereka adalah golongan
kafir mu'ahid, lalu muncul syubhat keamanan bagi mereka, dan syubhat
keamanan ini seperti hakikat keamanan itu sendiri. Karena itu,
sesungguhnya seorang (Muslim) yang mengatakan suatu ucapan yang dikira
oleh seorang kafir sebagai bentuk keamanan, maka itu sebagai keamanan
baginya, meskipun sebenarnya hal itu bukanlah yang dimaksud oleh seorang
Muslim tersebut.
Bantahan:
Tidak
samar lagi bagi mereka, bahwa kita tidak pernah rela bila mereka berada
di bawah perlindungan kita, dengan adanya cacian terhadap agama kita
dan makian terhadap Nabi kita oleh mereka secara terang-terangan. Dan,
mereka juga mengetahui bahwa kita tidak akan membuat perjanjian kepada
seorang pun kafir dzimmi atas dasar keadaan semacam ini.
Maka,
pengakuan mereka bahwa mereka meyakini kita telah membuat perjanjian
dengan mereka atas dasar hal semacam ini, disertai penjatuhan syarat
oleh kita kepada mereka agar mereka tunduk, untuk bisa beriakunya
hukum-hukum agama atas mereka, itu adalah bohong belaka dan tak periu
ditanggapi.
Begitu
pula, klaim bahwa orang-orang yang telah membuat perjanjian dengan
mereka untuk pertama kalinya, adalah kalangan sahabat Rasulullah semisal
Umar bin Khattab , sementara kita tahu betui bahwa beliau tidak mungkin
membuat perjanjian bersama mereka dengan sesuatu yang menyelisihi
perintah Allah Swt di dalam kitab-Nya. Kemudian kita sebutkan
syarat-syarat Umar , dan bahwa syarat-syarat tersebut berisi bahwa orang
yang secara terang-terangan mencerca agama kita, dihalalkan darah dan
hartanya.
Dalil Kedua:
Caci
maki bisa merusak kelurusan (istiqamah) yang dijadikan oleh Allah Swt
sebagai syarat langgengnya perjanjian bersama kaum musyrikin. Allah Swt
berfirman:
"Bagaimana
bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan
orang-orang musyirikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram. Maka, selama mereka
berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap
mereka. Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang bertakwa.
Bagai-mana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan
orang-orang musyirikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap
kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan
tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan
mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukar
ayat-ayat Allah Swt dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi
(manusia) dari jalan Allah Swt. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kekerabatan
dengan orang-orang Mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menuaikan zakat, mafca (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang engetahui.Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka
berjanji, dan merefca mencerca agamamu, maka perangilah
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu
adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya
mereka berhenti." (at-Taubah: 7-12)
Dalil
yang terkandung ialah bahwa Allah Swt telah meniadakan perjanjian aman
bagi seorang musyrik (paganis) dari golongan orang-orang yang pernah
membuat perjanjian dengan Nabi, kecuali sekelompok orang yang telah Dia
sebutkan di dalam ayat tersebut. Sesungguhnya Allah Swt menjadikan
perjanjian aman bagi mereka itu, selama mereka tetap berlaku lurus
terhadap kita.
Sudah
dimaklumi, bahwa pernyataan mereka yang berbau cacian dan cemoohan
terhadap Rabb, Nabi, kitab suci, dan agama kita secara terang-terangan
di hadapan kita, bisa merusak kelurusan (istiqamah), sebagaimana halnya
pernyataan mereka untuk memusuhi kita secara terbuka juga bisa merusak
perjanjian.
Bahkan,
hal itu lebih ditekankan bila ternyata kita termasuk orang-orang yang
beriman. Sesungguhnya wajib bagi kita untuk menumpahkan seluruh darah
dan harta kita demi tegaknya kalimat Allah Swt , dan tidak akan
dibiarkan berkeliaran di negeri kita ini sedikit pun bentuk permusuhan
terhadap Allah Swt dan rasul-Nya. Jika mereka tidak berlaku lurus
terhadap kita dengan merusak dua hal yang sangat remeh (sepele), lalu
bagaimana mungkin mereka akan berlaku lurus dengan merusak dua hal yang
paling besar?
Hal itu diperjelas oleh firman Allah Swt :
"Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan
orang-orang musyrikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap
kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan
tidak (pula mengindahkan) perjanjian." (at-Taubah: 8)
Bagaimana
mungkin ada perjanjian dengan mereka, dan kalau pun mereka memperoleh
kemenangan terhadap kalian, maka mereka tidak akan pemah memelihara
hubungan kekerabatan yang ada di antara kalian dan mereka, dan juga
tidak akan mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kalian dan
mereka?
Diketahui,
bahwa orang yang jika meraih kemenangan, tidak pernah mengindahkan
perjanjian yang terjadi di antara kita dan dia, maka tidak pernah ada
perjanjian dengannya; dan bahwa orang yang secara terang-terangan
mencerca agama kita, hal itu sebagai dalil bahwa dia jika mendapatkan
kemenangan, tidak pemah mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara
kita dan dia.
Jika
dia dengan adanya perjanjian dan kehinaan ini saja telah melakukan hal
ini, lalu bagaimana bila dia memiliki kekuatan dan kemampuan? Berbeda
dengan orang yang tidak pernah menyampaikan secara terang-terangan
ucapan semacam ini kepada kita, maka dia bdeh saja menepati janji
jikalau dia menang. Ayat di atas meskipun ditujukan kepada kelompok
damai (ahlu hudnah) yang bermukim di negara mereka namun maknanya
beriaku bagi golongan kafir dzimmi yang sedang bermukim di negara kita
menurut skala prioritas.
Dalil Ketiga:
Petunjuk
al-Quran al-Karim tentang kewajiban memerangi orang-orang yang mencerca
agama. Sedangkan caci maki ini merupakan bentuk cercaan terhadap agama
yang paling besar. Allah Swt berfirman:
"Jika
mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
ftu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti." (at-Taubah: 12)
Adapun petunjuk ayat di atas yang mengarah kepada hal tersebut, bisa dilihat dari beberapa aspek berikut ini:
Aspek pertama,
Bahwa
merusak sumpah (janji) saja, menuntut adanya perang. Adapun hanya
disebutkan di sini kalimat 'mencerca agama' saja, adalah sebagai
pengkhususan dan penjelasan baginya, dikarenakan dia merupakan faktor
pemicu peperangan yang paling dominan. Oleh karena itu, sanksi bagi
seorang pencerca agama itu lebih berat daripada sanksi yang diberikan
kepada para perusak agama yang lainnya, sebagaimana hal itu akan kita
bicarakan.
Atau,
penyebutan kalimat tersebut lebih sebagai penjelasan baginya dan juga
keterangan tentang sebab terjadinya peperangan. Karena, mencerca agama
adalah sebagai pemicu untuk memerangi mereka demi tegaknya kalimat Allah
Swt . Sedangkan merusak sumpah (janji) terkadang menyebabkan terjadinya
peperangan yang dipicunya sekadar untuk keberanian, pembelaan, dan
riya.
Atau
juga, penyebutan kalimat tersebut lebih disebabkan karena dialah yang
mewajibkan peperangan dalam ayat tersebut, yaitu dengan firman Allah Swt
, "Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu ...," dan
dengan firman-Nya:
"Mengapa
kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya),
padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama
kali memulai memerangi kamu. Mengapa kamu takut kepada mereka, padahal
Allah Swt-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar
orang-orang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah Swt akan menyiksa
mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah Swt akan
menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan
hati orang-orang yang beriman," (at-Taubah : 13-14)
Ayat
tersebut mengindikasikan bahwa orang yang tidak berbuat apa pun, selain
hanya merusak sumpah (janji)nya, tidak boleh diberi keamanan dan
perjanjian. Dalam kitab asli tertulis jor (boleh), tetapi melihat makna
yang terkandung pada ayat di atas mengindikasikan makna sebaliknya
sebagaimana yang kami cantumkan di atas.
Sedangkan orang yang mencerca agama, wajib diperangi. Dan,
hal ini merupakan sunnah Rasulullah, yaitu bahwa beliau pemah
mengeksekusi mati (membunuh) orang yang telah memusuhi Allah Swt beserta
Rasul-Nya dan mencerca agama. Jika merusak perjanjian
saja bisa menyebabkan peperangan, sekalipun tanpa dibarengi bentuk
cercaan, maka tentu diketahui bahwa mencerca agama itu menjadi sebab
lain atau faktor yang mengakibatkan batalnya suatu perjanjian. Maka,
sudah seharusnya cercaan terhadap agama ini mempunyai pengaruh (dampak)
terhadap kewajiban perang. Jika tidak, maka penyebutannya di dalam ayat
di atas terbilang sia-sia.
Jika
cercaan tersebut mengharuskan adanya eksekusi atau hukuman mati
terhadap orang yang tidak ada perjanjian di antara kita dan dia, maka
tentunya membunuh orang yang ada perjanjian (dzimmah) di antara kita dan
dia, di samping itu dia juga diharuskan tunduk, lebih utama; untuk
lebih jelasnya akan dibahas nanti. Diwajibkan bagi seorang kafir mu'ahid
untuk menampakkan di negerinya sendiri apa yang dia inginkan dari
urusan agamanya yang tidak berbau memusuhi kita, sedangkan seorang kafir
dzimmi tidak diwajibkan untuk menampakkan di negeri Islam sesuatu pun
dari agamanya yang batil, dan jika dia tidak memusuhi kita, maka
keadaannya lebih ditekankan lagi.
Aspek kedua,
Bahwa
jika seorang kafir dzimmi telah berani mencaci Rasulullah , atau
mencaci Allah Swt, atau telah berani mencela agama Islam secara
terang-terangan, maka sungguh dia telah merusak sumpahnya dan mencerca
agama kita. Karena, tidak ada perselisihan di antara kaum Muslimin bahwa
dia harus diberi hukuman dan sanksi. Maka, nyatalah bahwa dia tidak
pernah disumpah. Karena jikalau kita membuat perjanjian dengannya, lalu
dia melakukan sumpah tersebut, maka dia tidak boleh dijatuhi sanksi.
Dan, jika kita telah menyumpahnya untuk tidak mencerca agama kita, lalu
dia mencerca agama kita, maka sungguh dia telah merusak sumpah
(janji)nya karenanya, dan dia wajib dibunuh berdasarkan petunjuk nash
(teks) ayat di atas. Dan, ini merupakan petunjuk yang sangat kuat dan
bagus.
Syubhat:
Jika dikatakan, bahwasanya tidak semua yang diperlihatkan secara
terang-terangan tentang perkara yang dilarang kepada seseorang, secara
otomatis bisa membatalkan perjanjiannya, seperti memperlihatkan khamr
(meminum minuman keras secara terang-terangan), babi (makan babi secara
terang-terangan), dan yang semisalnya?
Jawaban:
Kami katakan, pada diri orang ini ditemukan dua hal, yaitu: apa yang
menjadi larangan dari perjanjian tersebut terhadap dirinya, dan cercaan
terhadap agama, berbeda dengan orang-orang tersebut. Karena, tidak
ditemukan dari diri mereka, selain hanya mengerjakan apa yang dilarang
kepada mereka cukup dengan janji saja. Sedangkan al-Quran mewajibkan
untuk membunuh orang yang merusak (melanggar) sumpah janjinya setelah
dia berjanji dan mencerca agama. Dan, mustahil dia disebut 'tidak
melanggar', karena esensi pelanggaran adalah menyelisihi perjanjian.
Ketika mereka menyelisihi salah satu dari perjanjian damai yang telah
mereka sepakati, maka itu berarti pelangaran.
Aspek ketiga,
Bahwa
Allah Swt telah menamakan mereka sebagai para pemuka orang-orang kafir
dikarenakan telah mencerca agama. Dan, seorang pemuka orang-orang kafir
adalah seorang yang menyeru kepada tindakan yang diikuti tersebut
(yaitu: mencerca agama), dan dia menjadi pemimpin dalam kekufuran
dikarenakan telah mengeluarkan cercaan ini. Sebenamya merusak perjanjian
saja tidak mesti mengharuskan adanya sebutan tersebut, meskipun itu
sangat pantas, karena mencerca agama adalah dia mencela dan mencemooh
agama, dan mengajak untuk menyelisihinya.
Dan,
yang demikian ini adalah tugas seorang pemimpin. Maka, nyatalah bahwa
setiap orang yang mencerca agama adalah sebagai pemimpin dalam
kekufuran. Jika seorang kafir dzimmi mencela agama, maka dia menjadi
pemimpin dalam kekufuran, sehingga dia pun harus dibunuh, berdasarkan
firman Allah Swt , "Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
itu ...," dan menjadi batal sumpahnya. Karena, dia telah bersumpah
kepada kita untuk tidak mencela agama secara terbuka, apalagi
menentangnya. Dan, yang dimaksud dengan sumpah di sini adalah janji,
bukan sumpah demi Allah Swt seperti yang telah disebutkan oleh kalangan
mufasirin.
Menjadi
jelaslah, bahwa setiap orang yang mencerca agama kita setelah
sebelumnya kita telah membuat perjanjian dengannya untuk tidak melakukan
hal itu, maka dia adalah seorang pemimpin di dalam kekufuran dan tidak
berlaku lagi sumpahnya. Sehingga, dia wajib dibunuh berdasarkan ayat di
atas. Dengan demikian, terlihat dengan jelas perbedaan antara dirinya
dengan seorang yang merusak atau melanggar janji yang bukan sebagai
seorang pemimpin, yaitu seorang yang telah melanggar dengan melakukan
sesuatu yang bukan merupakan cercaan terhadap agarna dari apa yang telah
dibuat perjanjian damai dengannya.
Aspek keempat,
Allah Swt telah berfirman:
"Mengapa
kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya),
padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama
kali mamulai memerangi kamu ...." (at-Taubah: 13)
Di
sini, Allah Swt menjadikan bentuk kekerasan mereka dengan mengusir
Rasulullah ,sebagai salah satu faktor pendorong adanya perintah untuk
memerangi mereka. Hal itu tidak lain, dikarenakan di dalamnya terkandung
unsur permusuhan. Sementara di satu sisi, mencaci maki Rasulullah itu
lebih berat dari sekadar kekerasan mereka untuk mengusir beliau, dengan
dalil bahwa Rasulullah pada peristiwa Fathu Makkah telah memaafkan
orang-orang yang pemah bersikeras mengusirnya, namun beliau tidak mau
memaafkan orang-orang yang mencaci makinya. Jadi, jika temyata seorang
kafir dzimmi telah secara terbuka mencaci maki Rasulullah, maka sungguh
dia telah melanggar sumpah (janji)nya dan melakukan apa yang lebih berat
daripada hanya bersikeras untuk mengusir dan menyakiti beliau, sehingga
orang itu pun wajib dibunuh
Aspek Kelima ,
Bahwa firman Allah Swt :
"...dan
(Allah Swt) akan melegakan hati orang-orang yang beriman, dan
menghilangkan panas hati orang-orang Mukmin." (at-Taubah: 14-15).
Ayat
ini adalah sebagai dalil, bahwa kelegaan hati orang-orang Mukmin dari
sakit hati yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap janji dan cercaan
terhadap agama, juga hilangnya kedongkolan yang bergemuruh di dada
mereka, itu adalah suatu hal yang dikehendaki dan diinginkan terjadi
oleh Allah Swt, dan hal itu bisa tercapai dengan cara membunuh si
pencaci maki tersebut dikarenakan beberapa faktor:
Pertama,
bahwa menta'zir dan menjatuhkan sanksi terhadap si pencaci maki
tersebut bisa menghilangkan kedongkolan hati mereka, jika temyata dia
terbukti telah mencaci maki salah seorang dari kaum Muslimin atau
melakukan hal yang sejenisnya. Jika kedongkolan hati mereka bisa
dihilangkan pada saat si pencaci maki tersebut mencemooh Rasulullah
,maka kedongkolan mereka akibat cemoohan kepada Rasulullah ini, tentunya
seperti kedongkolan mereka akibat cemoohan kepada salah seorang dari
mereka, dan ini adalah pendapat batil.
Kedua,
bahwa mencaci maki Rasulullah itu lebih berat sanksinya menurut mereka
dibanding bila salah seorang dari mereka ada yang dibunuh. Jika ada yang
membunuh salah seorang dari mereka, dan hal itu tidak bisa membuat hati
mereka merasa lega selain harus membunuh si pembunuhnya, maka tentunya
hati mereka lebih tidak akan merasa lega jika belum bisa membunuh si
pencaci maki Rasulullah tersebut.
Ketiga,
bahwa Allah Swt menjadikan perintah untuk memerangi mereka, itu sebagai
sebab adanya kelegaan hati mereka. Dan, pada dasamya tidak ada sebab
lain yang bisa mewujudkannya. Sehingga, membunuh dan memerangi mereka
adalah sebagai satu-satunya obat untuk menenangkan hati mereka dari
tindakan semacam itu.
Keempat,
bahwa Nabi ketika menaklukkan kota Makkah dan ingin mengobati luka atau
sakit hati Bani Khuza'ah dan mereka adalah kaum mukminin terhadap Bani
Bakar yang telah memerangi mereka, maka beliau pun memenuhi ambisi atau
dendam Bani Khuza'ah tersebut terhadap Bani Bakar pada waktu siang hari
belong dengan disertai jaminan keamanan dari beliau terhadap seluruh
penduduk kota Makkah yang lain. Kalau saja kelegaan hati mereka dan
hilangnya kedongkolan yang ada di dalam hati mereka itu bisa dipenuhi
dengan tanpa membunuh orang-orang yang telah melanggar sumpah perjanjian
dan mencerca agama, maka pastilah beliau tidak melakukan hal itu dengan
disertai jaminan keamanan beliau terhadap penduduk kota Makkah.
PASAL KEDUA:
Dalil al-Quran Tentang Kemurtadan Seorang Muslim Karena Mencaci Maki dan Kewajiban untuk Membunuhnya
Seorang
Muslim menjadi kafir karena mencaci maki Allah, kitab-Nya, agama-Nya,
atau rasul-Nya, dan dia pun wajib dibunuh menurut kesepakatan seluruh
kaum Muslimin. Dan, sungguh banyak dalil di dalam al-Quran al-Karim yang
telah menjelaskannya. Di antaranya, adalah:
Dalil Pertama:
Menyakiti
Rasulullah merupakan bentuk perlawanan terhadap Allah Swt dan
Rasul-Nya. Sedangkan perlawanan tersebut hukumnya kafir dan mengharuskan
si pelaku dibunuh. Allah Swt berfirman:
"Di
antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan
mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya. " Katakanlah,
"la mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah,
mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang
beriman di antara kamu." Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu,
bagi mereka azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama)
Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih
patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang
mukmin. Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Neraka
Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang
besar. " (at-Taubah: 61-63)
Adapun
bahwa menyakiti Rasulullah sebagai bentuk perlawanan terhadap Allah Swt
dan Rasul-Nya, ditunjukkan oleh hal-hal berikut ini:
1.
Bahwa jika orang-orang yang menyakiti Rasulullah tidak bisa dikatakan
sebagai golongan orang-orang yang menentang atau melawan Allah Swt dan
Rasul-Nya, maka tidak sepantasnya mereka diberi ancaman, yaitu bahwa
balasan bagi seorang yang menentang adalah Neraka Jahanam. Karena, bisa
saja dikatakan pada waktu itu, mereka telah mengetahui betul bahwa
balasan bagi seorang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya adalah
Neraka Jahanam, akan tetapi mereka tidak pernah menentang, melainkan
hanya menyakiti, sehingga apa yang terkandung di dalam ayat ini bukan
sebagai ancaman bagi mereka. Karena itu, telah diketahui bahwa tindakan
semacam ini haruslah berada dalam lansekap keumuman istilah perlawanan
atau penentangan itu, agar ancaman yang diarahkan kepada seorang
penentang itu juga berlaku bagi seorang yang menyakiti Rasulullah Sampai
di sini, maka pembicaraan pun menjadi sinkron.
2.
Apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam Shahih-nya dengan
isnad yang shahih: Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pemah berada dalam
salah satu ruangan kamarnya, dan bersama beliau terdapat sejumlah kaum
Muslimin, lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya akan datang kepada kalian
seorang manusia yang akan melihat dengan mata setan. Maka, jika dia
telah datang kepada kalian, janganlah kalian berbicara kepadanya. "
Kemudian, datanglah seorang lelaki yang sinar matanya tajam, lalu
Rasulullah pun memanggilnya dan bertanya, "Mengapa kamu bersama si fulan
dan si fulan mencaci makiku?" Kemudian lelaki itu pun pergi dan
memanggil kawan-kawannya, lalu bersumpah atas nama Allah Swt , dan
memohon maaf kepada beliau. Dikeluarkan oleh Imam Hakim di dalam kitab
'al-Mustadrak1 dalam pembahasan kitab tafsir, (2/482). Dikeluarkan oleh
Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (1/267), dan telah disandarkan olem Imam
Suyulhi di dalam 'ad-Durr al-Mantsuur' (8/85) kepada al-Bazzar, Ibnul
Mundzir, Thabarani, Ibnu Abi hatim dan Baihaqi di dalam 'ad-Dalaail'. Di
dalam isnadnya terdapat Simak bin Harb, dan dia adalah seorang yang
jujur, hanya saja hapalannya berubah di akhir masa hidupnya.
Ad-Daruquthni berkata: Jika dia menyampaikan hadits dari Syu'bah,
ats-Tsauri dan Abul Ahwash, maka hadits-hadits mereka darinya (Simak bin
Harb) adalah shahih, sedangkan jika hadits tersebut berasal dari
riwayat Syarik dan Hafsh bin Jami', maka sebagian haditsnya ada yang
munkar, namun isnadnya tetap shahih
Maka, Allah Swt menurunkan firman-Nya:
"(Ingatlah)
hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah
kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka
bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan
memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya merekalah
orang-orang pendusta." (Al-Mujadalah: 18)
Setelah itu, Allah Swt berfirman lagi:
"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina." (Al-Mujadalah: 20)
Maka,
diketahuilah bahwa tindakan semacam ini termasuk pula bentuk
perlawanan. Sedangkan berkenaan dengan dalil bahwa perlawanan tersebut
menyebabkan si pelakunya kafir dan harus dibunuh adalah:
Pertama,
firman Allah Swt , "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah Swt
dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina,"
(Al-Mujadalah: 20). Orang yang sangat hina ini jauh lebih rendah
kedudukannya dari sekadar orang yang hina, dan dia tidak akan menjadi
sangat hina sebelum dia merasa takut atau cemas terhadap keselamatan
diri dan hartanya scwaktu dia menampakkan bentuk perlawanan ini. Sebab,
jika darah dan hartanya sudah terjaga tak tersentuh, maka tidaklah dia
menjadi sangat hina. Hal itu, dikarenakan seorang yang sangat hina
adalah orang yang tidak punya kekuatan yang dengannya dia bisa
melindungi dirinya dari tangan orang yang berniat jahat terhadapnya.
Jika
memang dia punya ikatan janji dengan kaum Muslimin, maka semestinya
kaum Muslimin dengan senang hati akan menolong dan melindunginya,
sehingga dia tidak menjadi orang yang sangat hina. Dari sini, maka
nyatalah bahwa orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, tidak punya
ikatan perjanjian yang menjadi pcrlindungan baginya, sementara orang
yang menyakiti Nabi sama dengan orang yang menentang Allah Swt dan
Rasul-Nya. Maka, orang yang menyakiti Nabi juga tidak punya ikatan
perjanjian yang bisa melindunginya.
Kedua,
firman Allah Swt : "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum
mereka telah mendapat kehinaan," (Al-Mujadalah: 5)
Kata
al-kabt dalam ayat ini berarti penghinaan, peremehan, dan pengrusakan.
Jadi, seorang yang menentang adalah seorang yang hina, rendah, cepat
marah dan sedih, dan seorang yang rusak. Hal ini akan menjadi lengkap
bila dia merasa takut dibunuh sewaktu menampakkan pcrlawanan tersebut.
Jika tidak, maka orang yang memungkinkan baginya untuk menampakkan
perlawanan, sedangkan dia merasa aman akan keselamatan darah dan
hartanya, maka tidaklah dia seorang yang hina, melainkan dia adalah
seorang yang merasa senang dan gembira.
Karena
Allah Swt telah berfirman, "Pasti mereka mendapat kehinaan sebagaimana
orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan," (Al-Mujadalah:
5). Dan, orang-orang sebelum mereka dari golongan orang-orang yang
menentang para rasul dan Rasulullah , sesungguhnya mereka telah
dihinakan oleh Allah Swt dengan cara ditimpakan azab kepada mereka dari
sisi Allah Swt atau melalui perantara tangan-tangan kaum Mukminin. Maka,
orang-orang yang menentang akan dihinakan melalui kematian mereka yang
disebabkan oleh kemarahan mereka.
Hal
itu, mengingat mereka merasa khawatir bila mereka menampakkan apa yang
ada di dalam hati mereka, maka mereka akan dibunuh, sehingga setiap
penentang itu haruslah seperti demikian. Sedangkan seorang yang beriman
tidak akan pemah dihinakan sebagaimana orang-orang yang mendustakan para
rasul itu telah dihinakan.
Sesungguhnya
Allah Swt telah memberitahu bahwa bagi seorang penentang adalah Neraka
Jahanam dan dia akan kekal di dalamnya, dan Allah Swt tidak pemah
mengatakan itu sebagai balasan bagi orang yang menyakiti Rasulullah. Dan
di antara kedua konteks pembicaraan ini terdapat perbedaan. Hanya perlu
diketahui di sini bahwa menentang (muhaaddah) sama dengan memusuhi
(mu'aadah dan musyaaqqah), dan itu berarti kekufuran dan peperangan, dan
dia lebih berat dari sekadar kekufuran.
Berarti
orang yang menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya adalah seorang kafir dan
musuh Allah Swt dan Rasul-Nya, dan juga seorang yang memerangi Allah Swt
dan Rasul-Nya. Sebab, kata muhaaddah (menentang) adalah derivasi dari
kata mubaayanah (melawan), yang mana masing-masing dari keduanya
memiliki arti yang sama. Sebagaimana dikatakan bahwa musyaaqqah
(memusuhi) itu berarti agar masing-masing bagiannya berada dalam satu
kubu.
Kedua
kata (muhaaddah dan musyaaqqah) sama-sama mempunyai arti pemutusan
hubungan (muqaatha'ah) dan pemisahan diri (mufaashalah). Dan, itu
berarti menuntut adanya pemutusan hubungan yang terjalin di antara semua
pihak yang terlibat perjanjian (ahlul 'ahdi), jika ternyata salah satu
pihak telah menentang pihak yang lain. Maka, tidak ada lagi ikatan bagi
seorang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya.
Sungguh, al-Quran telah menjadikan balasan atas bentuk permusuhan tersebut dengan cara dibunuh dan disiksa di dunia.
Allah Swt berfirman:"
"...
maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung
jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menentang Allah
dan Rasul-Nya ...." (Al-Anfal: 12-13)
Di
sini Allah Swt memerintahkan untuk membunuh mereka dikarenakan oleh
permusuhan dan penentangan mereka. Maka, setiap orang yang menentang dan
memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya, itu wajib diberlakukan kepadanya
syariat tersebut (dibunuh) karena adanya alasan semacam ini.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pemah ada seorang lelaki yang mencaci maki Nabi lalu beliau bersabda:
"Orang yang mencaci makiku adalah musuhku."
Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Musftannaf-nya, (5/237, 307),
dari Ibnu Jarir dari seorang lelaki dari Ikrimah (budaknya Ibnu Abbas).
Di dalam isnadnya ada yang lemah (dha'if). Hal itu dikarenakan: (1)
Hadits ini disampaikan oleh Ikrimah secara mursa/; (2) Tidak diketahui
nama yang meriwayatkannya dari Ikrimah (di sini hanya disebut: seorang
lelaki).
Dan,
ini terlihat sangat jelas, sehingga orang tersebut pada waktu itu
menjadi kafir yang halal darahnya, atau dengan kata lain halal dibunuh.
Hal itu berdasarkan kepada firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. " (Al-Mujadalah: 20)
Di
dalam ayat-ayat tersebut di atas juga terdapat petunjuk tentang
batalnya sumpah (Janji) seorang kafir dzimmi oleh karena dia telah
mencaci, scbagaimana hal itu tidak samar lagi.
Dalil Kedua:
Hilangnya
keimanan seseorang yang menyukai orang yang telah menentang Allah Swt
dan Rasul-Nya, lalu bagaimana dengan orang yang menentang itu sendiri?
Allah Swt berfirman:
"Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak,
atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan
pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang
beruntung. " (Al-Mujadalah: 22)
Bukti
dalilnya, jika seorang yang menyukai orang yang menentang itu saja
bukanlah orang yang beriman, lalu bagaimana dengan orang yang menentang
itu sendiri? Dan telah disepakati bahwa di antara sebab turunnya ayat
ini adalah bahwa Abu Qahafah telah mencaci maki Nabi, lalu Abu Bakar
ash-Shiddiq bermaksud membunuhnya. Atau, bahwa Abdullah bin Ubay pemah
mencela Nabi , lalu puteranya yang bemama Abdullah meminta izin kepada
Nabi untuk membunuhnya.
Dari sini, maka nyatalah bahwa orang yang menentang itu adalah kafir yang halal dibunuh. Begitu
pula, Allah Swt telah memutuskan hubungan antara kaum Mukminin dan
orang-orang yang menentang serta memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah
Swt telah berfirman,:
"Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya ...," (Al-Mujadalah: 22).
Allah Swt juga berfirman:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka
mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka,
karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan
dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang
lurus." (Al-Mumtahanah: 1)
Dari sini, maka diketahui bahwa mereka bukanlah termasuk orang-orang yang beriman.
Dalil Ketiga:
Apa
yang dinyatakan dalam beberapa ayat al-Quran bahwa mengejek
(menertawakan) Allah Swt beserta ayat-ayat (firman)-Nya dan Rasul-Nya
itu adalah kufur. Allah Swt berfirman:
"Orang-orang
munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang
menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada
mereka, "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)."
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" [i]Tidak usah kamu minta maaf,
karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari
kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang
lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat
dosa."[/i] (at-Taubah: 64-66)
Bukti
petunjuknya, bahwa ayat-ayat di atas menyatakan bahwa mengejek Allah
Swt beserta ayat ayatNya dan Rasul-Nya itu adalah tindakan kufur. Maka,
tentunya mencaci maki itu lebih kufur lagi. Begitu pula, ayat-ayat di
atas juga menunjukkan bahwa setiap orang yang mencela Rasulullah baik
itu dengan serius maupun bercanda, maka sungguh dia telah menjadi kafir.
Diriwayatkan
dari beberapa ahli ilmu, di antaranya Ibnu Umar, Muhammad bin Ka'ab,
Zaid bin Adam, dan Qatadah, yang mana hadits sebagian mereka ada yang
masuk ke dalam hadits sebagian yang lainnya, yaitu bahwa pada perang
Tabuk ada seorang lelaki dari kalangan munafik yang berkata, "Aku belum
pemah melihat orang-orang seperti para ahli qira'at kami ini yang paling
menyukai urusan perut, paling pendusta mulutnya, dan paling penakut
sewaktu bertemu." yakni Rasulullah beserta para sahabatnya yang ahli
qira'at Lalu 'Auf bin Malik pun berkata kepadanya, "Kamu telah berdusta,
bahkan kamu adalah seorang munafik. Sungguh, aku akan laporkan kepada
Rasulullah ."
Kemudian,
'Auf bergegas menghadap Rasulullah dengan menunggangi ontanya. Begitu
sampai, dia pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
bermain-main dan mengobrol bersama rombongan hanya untuk menghilangkan
kepenatan perjalanan." Ibnu Umar berkata, "Seolah-olah aku melihatnya
bergantung pada pelana onta Rasulullah, namun ada batu yang menghalangi
kedua kakinya, dan dia pun berkata, "Sesungguhnya kami hanya bersenda
gurau dan bermain-main."
Lalu
Rasulullah berkata kepadanya: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" tanpa berpaling kepadanya, tak
lebih. Mujahid berkata, salah seorang munafik berkata, Muhammad berkata
kepada kami bahwa onta si fulan berada di lembah ini dan ini. Apa memang
dia mengetahuinya melalui ke-ghaib-an? Lalu Allah Swt pun menurunkan
ayat ini. Ma'mar bin Qatadah berkata, sewaktu Nabi berada di tengah
perang Tabuk, sementara serombongan kaum munafik berjalan di depannya
sambil berkata, "Apakah orang ini (Muhammad) mengira bisa menaklukkan
istana-istana dan benteng-benteng pasukan Romawi?" Lalu, Allah Swt
memberitahu-kan kepada Nabi-Nya atas apa yang telah mereka katakan, dan
Nabi pun berkata, "Wajib bagiku untuk memanggil orang-orang tersebut.
"4.4 Disampaikan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafeir-nya, yaitu tafsir ayat
66 dari surat at-Taubah. (2/368).
Lalu,
beliau memanggil mereka dan bertanya, "Apakah kalian mengatakan begini
dan begini?" Lalu, mereka pun bersumpah dan berkata, "Tidaklah kami
melakukan hal itu, melainkan hanya sebatas bersenda gurau dan bermain-
main." Ma' mar juga berkata, al-Kalbi pernah berkata, konon salah
seorang dari mereka (kaum munafik) yang tidak ikut terlibat dalam
pembicaraan berjalan sambil mencela mereka, lalu turunlah ayat :
"Jika
Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya
Kami akan mengazab golongan (yang lain)," (at-Taubah: 66).
Di
sini dinamakan dengan 'golongan', padahal sebenarnya hanya satu orang
saja. Saat orang-orang tersebut mencela Nabi dengan cara mencelanya
beserta para sahabatnya dan meremehkan pemberitaannya, maka Allah Swt
pun memberitahukan bahwa mereka telah menjadi kafir karenanya. Jika
mereka mengucapkan hal itu sebagai bentuk ejekan, lalu bagaimana dengan
tindakan yang lebih parah dari itu? Akan tetapi, had (sanksi) terhadap
mereka tidak pernah ditegakkan, dikarenakan perintah unruk memerangi
ketika itu belum ditetapkan. Bahkan, yang diperintahkan adalah agar
beliau membiarkan caci makian mereka itu, di samping memang beliau
sendiri telah memaafkan orang-orang yang telah mencelanya dan
menyakitinya.
Dalil Keempat:
Petunjuk al-Quran bahwa siapa saja yang mencela Nabi , berarti munafik. Allah Swt berfirman:
"Dan
di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat;
jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika
mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka
menjadi marah." (at-Taubah: 58)
Allah Swt berfirman:
"Di
antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan
mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah,
"la mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah,
mempercayai orang-orang Mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang
beriman dl antara kamu." Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu,
bagi mereka azab yang pedih." (at-Taubah: 61)
Kata
al-lamzu dalam ayat ini berarti 'mencela dan mencerca'. Mujahid
mengatakan artinya adalah 'menuduh dan menghinakanmu', sedangkan 'Atha
mengatakan artinya adalah 'menggunjingmu'. Adapun sebagai petunjuknya,
ayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mencela dan menyakitimu
(Nabi ), termasuk golongan mereka (kaum munafik).
Hal
itu, mengingat lafazh alladziina dan man adalah dua kata sambung (isim
maushul) dan keduanya merupakan bentuk (sighat) umum. Ayat di atas
walaupun sebab turunnya karena celaan terhadap suatu kaum dan penghinaan
kepada golongan lain, namun hukum keduanya adalah umum seperti pada
semua ayat-ayat yang turun berdasarkan adanya sebab (adbaabun nuzuul).
Dan menurut sepengetahuan kami tidak ada perselisihan di antara para
ulama, bahwa ayat-ayat tersebut berlaku umum bagi orang yang menyebabkan
turunnya ayat tersebut dan juga orang-orang yang seperti keadaannya.
Adapun
keadaan orang tersebut termasuk golongan kaum munafik, itu merupakan
hukum yang berhubungan dengan lafazh yang merupakan derivasi (musytaq)
dari kata 'mencela' (al-lamz) dan 'menyakiti' (al-adza), dan dia pun
sangat pantas untuk menjadi golongan mereka. Sehingga, kata apa saja
yang punya bentuk derivasi, menjadi sebab (illat) bagi hukum tersebut.
Maka, hukumnya juga harus bersifat umum. Sesungguhnya Allah Swt,
meskipun telah mengetahui kemunafikan mereka sebelum adanya ucapan ini,
akan tetapi Nabi-Nya tidak pemah, mengetahui satu per satu orang yang
tidak mau menampakkan kemunafikannya. Bahkan, Allah Swt di dalam surat
yang sama berfirman:
"Di
antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan
dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi)
Kami-lah yang mengetahui mereka." (at-Taubah: 101)
Selanjutnya,
Allah Swt menguji orang-orang tersebut dengan berbagai hal yang bisa
membedakan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik,
sebagaimana Allah Swt berfirman:
"Dan
sesungguhnya Allah Swt benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman;
dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik." (al-Ankabut:
11)
Dan juga berfirman:
"Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik)
dari yang baik (mukmin)." (Ali Imran: 179)
Hal
itu dikarenakan keimanan dan kemunafikan itu berasal dari dalam hati,
sedangkan perkataan ataupun perbuatan yang tampak itu hanya sebagai
cabang dan bukti akan isi hatinya. Jika terlihat pada diri seseorang
salah satu unsur tersebut, maka tentu diberlakukan hukum (munafik) ini
terhadapnya. Maka, ketika Allah Swt memberitahukan bahwa orang-orang
yang mencela dan menyakiti Nabi itu berasal dari golongan orang-orang
munafik, menjadi nyatalah bahwa itu sebagai dalil (bukti) atas bentuk
kemunafikan dan sekaligus sebagai salah satu cabangnya.
Sudah
diketahui, bahwa jika cabang dan dalil tentang sesuatu telah terjadi,
maka berarti hukum asal yang menunjukkan kepadanya juga telah terjadi.
Dari sini terlihat jelas, bahwa di mana saja tindakan mencela dan
menyakiti Nabi itu berada, maka pasti pelakunya adalah seorang munafik,
baik dia sudah menjadi munafik sebelum ucapannya tersebut atau dia
menjadi munafik akibat ucapannya tersebut.
Syubhat
(Sanggahan) : Jika dikatakan, mengapa ucapan ini tidak boleh menjadi
dalil bagi Nabi atas kemunafikan orang-orang yang dengan lisan mereka
sendiri telah mengucapkannya semasa beliau masih hidup, meskipun ucapan
ini bukanlah sebagai dalil dari selain mereka?
Jawaban:
Kami katakan, jika ucapan ini menjadi dalil bagi Nabi yang sebenarnya
bisa saja Allah Swt mencukupkannya dengan wahyu-Nya tanpa harus mencari
bukti, maka bagi orang yang tidak mampu mengetahui masalah-masalah yang
batin tentunya itu menjadi lebih prioritas dan utama.
Kemudian,
jika memang petunjuk tersebut tidak berlaku umum bagi semua orang yang
mengatakan ucapan semacam ini, maka tentu di dalam ayat ini tidak pemah
ada larangan untuk mengatakan ucapan semacam ini bagi orang-orang selain
mereka, juga tidak pemah ada pengagungan terhadap ucapan itu sendiri.
Karena, petunjuk mengenai diri seorang munafik, itu terkadang khusus
bagi dirinya sendiri, meskipun sebenamya itu adalah perkara yang
boleh-boleh saja.
Seperti
jikalau di antara orang-orang munafik itu ada yang disebut sebagai
'pemihk onto merah' atau 'pemilik baju hitam' dan lain sebagainya.
Ketika al-Quran menunjukkan tercelanya ucapan semacam itu dan ancaman
terhadap pengucapnya. Maka, diketahui bahwa yang dimaksudkan al-Quran
tidak hanya petunjuk mengenai orang-orang munafik itu sendiri, melainkan
juga dalil tentang jenis orang-orang munafik.
Sesungguhnya
ucapan semacam ini sangat pantas dihukumi munafik. Karena, mencela dan
menyakiti Nabi tidak akan dilakukan oleh seseorang yang meyakini bahwa
beliau adalah utusan Allah Swt yang sebenamya, juga bahwa beliau lebih
mulia daripada dirinya sendiri, juga bahwa beliau tidak akan mengucapkan
selain ucapan yang benar (al-haq) dan tidak akan menghukumi kecuali
dengan adil, juga bahwa menaatinya itu semata-mata karena Allah Swt, dan
juga bahwa wajib bagi seluruh makhluk yang ada untuk mengagungkan dan
memuliakannya. Jika ucapan semacam ini bisa menjadi dalil atas
kemunafikan itu sendiri, maka di manapun ucapan ini terjadi, tentu di
situlah kemunafikan terjadi.
Dan
tidak diragukan lagi, bahwa ucapan semacam ini sangat diharamkan. Dia
bisa berbentuk dosa yang tidak berakibat pada kekufuran dan bisa pula
berupa kekufuran. Yang pertama dinyatakan batil, karena Allah Swt telah
menyebutkan di dalam al-Quran berbagai golongan pelaku maksiat dari
mulai pezina, penuduh zina (qaadzif), pencuri, orang yang curang dalam
takaran (muthaffif), dan pengkhianat, namun Allah Swt tidak pernah
menjadikan hal-hal yang demikian itu sebagai dalil atas kemunafikara
secara tertentu maupun mutiak. Ketika para pelontar ucapan-ucapan
semacam ini dikategorikan sebagai golongan orang-orang munafik, maka
dari situ bisa diketahui bahwa yang demikian itu dikarenakan ucapan
semacam ini lebih sebagai bentuk kekufuran, bukan sekadar sebagai
kemaksiatan semata.
Hal
itu, karena mengkhususkan sebagian perbuatan maksiat dan bukan sebagian
lainnya, dengan menjadikannya sebagai dalil atas suatu kemunafikan,
tidak akan terjadi sebelum dalil mengenai kemunafikan itu hanya khusus
dengan hal-hal yang bisa menimbulkan sifat munafik tersebut. Jika tidak,
maka setidaknya dalil tersebut sebagai bentuk pengunggulan yang tanpa
tertandingi (tarjiih bilaa murajjah). Dari sini tampak nyata bahwa
seharusnya ucapan-ucapan semacam ini hanya khusus dengan sifat yang bisa
menjadikannya sebagai dalil tentang kemunafikan akibat suatu kekufuran.
Dan, manakala yang terjadi seperti demikian, maka itu tidak lain adalah
kekufuran. Sesungguhnya Allah Swt telah menyebutkan beberapa ayat yang
dengannya Allah Swt menjadikan mereka sebagai golongan orang-orang
munafik, yaitu firman-Nya:
"Di
antara mereka ada yang berkata, "Berilah saya keijinan (tidak pergi
berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah."
(at-Taubah: 49)
Juga, firman-Nya sebelum ayat tersebut:
"Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, tidak akan meminta ijin
kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan
Allah mengetahui orang-orang yang bertaqwa. Sesungguhnya yang meminta
ijin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu
bimbang dalam keragu-raguannya" (at-Taubah: 44-45)
Dalam
ayat ini, Allah Swt, tanpa diragukan lagi telah menjadikan keengganan
orang ini untuk berjihad bersama Rasulullah setelah sebelumnya meminta
agar tidak dilibatkan di dalamnya, juga pengakuan seorang yang bisa
berdiri bahwa dia sudah tidak sanggup lagi berdiri, padahal alasan yang
sebenamya dia tidak mau ikut berperang. Sebagai salah satu simbol umum
akan hilangnya keimanan. Maka, tentunya celaan dan penyiksaan yang
dilakukannya lebih layak untuk menjadi sebuah dalil umum, dikarenakan
yang pertama sebagai penghinaan, sedangkan yang kedua sebagai permusuhan
terhadap Nabi , dan hal ini sangat jelas sekali.
Secara
tegas dinyatakan bahwa setiap orang yang mencela dan menyakiti Nabi
termasuk golongan mereka (yakni: orang-orang munafik), mengingat dhamir
(kata ganti) 'hum' sebagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas
ditujukan kepada orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Maka,
ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang di-dhamir- kan di
sini adalah orang-orang yang telah mengingkari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Dan, sungguh orang yang mencela dan menyakiti Nabi telah dikelompokkan
sebagai golongan mereka.
Al-Quran
telah menyatakan kekufuran orang-orang munafik di dalam banyak tempat,
dan menjadikan mereka sebagai golongan orang-orang kafir yang paling
buruk keadaannya. Selain itu, al-Quran juga menegaskan bahwa mereka
nanti berada di neraka yang paling dasar, dan bahwa mereka pada Hari
Kiamat nanti akan berkata kepada orang-orang yang beriman:
"Tunggulah
kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahaya-mu." Dikatakan
(kepada mereka), "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya
(untukmu)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai
pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luamya dari situ
ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin)
seraya berkata, "Bukankan kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka
menjawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu
(kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan
kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu
terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka pada hari ini tidak
diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir."
(Al-Hadid: 13-15)
Akhimya,
Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya agar tidak menshalati jenazah
salah seorang dari mereka dan memberitahukan bahwa Dia tidak akan pemah
mengampuni dosa-dosa mereka. Sebaliknya, Dia memerintahkan kepada
Nabi-Nya agar memerangi mereka, dan memberitahukan bahwa jika mereka
tidak mau berhenti dari kemunafikan mereka, niscaya Allah Swt akan menyuruh Nabi-Nya untuk menghabisi mereka sampai-sampai mereka boleh dieksekusi di sembarang tempat.
Dalil Kelima:
Petunjuk
dari berbagai ayat dalam al-Quran bahwa berpaling dari hukum Rasulullah
, dan sebaliknya menghendaki untuk berhukum kepada yang selainnya. Itu
merupakan bentuk kekufuran dan kemunafikan. Lalu, bagaimana dengan hukum
mencaci maki dan mencela beliau? Allah Swt berfirman :
"Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)
Bukti
petunjuknya, sesungguhnya Allah Swt telah bersumpah atas nama Dzat-Nya
bahwa mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan Nabi sebagai
hakim dalam berbagai persengketaan yang terjadi di antara mereka,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka tcrhadap
putusannya, bahkan secara zahir dan batin, mereka dengan senang hati
menerima putusannya. Pada ayat sebelumnya, Allah Swt berfirman:
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahaJ mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu tthat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu." (an-Nisa: 60-61)
Di
sini, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang diajak untuk berhukum
kepada kitab Allah Swt dan sunnah Rasul-Nya, lalu temyata dia malah
menentang Rasul-Nya, maka dia dicap sebagai seorang munafik. Lalu,
bagaimana dengan hukum mencela Nabi , mencacinya dan yang sejenisnya?
Allah Swt berfirman:
"Dan
mereka berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami
pun ta'at," Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Mereka
itu bukanlah orang-orang yang beriman." (an-Nur: 47)
"Dan
apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul
mengadili di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk
datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka
datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu
karena) dalam hati mereka ada penyakit; atau (karena) mereka ragu-ragu
atau (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada
mereka. Sebenamya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul mengadiii di antara mereka, ialah ucapan, "Kami
mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung." (an-Nur: 48-51)
Dalil
petunjuknya adalah sesungguhnya Allah Swt telah menjelaskan di sini,
bahwa orang yang tidak patuh terhadap Rasulullah, dan sebaliknya,
berpaling dari hukumnya, itu termasuk golongan orang-orang munafik, dan
dia bukanlah seorang yang beriman. Allah Swt juga menjelaskan, bahwa
seorang yang beriman adalah orang yang mengucapkan, "Kami mendengar dan
kami patuh." Jika kemunafikan bisa muncul, dan sebaliknya, keimanan bisa
hilang dengan hanya berpaling dari hukum Rasulullah dan dengan
menghendaki untuk berhukum kepada selainnya, padahal yang demikian ini
hanya berupa pengabaian semata, dan terkadang disebabkan oleh kuatnya
hawa nafsu, lalu bagaimana dengan hukum mencela Nabi , mencacinya dan
yang sejenisnya?
Hal
itu diperkuat oleh riwayat yang menyebutkan bahwa dua orang lelaki yang
saling bertikai menghadap kepada Nabi. Di-takhrij oleh Imam Suyuthi di
dalam ad-Durr al-Mantsuur, (2/180), dan beliau menyandarkannya kepada
Abu Hatim ar-Razi dan Ibnu Mardawaih. Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya
(1/351) berkata, hadits ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Mardawaih
dari jalur Ibnu Abi Lahi'ah, dan riwayat ini merupakan sebuah atsar yang
gharib lagi mursal. Sedangkan Ibnu Abi Lahi'ah sendiri dinyatakan lemah
(dha'if)., lalu beliau memutuskan pihak yang benar atas pihak yang
salah. Kemudian, pihak yang dikalahkan tersebut mengatakan
ketidakpuasannya. Lalu rivalnya pun berkata, "Apa sebenamya yang kamu
inginkan?!" Dia pun menjawab, "Hendaknya kita pergi ke Abu Bakar
ash-Shiddiq." Maka, pergilah keduanya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu
pihak yang dimenangkan itu pun bercerita kepadanya, "Kami membawa
pertikaian kami ke hadapan Nabi , lalu beliau memenangkan saya atas
dia." Lalu Abu Bakar pun berkata, "Kalian harus menerima apa yang telah
diputuskan oleh Nabi " Akan tetapi, pihak yang dikalahkan tetap saja
tidak merasa puas dan berkata, "Kita mesti mendatangi Umar bin Khattab."
Lalu,
pihak yang menang itu pun bercerita lagi, "Kami telah membawa
pertikaian di antara kami kepada Nabi , lalu beliau memenangkan saya
atas dia. Namun, dia ini tidak mau menerima putusannya. Lalu, kami pun
mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq dan beliau berkata, 'Kalian harus
menerima apa yang telah diputuskan Nabi ,' tapi dia masih bersikeras
untuk tidak mau terima." Lalu Umar pun bertanya kepada orang yang tidak
puas tadi dan dia pun menjawabnya.
Selanjutnya,
Umar masuk ke dalam rumah untuk kemudian keluar dengan menghunus
sebilah pedang, lalu menghujamkannya ke arah kepala orang yang tidak mau
menerima putusan Nabi tersebut. Sehingga, akhimya Allah Swt menurunkan
ayat:
"Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)
Hukum
riwayat ini mursal, namun dikuatkan oleh riwayat lain dari jalur
berbeda yang cukup layak untuk digunakan sebagai petunjuk.
Dalil Keenam:
Petunjuk
dari berbagai ayat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa orang yang
telah menyakiti Rasulullah berarti dia juga telah menyakiti Allah. Dan,
hal itu tanpa diperdebatkan lagi merupakan bentuk kekufuran. Allah Swt
berfirman:
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya
di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang
menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (al-Ahzab: 57-58)
Adapun petunjuknya bisa dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya:
Pertama.
Allah Swt di dalam ayat ini telah menyertai penentangan terhadap Nabi
dengan siksaan-Nya, sebagaimana Dia telah menyertakan ketaatan kepadanya
(Nabi) dengan ketataan kepada-Nya. Jadi, barangsiapa yang telah
menyakiti Nabi , berarti dia telah menyakiti Allah Swt , dan hal itu
telah ditetapkan di dalam ayat ini. Lalu, barangsiapa yang telah
menyakiti Allah Swt , berarti dia seorang kafir yang halal darahnya.
Hal
itu diperjelas lagi bahwasanya Allah Swt telah menjadikan kecintaan
kepada-Nya dan Rasul-Nya, juga mencari ridha-Nya dan Rasul-Nya, serta
menaati-Nya dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang tunggal. Allah Swt telah
berfirman:
"Katakanlah,
"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum
keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai
adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari)
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan /
keputusan-Nya." Dan Allah tidak member/ petunjuk kepada orang-orang yang
fasik." (at-Taubah: 24)
Dalam beberapa tempat yang berbeda, Allah Swt berfirman, di antaranya:
"Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat" (Ali Imran: 132)
"Padahal
Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika
mereka adalah orang-orang yang mukmin." (at-Taubah: 62)
Lalu
Allah Swt dengan cara menunggalkan dhamir (kata ganti)nya-juga telah
berfirman. Begitu pula, Allah Swt telah menjadikan permusuhan terhadap
Allah Swt dan Rasul-Nya, juga penentangan terhadap-Nya dan Rasul-Nya,
dan kedurhakaan terhadap-Nya dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang tunggal.
Allah Swt telah berfirman:
"(Ketentuan)
yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasul-Nya, dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfat:
13)
"Sesungguhnya
orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, mereka termasuk
orang-orang yang sangat hina. " (al-Mujadalah: 20)
"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah Swt dan rasul-Nya." (an-Nisa: 14)
Di
dalam ayat ini dan yang lainnya terdapat penjelasan tentang saling
keterikatan antara dua hak (Allah Swt dan Rasul-Nya), dan bahwa bentuk
pemuliaan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya itu merupakan bentuk yang
tunggal. Maka,
barangsiapa yang telah menyakiti Rasulullah berarti dia telah menyakiti
Allah Swt. Dan sebaliknya, barangsiapa yang telah menaati (perintah)
beliau, berarti dia telah menaati (perintah) Allah Swt.
Hal
itu, karena umat Islam tidak bisa melakukan shalat antara mereka dan
Rabb mereka kecuali dengan perantara Rasulullah , dan tidaklah salah
seorang mereka mempunyai cara dan sebab yang selainnya. Sungguh, Allah
Swt telah memposisikan beliau pada posisi-Nya dalam hal perintah,
larangan, pemberitahuan dan penjelasan-Nya. Maka, tidak boleh membedakan antara Allah Swt dan Rasul-Nya dalam salah satu dari semua hal ini.
Kedua,
Allah Swt membedakan antara orang yang menyakiti Allah Swt dan
Rasul-Nya dan antara orang yang menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat.
Maka, terhadap tindakan yang terakhir ini, Allah Swt menjadikan orang
tersebut telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata, sementara pada
tindakan yang pertama Dia menimpakan laknat terhadap orang tersebut di
dunia dan akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.
Diketahui bahwa menyakiti kaum Mukminin terkadang digolongkan ke dalam
dosa-dosa besar dan mengharuskan pelakunya didera. Dan, tidak ada yang
melebihi dosa tersebut selain melakukan kekufuran dan membunuh.
Ketiga,
Sesungguhnya Allah Swt di sini menuturkan bahwa Dia telah melaknat
mereka di dunia dan akhirat, dan menyediakan bagi mereka siksa yang
menghinakan. Melaknat artinya menjauhkan mereka dari rahmat-Nya,dan
barangsiapa yang Dia jauhkan dari rahmat-Nya di dunia dan akhirat, maka
tidak lain dia adalah seorang yang kafir. Sedangkan seorang Mukmin pada
beberapa kesempatan akan didekatkan kepada rahmat-Nya dan tidak
dihalalkan darahnya. Karena, suntikan darah ini merupakan rahmat yang
amat besar dari Allah Swt , sehingga orang yang dilaknat tersebut tidak
berhak mendapatkan suntikan darah ini. Hal itu diperkuat oleh firman
Allah Swt :
"Sesungguhnya
jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit
dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah
(dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi)
mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan
dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka
dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya."
(al-Ahzab: 60-61)
Dalam
ayat ini, 'penangkapan dan pembunuhan terhadap mereka' sebagai
penjelasan sifat 'pelaknatan terhadap mereka' dan sebagai penyebutan
hukumnya. Maka, dia tidak memiliki kedudukan i'rab dan tidak pula
sebagai bentuk 'haal' yang kedua. Karena, jika mereka menjadi tetangga
Nabi dalam keadaan terlaknat, lalu tidak tampak adanya dampak pelaknatan
terhadap mereka di dunia, maka berarti di situ tidak ada ancaman
terhadap mereka, padahal laknat tersebut nyata sebelum dan setelah
adanya ancaman ini.
Maka,
sudah seharusnya penangkapan dan pembunuhan ini menjadi salah satu
dampak pelaknatan yang telah diancamkan kepada mereka. Sehingga,
penangkapan dan pembunuhan ini menjadi hak orang yang telah dilaknat
oleh Allah Swt di dunia dan akhirat. Hal itu juga diperkuat oleh firman
Allah Swt :
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari
Al-Kitab? Mereka percaya kepadajibt dan thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar
jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang
dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya." (an-Nisa: 51-52)
Seandainya
orang tersebut dilindungi darah atau keamanannya, niscaya wajib bagi
kaum Muslimin untuk menolongnya dan dia pun berhak mempunyai penolong.
Diperjelas lagi, bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan laknat
terhadap Ibnu al-Asyraf, yang di antara laknat tersebut adalah dia
dibunuh karena telah menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya.
Syubhat
(bantahan/sanggahan) Tentang Adanya Laknat Terhadap Orang yang Tidak
Boleh Dibunuh. Ketahuilah, sesungguhnya hal ini tidak disangkal lagi
bahwa Allah telah melaknat orang yang tidak boleh dibunuh. Hal itu lebih
dikarenakan bcberapa faktor berikut ini:
Pertama,
bahwa berkaitan dengan orang ini telah dikatakan, "Allah akan
melaknatinya di dunia dan di akhirat." Maka, di sini Allah menjelaskan
bahwa Dia telah menjauhkan orang tersebut dari rahmat-Nya di dunia dan
akhirat. Dan, berkenaan dengan seluruh orang yang terlaknat, sebenarnya
telah dikatakan pula, "Allah akan melaknatinya," atau, "kepadanya laknat
Allah." Hal itu terrealisir dengan dijauhkannya mereka dari rahmat
Allah dalam beberapa kesempatan. Hanya saja, Allah membedakan antara
orang yang dilaknati-Nya atau yang kepadanya ditimpakan laknat yang
abadi dan bersifat umum dan membedakan antara orang yang telah
dilaknatnya dengan laknat yang mutiak.
Kedua,
bahwa seluruh orang-orang yang telah dilaknat oleh Allah di dalam
kitab-Nya semisal orang-orang yang menyembunyikan sesuatu dari al-Kitab
yang telah diturunkan oleh Allah , juga semisal orang-orang zalim yang
merintangi dakwah di jalan Allah (fi sabilillah) dan sebaliknya
menghendaki jalan tersebut menjadi bengkok, dan juga semisal orang yang
membunuh seorang Mukmin dengan sengaja itu bisa jadi dia seorang kafir
atau seorang yang dihalalkan darahnya. Berbeda dengan sebagian orang
yang telah dilaknat dalam Sunnah Rasulullah .
Ketiga,
bahwa ungkapan (sighat) ini sebagai pemberitahuan tentang laknat Allah
terhadapnya. Oleh karena itu, kalimat, "... dan Dia menyediakan bagi
mereka siksa yang menghinakan. " di-'athaf-kan atau disertakan
kepadanya. Scdangkan seluruh orang-orang terlaknat yang tidak boleh
dibunuh dan tidak menjadi kafir, sebenarnya mereka telah dilaknat dalam
bentuk ungkapan doa, semisal sabda Nabi :
"Semoga
Allah melaknat orang yang telah merubah penunjuk jalan. " Imam Muslim
dalam pembahasan tentang hewan kurban, (3/1567); Nasa'i (7/232); dan
Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/108). "Semoga Allah melaknat seseorang
yang mencuri. " Imam Muslim dalam pembahasan sanksi (hudud) (3/1314);
dan Ibnu Majah (2/862). Dan: “Semoga Allah melaknat pemakan hasil riba
dan pemberinya." Imam al-Bukhari dalam pembahasan tentang jual beli
(4/314); Imam Muslim dalam pembaahasan tentang Musaaqah (3/1219); dan
At-Tirmidzi (3/513). Dan lain sebagainya. Akan tetapi, pemyataan semacam
ini dibantah oleh firman Allah :
"Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi
beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan
bagi mereka azab yang besar." (an-Nur: 23)
Karena,
dalam ayat ini Allah menyebutkan laknat terhadap mereka itu terjadi di
dunia dan akhirat, mengingat sekadar menuduh berzina saja itu tidak bisa
dikatakan sebagai kekufuran dan juga tidak sampai menghalalkan darah si
penuduhnya.
Sedangkan
jawaban terhadap kedua ayat ini melalui dua cara, yaitu secara global
(mu/ma/) dan secara terperinci (mufasshal). Adapun jawaban secara global
(mujmal), adalah bahwa menuduh berzina seorang Mukmin saja merupakan
salah satu hal yang bisa menyakitinya, dan jika temyata dia berbohong,
maka itu adalah suatu kebohongan yang sangat besar. Sebagaimana Allah
telah berfirman
"Dan
mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu,
"Sekali-kali tidaklah pantos bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci
Engkau (ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar. " (an-Nur: 16)
Sungguh,
al-Quran telah menetapkan perbedaan antara menyakiti Allah dan
Rasul-Nya dan antara menyakiti kaum Mukminin. Allah berfirman:
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya
di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang
menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. " (al-Ahzab: 57-58)
Maka,
sebatas menyakiti kaum Mukminin tanpa haq saja tidak boleh . dijadikan
sebagai penyebab adanya laknat Allah di dunia dan akhirat dan turunnya
siksa yang menghinakan. Sebab, jikalau demikian adanya, berarti tidak
dibedakan antara menyakiti Allah dan Rasul-Nya dan antara menyakiti kaum
Mukminin, dan juga tentunya laknat Allah tersebut tidak dikhususkan
bagi orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Namun, di sini balasan
bagi orang yang menyakiti kaum Mukminin adalah bahwa dia akan menanggung
kebohongan dan dosa yang sangat nyata. Sebagaimana firman Allah dalam
tempat yang berbeda:
"Dan
barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan
kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat
suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (an-Nisa: 112)
Sedangkan
jawabannya secara terperinci bisa melalui tiga aspek: Aspek pertama,
bahwa ayat ini turun berkaitan dengan istri-istri Nabi menurut pendapat
mayoritas ulama. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas
pemah menafsirkan surat an-Nur. Ketika beliau sampai pada ayat,
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar," (an-Nur: 23), beliau
berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan 'Aisyah beserta para istri
Nabi pada khususnya, dia masih berbentuk samar (mubham) dan tidak ada
taubat (pengampunan dosa) di dalamnya.
Sedangkan
bagi orang yang menuduh berzina terhadap seorang wanita Mukminah,
sungguh Allah telah memberikan pintu taubat baginya." Lalu, beliau (Ibnu
Abbas) membaca ayat, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)." (an-Nur: 4-5).
Maka,
orang-orang yang tersebut dalam ayat ini masih diberi pintu taubat,
sedangkan orang-orang yang tersebut dalam ayat sebelumnya (an-Nur: 23)
tidak diberi kesempatan untuk bertaubat. Selanjutnya Ibnu Abbas
bercerita, kemudian seorang lelaki pun bergegas untuk berdiri, lalu
mengecup kepalanya karena terkagum atas apa yang telah beliau tafsirkan.
Ibnu
Abbas , telah menjelaskan bahwa ayat ini (an-Nur: 23) turun hanya
berkaitan dengan orang yang menuduh 'Aisyah berzina beserta para istri
Nabi lainnya, mengingat menuduh mereka berzina itu sarna dengan mencerca
dan mencela Nabi sendiri. Karena, menuduh seorang istri berzina berarti
menyakiti suaminya, sebagaimana hal itu juga menyakiti anaknya.
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Abul Jauza' berhubungan dengan ayat ini,
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan
akhirat." (an-Nur: 23). Beliau berkata, ayat ini hanya khusus bagi
Ummahatul Mukminin (para istri Nabi ).
Bukti
dalilnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, yaitu
bahwa laknat Allah di dunia dan akhirat itu tidak terjadi hanya cukup
dengan dosa karena menuduh orang lain berzina (qadzaf). Sehingga, huruf
'a/' dalam firman Allah , "Wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah
lagi beriman," ini untuk me-ma'rifah-kan yang bersangkutan, dan mereka
adalah para istri Nabi , mengingat pembicaraan di sini seputar hadits
al-ifk (dusta) dan peristiwa yang menimpa Ummul Mukminin, 'Aisyah , atau
tentang pembatasan lafazh umum hanya kepada sebabnya saja, mengingat
adanya dalil yang mengharuskan hal itu.
Pendapat
ini diperkuat lagi, bahwa Allah telah mengurutkan ancaman ini atas
tuduhan berbuat zina kepada para wanita yang baik-baik, yang lengah lagi
beriman, dan Dia telah berfirman di awal surat, "Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) danmereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera." (an-Nur: 4).
Di
sini, Allah mengurutkan hukuman dera, penolakan kesaksian dan kcfasikan
hanya scmata-mata karena menuduh para wanita yang baik-baik berbuat
zina. Maka, sudah semestinya jika para wanita yang baik-baik, yang
Icngah lagi beriman memiliki keistimewaan atas para wanita yang
baik-baik saja. Hal itu dikarenakan para istri Nabi tidak diragukan lagi
keimanan mereka, mengingat mereka adalah Ummahatul Mukminin (ibunya
kaum Mukminin), di samping mereka adalah para istri Nabi di dunia dan
akhirat.
Sedangkan
kebanyakan para wanita Muslimat biasanya hanya diketahui keimanan
mereka secara zahir saja. Ketahuilah, bahwa ayat ini (an-Nur: 4) juga
menjadi hujjah seperti halnya ayat tersebut (an-Nur: 23) berdasarkan
pendapat ini. Karena, ketika menuduh para istri Nabi itu sama saja
dengan menyakti Nabi , maka tentu pelakunya juga dilaknat di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, "Di dalamnya tidak ada
taubat." Karena, seorang yang menyakiti Nabi itu tidak diterima
taubatnya, sewaktu dia bertaubat dan menuduh tersebut, sehingga dia hams
masuk Islam mulai dan awal lagi. Atas dasar inilah, maka menuduh para
istri Nabi telah berbuat zina adalah bentuk kemunafikan yang bisa
menghalalkan darah si pelakunya, jika dengan menuduh itu dia bermaksud
menyakiti Nabi , atau bermaksud menyakiti para istri Nabi karena
mengetahui bahwa mereka adalah para istri Nabi di akhirat nanti.
Sesungguhnya tidak seorang pun istri Nabi yang dilaknat.
Di
antara dalil yang menunjukkan bahwa menuduh mereka berbuat zina sama
saja menyakiti Nabi , adalah hadits al-ifk yang telah ditakhrij oleh
Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam ash-Shahiihain dari Aisyah yang
berkata: "Lalu Rasulullah pun berdiri dan merasa berhalangan untuk
membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul. Kemudian Rasulullah berkhutbah di
atas mimbar:
"Wahai
kaum Muslimin, siapakah yang mau memaafkanku terhadap seseorang
(maksudnya: Abdullah bin Ubay bin Salul) yang menyakitiku dalam urusan
keluargaku?! Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui keluargaku selain
kebaikan, dan sungguh mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang tidak
kuketahui selain orang yang baik, dan dia tidak pernah menemui
keluargakau kecuali bersamaku."9 .Lalu, Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari
berdiri seraya berkata, "Aku memaafkanmu dari orang tersebut, wahai
Rasulullah, jika dia berasal dari suku Aus, maka kami pasti telah
memenggal lehemya, dan jika dia berasal dari suku Khazraj yang merupakan
saudara-saudara kami, maka cukup engkau memerintahkan kepada kami,
niscaya akan kami laksanakan perintahmu."
9.D\-takhrij
oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab asy-Syahadat (5/294, 319), hadits
no. 2637, 2661; Imam Muslim di dalam kitab at-Taubah, (4/2133); dan Imam
Ahmad di dalam Musnad-nya, (6/196).
Perkataan
Nabi H'man yu'dzirunii" di sini berarti, "Siapakah yang mau
memperlakukanku secara adil dan memaafkanku jika aku berlaku adil
terhadap orang tersebut ketika dia menyakitiku dalam urusan keluargaku
sedangkan Allah berada di pihak keluargaku?" Di sini, nyatalah bahwa
Nabi sangat tersakiti dengan tindakan orang tersebut, namun beliau
merasa berhalangan untuk membunuhnya. Lalu, kaum Mukminin yang tidak
terbawa arus berkata, "Perintahkanlah kepada kami, niscaya kami akan
memenggal leher mereka, karena kami akan memaafkanmu jika engkau
memerintahkan kami untuk memenggal leher mereka." Dan, Nabi tidak
melarang Sa'ad ketika dia minta diperintahkan untuk memenggal leher para
pemfitnah tersebut. Dan, beliau bersabda, "Sesungguhnya kamu akan
dimaafkan jika melakukan hal itu. "
Syubhat
Bahwa Sebagian Orang-Orang yang Terlibat dalam Haditsul Ifk Tidak
Pernah Dibunuh dan Dihukumi Munafik. Persoalan yang tersisa adalah bahwa
di antara orang-orang yang terlibat dalam hadits al-ifk ini ada yang
bemama Misthah, Hassan, dan Hirnnah, dan mereka ini tidak pemah dihukumi
munafik, di samping Nabi sendiri tidak pemah membunuh seorang pun
karena sebab ini. Hanya saja, terjadi perselisihan dalam hal hukuman
dera terhadap mereka.
Jawaban:
Bahwa orang-orang tersebut tidak pemah bermaksud menyakiti Nabi , dan
tidak pemah terlihat adanya bukti mereka mcnyakitinya. Maksudnya, tidak
pernah ada, baik melalui ucapan maupun tindakan mereka, yang menunjukkan
bahwasanya mereka bermaksud menyakiti Nabi . Akan tetapi, maksud
semacam itu ada pada diri Ibnu Ubay. Kemudian, barangsiapa yang menuduh
para istri Nabi berbuat zina setelah tahu mereka adalah para istri Nabi
di akhirat nanti, maka dia adalah seorang kafir lagi zindiq yang sungguh
bermaksud menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
Berbeda
dengan Ibnu Ubay yang sebenarnya hanya bermaksud menyakiti Nabi.
Kemudian, pada waktu itu mereka belum pernah tahu bahwa istri-istri
beliau di dunia adalah mereka yang menjadi istri-istri beliau di akhirat
nanti, di samping peristiwa semacam itu secara rasio mungkin saja
terjadi pada istri-istri Nabi . Karena itu, Nabi memilih sikap diam
dalam menanggapi masalah ini hingga beliau meminta pendapat Ali dan
Zaid, dan bahkan sampai bertanya kepada Barirah. Lalu, Nabi tidak mau
memvonis munafik orang-orang yang tidak pemah bermaksud menyakiti
beliau, karena mungkin saja beliau menceraikan istrinya yang tertuduh
itu (dalam hal ini adalah Aisyah). Adapun setelah nyata bahwa mereka
adalah para istri beliau di akhirat nanti, dan bahwa mereka adalah
Ummahatul Mukminin (ibu bagi kaum Mukminin), maka menuduh mereka berbuat
zina berarti sama saja menyakiti beliau dalam keadaan apa pun. Karena
itu, tidak boleh terjadi perzinaan dengan mereka, sebab hal itu berarti
membolehkan Nabi tinggal serumah atau berumah tangga dengan seorang
wanita pelacur, dan juga berarti ibu bagi kaum Mukminin dicap sebagai
pelacur, dan yang semacam ini adalah batil. Oleh karena itu, Allah
berfirman:
"Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman." (an-Nur: 17)
Aspek
kedua, bahwa ayat ini (an-Nur: 23) berlaku umum. Adh-Dhahhak berkata,
yang dimaksud dengan 'wanita-wanita' di dalam firman Allah ,
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina)." (an-Nur: 23), adalah para
istri Nabi saja. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa wanita-wanita
tersebut adalah para istri kaum Mukminin secara umum. Abu Salamah bin
Abdurrahman berkata, "Menuduh para wanita yang baik-baik termasuk di
antara hal-hal yang bisa menyebabkan adanya laknat Allah di dunia dan
akhirat dan turunnya azab (siksa) yang sangat besar. Kemudian beliau
membacakan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)."
Dan
ini adalah pendapat kebanyakan orang dan zahir dari khitab Allah di
sini, yaitu bahwa ayat ini berlaku umum bagi seluruh istri kaum
Mukminin. Sehingga, ayat ini hams diberlakukan secara umum, karena tidak
ada alasan yang bisa membuatnya berlaku khusus bagi para istri Nabi.
Dan berdasarkan kesepakatan ulama, ayat ini tidak hanya terkhusus pada
sebabnya saja. Hal itu, karena memberlakukannya terhadap seluruh istri
Nabi|, selain Aisyah, termasuk bentuk keumumannya, mengingat
pemberlakuan hukum tersebut bukan merupakan sebab turunnya ayat ini.
Selain
itu, juga karena lafazh yang dipakai di sini berbentuk jamak (plural),
sedang sebab turunnya hanya berkenaan dengan satu orang saja (yakni:
Aisyah). Di samping itu, juga karena membatasi keumuman ayat-ayat
al-Quran hanya pada sebab-sebab turunnya semata, itu adalah suatu
kesalahan. Sebab, kebanyakan ayat-ayat al-Quran turun dengan sebab-sebab
yang menuntut keumumannya. Dan sebagaimana sudah diketahui, bahwa tidak
ada satu pun ayat al-Quran yang dibatasi pemberlakuannya hanya pada
sebab turunnya semata.
Perbedaan
antara kedua ayat (an-Nur: 4) dan (an-Nur: 23) adalah bahwa ayat yang
pertama menyebutkan sanksi-sanksi yang diberlakukan kepada para penuduh
yang sudah mukallaf berupa hukuman dera, penolakan kesaksian dan
pem-fasikan. Sedangkan ayat kedua menjelaskan tentang hukuman yang
berasal langsung dari Allah, yaitu turunnya laknat Allah di dunia dan
akhirat dan juga siksa yang sangat besar.
Terdapat
riwayat yang tidak sedikit dari Nabi dan dari para sabahatnya, bahwa
menuduh para wanita yang baik-baik berbuat zina termasuk salah satu dosa
besar. Dan redaksi yang ada dalam ash-Shahih adalah, "Menuduh para
wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman.” Sebagian ulama ada yang
menakwilkan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)," kepada makna
ini, untuk selanjutnya mereka berselisih pendapat sebagai berikut;
Fathul Ban, pembahasan tentang wasiat, (5/462), hadits no. 2766.
D\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam pembahasan tentang iman, (1/92).
Abu Daud dalam pembahasan tentang wasiat, hadits no. 2874.
Abu
Hamzah ats-Tsumali berkata, "Kami mendengar bahwa ayat ini turun di
tengah orang-orang musyrik di Makkah, yaitu jika seorang wanita keluar
dari Makkah untuk berhijrah ke Madinah guna menghadap Rasulullah, maka
orang-orang musyrik dari penduduk Makkah menuduhnya telah berbuat zina,
dan mereka mengatakan bahwa wanita tersebut keluar dari Makkah hanya
untuk berzina.
Berdasarkan
hal inilah, orang yang telah menuduh para wanita Mukminat berbuat zina
yang akhimya menghalangi mereka untuk beriman kepada Nabi , sementara di
balik itu dia bermaksud mencela kaum Mukminin agar supaya orang-orang
menjauhi ajaran Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin
al-Asyraf, dan atas dasar ini pula, maka barangsiapa yang melakukannya,
berarti dia adalah seorang kafir dan hukumnya disetarakan dengan orang
yang mencaci maki Nabi. Dan orang-orang semacam ini lebih menyerupai
orang-orang yang mencaci maki para wanita yang memakai cadar pada masa
kita sekarang, dan mereka menuduh para wanita tersebut hanya menggunakan
cadar sebagai kedok untuk melakukan berbagai kejahatan, dan ini adalah
caci makian yang bertujuan untuk menjauhkan orang-orang dari cadar, dan
juga merintangi para wanita tersebut untuk menggunakan hijab yang
merupakan syariat Allah tlf kepada para wanita Muslimah. Renungkanlah!
Di
antara ulama ada yang memberlakukan ayat ini secara zahir dan umum,
mengingat sebab turunnya dipicu adanya tuduhan kepada Aisyah bahwa dia
telah berbuat serong. Di antara orang-orang yang menuduh tersebut ada
yang beriman dan ada yang munafik. Dan, sudah seharusnya sebab turunnya
ayat (sababun nuzul) ini berlaku umum, mengingat tidak ada alasan yang
membuatnya berlaku khusus. Jawaban atas persoalan ini adalah bahwa Allah
berfirman di sini, "Mereka kena laknat di dunia dan akhirat," (an-Nur:
23) dalam bentuk binaa al-fi'li lil-mafuul atau binaa lil-majhuul, tanpa
disebutkan siapa yang melaknat mereka (la'in).
Sementara
pada ayat tentang orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Dia
berfirman, "Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat," (al-Ahzab:
57) dengan menyebutkan siapa yang melaknat mereka (fa'il). Jika yang
melaknat mereka (fa'il) tidak disebutkan di sini, berarti siapa saja
selain Allah , baik dari golongan malaikat ataupun manusia, boleh
melaknat mereka. Juga, berarti boleh saja Allah melaknat mereka pada
suatu ketika, lalu sebagian makhluk-Nya melaknat mereka pada waktu yang
berbeda.
Dan,
juga berarti boleh saja Allah menimpakan laknat kepada salah seorang
mereka, yaitu orang yang tuduhannya bertujuan untuk mencerca agama,
sementara makhluk-Nya menimpakan laknat kepada orang-orang yang
selainnya. Jika orang yang melaknat tersebut adalah seorang makhluk,
maka bentuk laknatnya bias berupa doa jelek kepada mereka, dan bisa
dalam artian 'agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah .
Kesemuanya
ini termasuk di antara sebab-sebab yang membuat seorang penuduh
tersebut dilaknat. Dan di antara sebab-sebab yang membuatnya dilaknat,
adalah dia didera (80 kali), ditolak kesaksiannya, dan dihukumi sebagai
orang fasik, mengingat hal itu sebagai hukuman dan penjauhan baginya
dari rasa aman dan diterima, yaitu dari rahmat Allah. Yang demikian ini,
berbeda dengan orang yang diberitakan Allah telah dilaknat-Nya di dunia
dan akhirat, mengingat laknat Allah kepadanya bisa menyebabkan
hilangnya pertolongan baginya dari segala arah, dan jauhnya dia dari
sebab-sebab rahmat di dunia dan akhirat.
Kemudian,
di antara dalil yang bisa menguatkan perbedaan ini, adalah bahwa Allah
telah berfirman di sini, "... dan Dia (Allah) menyiapkan bagi mereka
siksa yang menghinakan. " Dan, ungkapan di dalam al-Quran tentang
penyiapan siksa yang menghinakan tidak pernah diperuntukkan selain bagi
orang-orang kafir saja. Firman Allah, "Dan untuk orang-orang yang kaflr
siksaan yang menghinakan." (al-Baqarah: 90), dan firman-Nya, "Dan Kami
telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan,"
(an-Nisa: 37). Adapun ayat tentang siksa yang sangat besar, maka ada
yang berbentuk ancaman bagi orang-orang yang beriman, seperti firman
Allah: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari
Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu
ambil." (al-Anfal: 68) Dan firman-Nya: "Sekiranya tidak ada kurnia Allah
dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu
ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong
itu." (an-Nur: 14)
Juga,
ada yang berupa ancaman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya,
seperti firman-Nya, "Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, "
(al-Maidah: 3). Lalu, ada pula yang berupa ancaman bagi orang yang
membunuh, ".dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya," (an-Nisa: 93). Ancaman semacam ini
juga terdapat dalam firman Allah: "Dan janganlah kamu jadikan
sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan
tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan
kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan bagimu azab yangpedih." (an-Nahl: 94) Sungguh, Allah telah
berfirman: "Dan Barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun
yang memuliakannya." (al-Hajj: 18)
Hal
itu karena penghinaan sama saja dengan perendahan, pengejekan dan
peremehan, dan itu sebagai beban tambahan atas pedihnya siksa ter-sebut.
Hanya terkadang seorang yang mulia itu disiksa, tapi tidak dihinakan.
Ketika dalam ayat ini (al-Ahzab: 57), Allah tH berfirman, "... dan Dia
menyiapkan bag! mereka siksa yang menghinakan." Maka, dari situ bisa
diketahui bahwa yang demikian itu termasuk jenis siksa yang diancamkan
kepada orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sedangkan ketika Dia
berfirman pada ayat tersebut, "... dan bagi mereka adalah siksa yang
sangat besar," (an-Nur: 23), maka bisa saja hal itu termasuk jenis siksa
yang terdapat di dalam ayat, ". . . niscaya kamu ditimpa azab yang
besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu, " (an-Nur:
14).
Adapun
dari sisi lain, maka siksa yang menghinakan ini hanya dipersiap-kan
bagi orang-orang kafir saja. Karena, Neraka Jahanam diciptakan hanya
untuk mereka, mengingat mereka harus masuk ke dalamnya dan tidak akan
pemah lagi dikeluarkan darinya. Berbeda dengan orang-orang yang mendapat
ancaman dari kalangan kaum Muslimin, maka bisa saja mereka tidak jadi
masuk ke dalamnya, jika dosa-dosa mereka telah diampuni. Dan, kalaupun
mereka jadi memasukinya, maka pasti mereka akan keluar darinya meskipun
itu setelah beberapa saat lamanya.
Dalil Ketujuh
Mengangkat
suara melebihi suara nabi saja, sipelakunya di khawatirkan bisa menjadi
kufur karenanya, maka tentunya menyakiti beliau secara sengaja itu
lebih kufur lagi. Allah berfirman :
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari
suara Nabi, dan janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang
lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak
menyadari." (al-Hujurat: 2)
Dalil perunjuknya adalah bahwa Allah telah melarang mereka untuk meninggikan suara mereka melebihi suara Nabi ,
dan juga melarang untuk mengeraskannya seperti halnya sebagian dari
mereka ada yang telah mengeraskan suara kepada sebagian yang lain.
Karena, meninggikan dan mengeraskan suara ini terkadang menyebabkan
terhapus atau batalnya amalan, tanpa disadari oleh pelakunya.
Sesungguhnya
Allah menjadikan alasan di balik larangan mengeraskan suara ini, adalah
semata-mata agar bisa terkabulnya suatu amalan, mengingat amalan
tersebut bisa terhapus karena melakukan suatu kekufuran. Allah
berfirman: "Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu
dia mati da/am kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat...." (al-Baqarah: 217) Allah juqa berfirman:
"Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum
Islam), maka hapuslah amalannya .,.." (al-Maidah: 5)
Jika
telah nyata bahwa meninggikan suara melebihi suara Nabi dan mengeraskan
ucapan dikhawatirkan bisa menyebabkan pelakunya menjadi kafir tanpa
sadar, dan juga membuat amalannya menjadi batal, dan bahwa hal itu
diduga kuat sebagai pendorong terjadinya semua itu, atau bahkan sebagai
penyebab yang sebenarnya, maka bisa dimaklumi bahwa larangan tersebut
seyogianya dimaksudkan untuk memuliakan, menghormati, serta mengagungkan
beliau, dan bahwa meninggikan suara terkadang bisa menyakiti dan
meremehkan beliau, meskipun pelakunya tidak pemah bermaksud demikian.
Jika
menyakiti dan meremehkan Nabi yang merupakan buah dari budi pekerti
yang jelek saja meski pelakunya tidak bermaksud demikian bisa disebut
kufur, maka tentunya menyakiti dan meremehkan Nabi dengan cara disengaja
lebih layak disebut kufur.
Dalil Kedelapan:
Adanya
ancaman bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi itu menjadi kafir
dan musyrik, mengingat hal itu mengandung unsur peremehan terhadap Nabi.
Maka, tentunya orang yang mencela beliau lebih layak untuk diancam
demikian. Allah berfirman:
"Janganlah
kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah
mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih."(an-Nur:63)
Dalam
ayat ini, Allah memerintahkan orang yang menyelisihi perintah-Nya agar
merasa takut akan terjadinya fitnah. Dan, yang dimaksud dengan fitnah di
sini adalah murtad dan syirik. Firman Allah , "Dan perangi/ah mereka
itu, sehingga tidak ada fitnah lagi ...," (al-Baqarah: 193). Juga
firman-Nya, "Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada
membunuh," (al-Baqarah: 217). Juga firman-Nya, "Kalau (Yatsrib) diserang
dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad,
niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk
murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat," (al-Ahzab: 14).
Dalil
petunjuknya, bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi itu diancam
menjadi kafir dan musyrik, atau akan ditimpa azab yang pedih.Dan, sudah
diketahui bahwa yang menyebabkannya diazab itu hanya karena dia
melakukan perbuatan maksiat. Sedangkan yang bisa menyebabkannya menjadi
kafir tidak lain karena sewaktu melakukan maksiat tersebut dia
mengikutinya dengan unsur peremehan terhadap Nabi , seperti yang pernah
dilakukan oleh Iblis terhadap Nabi Adam .
Lalu,
bagaimana dengan perbuatan yang lebih berat daripada hal itu, semisal
mencaci maki dan mencela Nabi dan yang sejenisnya? Dalam riwayat Fadhal
bin Ziyad, Imam Ahmad berkata, "Aku membaca Mushaf (al-Quran) dan
mendapati ayat tentang ketaatan kepada Rasulullah terdapat di 33
tempat." Kemudian beliau membaca ayat, "... maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab
yang pedih," (an-Nur: 63). Beliau berulang-ulang kali membacanya dan
bertanya-tanya apakah yang dimaksud dengan fitnah di sini? Yaitu syirik
(menyekutukan Allah ). Bisa saja kalau dia menolak sebagian firman-Nya
akan timbul di dalam hatinya suatu keraguan, sehingga membuat hatinya
bimbang dan menghancurkannya. Lalu, beliau pun bergegas membaca ayat,
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya," (an-Nisa: 65).
Dalil Kesembilan:
Petunjuk
al-Quran tentang keharaman menikahi para istri Nabi ,mengingat di
dalamnya terkandung unsur menyakiti Nabi dan merusak kehormatannya. Dan,
sungguh terdapat sunnah yang menyatakan bahwa orang yang melakukan hal
itu harus dibunuh. Jika memang demikian, maka tentunya orang yang
mencaci maki Nabi lebih berhak untuk dibunuh. Allah telah berfirman:
"Dan
tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini
istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah." (al-Ahzab: 53)
Dalil
petunjuknya, bahwa diharamkan bagi umat Islam untuk menikahi para istri
Nabi setelah beliau wafat, dikarenakan hal itu bisa menyakiti beliau.
Juga, bahwa dijadikan dosa dari tindakan tersebut amat besar di sisi
Allah , itu semata-mata demi menghormati beliau. Disebutkan
bahwa ayat ini turun pada saat ada orang yang berkata, "Jikalau
Rasulullah meninggal nanti, aku akan menikahi Aisyah." Kemudian
ditegaskan bahwa orang yang menikahi para istri Nabi hukumannya adalah
dibunuh. Hal itu, sebagai balasan atas tindakannya yang telah
merusak kehormatan Nabi . Jika demikian halnya, maka tentunya orang
yang mencaci maki beliau lebih berhak untuk dibunuh.
Di
antara dalil lain yang menyatakan tentang dibunuhnya orang yang merusak
kehormatan Nabi , karena menikahi salah seorang istri beliau, adalah
apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahih-nya dari
Anas , bahwa pernah ada seorang lelaki yang mengaku berzina dengan salah
seorang istri Nabi , lalu beliau berkata kepada Ali , "Pergilah dan
penggal leher orang itu." D\-takhrij oleh Muslim dalam pembahasan
tentang taubat, (4/2139). D\-takhrij pula oleh Hakim di dalam
al-Mustadrak dalam pembahasan tentang mengenali para sahabat Nabi,
(4/40).
Kemudian,
Ali pun berangkat mendatangi orang tersebut, dan ternyata dia sedang
berada di suatu pojok ruangan sambil mencaci maki. Lalu Ali berkata
kepadanya, "Keluarlah!" Ali pun merengkuh tangannya dan mengeluarkannya.
Namun, ternyata dia adalah seorang lelaki yang terpotong kemaluannya.
Maka, Ali pun mengurungkan niatnya, lalu segera menghadap Nabi dan
berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang
terpotong kemaluannya." Di sini, Nabi memerintahkan untuk memenggal leher lelaki ini
ketika dia merusak kehormatan beliau dengan mengaku telah berzina
dengan salah seorang istri Nabi, dan beliau pun tidak menyuruh untuk
diberlakukan sanksi (had) zina terhadapnya. Sebab, jika yang
diberlakukan sanksi zina, maka berarti yang terjadi bukan pemenggalan
kepala. Melainkan, jika dia seorang muhshan (sudah menikah tetapi
berzina-ed.), maka dia harus dirajam, sedangkan bila dia bukan muhshan,
maka dia harus didera (dicambuk) 100 kali.
Di
samping itu, sanksi zina ini tidak bisa dijatuhkan tanpa adanya empat
orang saksi atau pengakuan yang terpecaya. Dari sini bisa diketahui,
bahwa ketika Nabi memerintahkan untuk memenggal leher lelaki tersebut,
tanpa ada rincian apakah dia seorang muhshan atau bukan, Itu tidak lain
dikarenakan orang tersebut telah merusak kehormatan beliau. Dan, bisa
saja ada dua orang saksi yang telah bersaksi di sisi beliau, bahwa
mereka telah melihat lelaki tersebut mempergauli istri Nabi , atau
bersaksi dengan yang semisalnya, sehingga beliau pun memerintahkan untuk
membunuh lelaki tersebut.
Namun,
ketika terbukti bahwa lelaki tersebut tidak memiliki kemaluan
(terpotong zakarnya), maka secara pasti diketahui bahwa kerusakan atau
perzinaan tersebut tidak mungkin diperbuat lelaki tersebut. Atau, bahwa
beliau telah mengutus Ali untuk mengklarifikasi kisahnya, yang mana jika
ternyata apa yang beliau dengar dari pengakuan lelaki tersebut benar,
maka Ali harus membunuhnya.
Kemudian
terdapat riwayat lain, bahwa Nabi telah menikahi Qailah binti Qais bin
Ma'dikarib, saudara perempuan dari al-Asy'ats. Namun, Nabi lebih dulu
wafat sebelum sempat mempergaulinya dan sebelum dia pun menghadap kepada
beliau. Dikatakan, sesungguhnya Nabi telah memberi pilihan kepadanya
antara dia diwajibkan memakai hijab dan haram dinikahi oleh kaum
Mukminin, dan antara dia dicerai lalu boleh menikah lagi dengan lelaki
mana pun yang dikehendakinya. Maka, Qailah pun memilih untuk menikah
lagi.
Maksudnya,
dia minta diceraikan. Para perawi berkata, setelah Nabi meninggal,
wanita ini (Qailah) dinikahi oleh Ikrimah bin Abu Jahal di Hadhramaut,
dan Ikrimah pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar
berkata, "Sungguh, aku ingin sekali membakar mereka berdua di dalam
rumah mereka." Namun, Umar pun menimpali, "Dia (Qailah) tidak termasuk
ibu bagi kaum Mukminin (Ummahatul Mukminin), dan Nabi pun belum sempat
mempergaulinya, dan dia juga tidak diwajibkan memakai hijab." Dikatakan,
sesungguhnya dia telah murtad (keluar dari agama Islam), lalu Umar pun
berdalih kepada Abu Bakar bahwa dia bukan termasuk di antara istri-istri
Nabi akibat kemurtadannya tersebut.
Dalil
petunjuknya, Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad membakar Qailah dan lelaki
yang menikahinya (Ikrimah), ketika beliau menganggap bahwa dia termasuk
di antara istri-istri Nabi , hingga akhimya Umar bin Khattab mendebatnya
bahwasanya dia bukan termasuk di antara istri-istri Nabi , dan mencegah
niat Abu Bakar tersebut terhadap mereka. Dari sini bisa diketahui,
bahwa mereka berpendapat untuk membunuh orang yang merusak kehormatan
Nabi dengan cara menikahi istri beliau.
PEMBAHASAN KEDUA
Dalil-Dalil dari As-Sunnah Bahwa Mencaci Maki Bisa Menghapus Iman dan Rasa Aman, Serta Mewajibkan Pelakunya untuk Dibunuh
Pendahuluan
Dalam pembahasan ini, Syaikhul Islam memaparkan 15 hadits yang dijadikan sebagai dalil atas beberapa hal berikut ini:
1.
Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas bolehnya membunuh
seorang wanita yang berani mencaci maki Nabi , baik dia seorang wanita
Muslimah ataupun berasal dari komunitas kafir dzimmi, mu'ahid dan harbi.
2.
Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas kewajiban untuk
membunuh seorang kafir dzimmi atau mu'ahid yang telah mencaci maki Nabi ,
serta menjadi batal sumpah janjinya karenanya.
3.
Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas bolehnya membunuh
seorang kafir harbi yang telah mencaci maki Nabi , meskipun dia datang
untuk bertaubat dan menjadi seorang Muslim. (Hal itu setelah mampu
melakukannya).
4.
Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas murtadnya seorang
Muslim yang telah mencaci maki Nabi , serta kewajiban untuk membunuhnya
sebagai konsekuensi dari tindakannya ini, meskipun dia telah bertaubat.
Demikianlah,
bahwa seorang yang mencerca Rasulullah atau mencerca semua penjelasan
dan petunjuk yang telah dibawanya, tidak terlepas dari apakah dia
seorang Muslim, atau seorang kafir dzimmi, mu'ahid dan harbi. Secara
keseluruhan, juga tidak terlepas dari apakah dia seorang laki-laki
ataupun perempuan.
Dan, untuk mempermudah bagi pembaca, saya mencoba untuk membagi pembahasan ini menjadi beberapa pasal, antara lain:
Pasal pertama, Syariat untuk membunuh seorang wanita karena mencaci maki Nabi .
Pasal
kedua, batalnya sumpah janji seorang kafir dzimmi dan mu'ahid karena
telah mencaci maki Nabi , serta kewajiban untuk membunuhnya.
Pasal
ketiga, seorang Muslim yang menjadi kafir karena telah mencaci maki
Nabi , serta syariat untuk membunuhnya meskipun dia telah bertaubat dan
kembali masuk Islam.
Pasal
keempat, anjuran membunuh seorang kafir harbi karena telah mencaci maki
Nabi, meskipun dia telah bertaubat dan menjadi seorang Muslim.
PASAL PERTAMA:
Syariat
untuk Membunuh Seorang Wanita Karena Telah Mencaci Maki Nabi, Baik yang
Berasal dari Kalangan Kafir Dzimmi, Mu'ahid dan Harbi, Maupun Mengaku
Muslimah.
Telah
diketahui bersama, bahwa membunuh seorang wanita dengan sengaja hanya
karena kekufurannya, tidak diperbolehkan menurut ijma' ulama. Sungguh,
terdapat sunnah Rasulullah yang telah membahas masalah ini. Di
antaranya, disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, sebuah
riwayat dari 'Umar yang berkata, "Aku menemukan ada seorang wanita yang
dibunuh dalam beberapa peperangan Nabi, lalu beliau pun melarang untuk
membunuh para wanita dan anak-anak kecil.". Fathul Bari, dalam
pembahasan tentang jihad dan as-sair, (6/172), hadits no. 3015; Muslim
dalam pembahasan tentang jihad, (3/1364); Ibnu Hajar juga telah
menyebutkannya di dalam kitab al-Mathaalib al-'Aaliyah, (2/149);
al-Bushairi berkata, para rijalnya adalah rijal yang shahih; dan
ath-Thahawi telah menyebutkannya di dalam kitab Ma'aanii al-Aatsaar,
(3/220, 221).
Hanya
saja, berkenaan dengan wanita yang telah mencaci maki Nabi dan mencerca
beliau ini terdapat sebuah hadits shahih yang menyatakan adanya syariat
untuk membunuh wanita tersebut, baik dia seorang wanita Muslimah
ataupun berasal dari komunitas kafir dzimmi dan harbi. Karena, barangsiapa yang telah berani mencela dan mencaci maki Nabi , maka dia boleh dibunuh dalam kondisi apa pun. Adapun
di antara dalil-dalil yang menyatakan adanya syariat untuk membunuh
wanita yang telah mencaci maki Nabi «H ini adalah sebagai berikut.
Dalil Pertama:
Yaitu
kisah tentang seorang tunanetra yang membunuh seorang wanita beragama
Yahudi yang berani mencaci maki Nabi. Lalu Nabi pun menghalalkan
darahnya.
Terdapat
hadits yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi dari Ali, seorang wanita
beragama Yahudi telah mencela Nabi . Lalu, datanglah seorang lelaki yang
mencekik lehernya hingga wanita tersebut tewas. Lalu, Rasulullah
menghalalkan darah wanita itu. Di-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab:
sanksi hukuman (hudud), bab: hukum orang yang mencaci maki Nabi M,
hadits no. 4367. Isnad hadits ini shahih, namun terjadi perselisihan
pendapat: apakah asy-Sya'bi meriwayatkannya dari Ali atau bukan? Di
dalam kitab al-'llal karya ad-Daruquthni (1/132) disebutkan bahwasanya
asy-Sya'bi mendengar dari Ali hanya satu huruf, namun di dalam
Jaami'at-Thashiil pada terjemah (322) disebutkan bahwasanya dia telah
meriwayatkannya dari Ali .
Hadits
ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud di dalam Sunan-nya, dan oleh
Ibnu Batthah di dalam Sunan-nya. Hadits ini juga termasuk di antara yang
dijadikan dalil oleh Imam Ahmad dalam riwayat anaknya, Abdullah, dan
dia berkata, Jarir telah menceritakan kepada kami, dari Mughirah, dari
asy-Sya'bi, dia berkata, "Pernah ada seorang lelaki maksudnya lelaki
tunanetra dari kalangan umat Islam yang mencari pertolongan kepada
seorang wanita Yahudi, lalu wanita itu pun memberinya makan dan
memperlakukannya dengan baik, namun wanita tersebut tidak henti-hentinya
mencaci maki Nabi dan menyakitinya. Pada suatu malam, lelaki itu pun
mencekik leher wanita tersebut hingga tewas. Maka, pada pagi harinya,
lelaki itu bercerita kepada Nabi , lalu orang-orang bercerita perihal
kematian wanita tersebut, sehingga lelaki itu pun berdiri seraya
menceritakan wanita tersebut yang sebenamya. Dari situ, maka Nabi pun
menghalalkan darah wanita tersebut." Maksudnya,
membolehkan wanita tersebut dibunuh, dan bahkan dalam masalah ini
beliau tidak mewajibkan adanya diyat dan tidak juga kafarat.
Kedudukan
hadits ini jayyid karena asy-Sya'bi pernah melihat Ali dan meriwayatkan
hadits tentang Syurahah al-Hamadani darinya. Pada masa khalifah Ali,
usia asy-Sya'bi hampir mendekati 20 tahun. Dia berasal dari Kufah, dan
pemah bertemu dengan Ali, sehingga hadits ini bersambung atau tidak
terputus sanadnya. Kalau pun hadits ini dinyatakan mursal, itu karena
asy-Sya'bi tinggal sangat jauh dari Ali. Ini merupakan alasan yang telah
disepakati oleh para ulama. Juga, karena asy-Sya'bi di mata mereka
adalah perawi hadits-hadits mursal yang dikategorikan shahih. Mereka
tidak mengetahui hadits mursal darinya selain itu adalah hadits yang
shahih.
Di
samping itu, asy-Sya'bi adalah rawi yang paling mengetahui hadits Ali
dan mengenali para sahabatnya yang tsiqah (terpecaya). Haditsnya ini
dikuatkan oleh hadits Ibnu Abbas yang akan dibahas setelah ini. Karena,
kisahnya bisa jadi cuma satu atau secara maknanya saja yang satu,
sebagaimana telah disampaikan oleh kebanyakan para ulama. Di samping
itu, juga terdapat riwayat hadits lain dari para sahabat Nabi yang sama
dengannya. Dan, hadits mursal yang semacam ini, tidak pernah diragukan
lagi oleh kalangan ahli fiqih untuk dijadikan sebagai hujjah.
Dalil
petunjuknya adalah hadits ini sebagai penetapan atas bolehnya membunuh
seorang wanita karena telah mencaci maki Nabi, sekaligus sebagai dalil
untuk membunuh seorang lelaki dari kalangan kafir dzimmi, dan juga sebab
dalil untuk membunuh seorang lelaki Muslim dan wanita Muslimah ketika
mereka mencaci maki Nabi sebagai tindakan yang lebih diutamakan lagi.
Hal itu, karena wanita pencaci maki ini dulunya seorang wanita yang
tidak dimusuhi (muwada'ah), mengingat Nabi sewaktu tiba di Madinah telah
menjamin keamanan bagi seluruh kaum Yahudi dengan jaminan yang mutlak,
dan tidak mewajibkan kepada mereka untuk membayar upeti (jizyah).
Dan,
hal ini menurut para ulama sangat mosyru' dan menempati kedudukan
hadits mutawatir yang ada di antara mereka. Sampai-sampai Imam
asy-Syafi'i pemah berkata, "Saya tidak pemah tahu di antara para
sejarawan ada yang menentangnya. Semua mengatakan bahwa Nabi sewaktu
tiba di Madinah, beliau langsung menjamin keamanan bagi seluruh kaum
Yahudi, tanpa membebani mereka dengan jizyah." Dan, kenyataannya
sebagaimana yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi'i. Dalam hadits
asy-Sya'bi ini dijelaskan pula bahwa wanita tersebut berasal dari
komunitas kafir dzimmi, dan ini berdasarkan dua faktor:
Faktor
pertama, asy-Sya'bi mengatakan bahwa wanita Yahudi ini telah mencaci
maki Nabi , lalu lelaki buta itu pun mencekik lehernya, maka Nabi pun
telah menghalalkan darahnya. Di sini, Ali mengurutkan penghalalan darah
wanita tersebut yang disebabkan oleh karena mencaci maki Nabi dengan
huruf Jaa'. Maka, dari situ bisa diketahui, bahwa caci makian terhadap
Nabi itulah yang menyebabkan darah wanita tersebut menjadi halal. Hal
itu, karena mengaitkan suatu hukum (vonis) dengan suatu tindakan yang
sesuai dengannya melalui perantara huruf Jaa', menunjukkan tentang
kualitas kalimat tersebut, meskipun ini hanya ucapan seorang sahabat
Nabi.
Hal
itu diperjelas bahwa Nabi sewaktu dikatakan kepada beliau bahwa wanita
tersebut telah dibunuh orang-orang pun bertanya-tanya perihal kematian
wanita tersebut. Namun, ketika dikatakan kepada beliau tentang dosa yang
diperbuat wanita tersebut, seketika Nabi menghalalkan darahnya.
Padahal, jika beliau memutuskan suatu perkara setelah diceritakan
kepadanya duduk perkaranya, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa
penuturan cerita itulah yang menjadi penyebab lahirnya hukum tersebut.
Dan, mengingat itu adalah suatu hukum yang baru muncul, maka sudah
seharusnya dia memiliki sebab yang memicunya. Sementara di sini, tidak
ada sebab lain kecuali apa yang telah diceritakan kepada beliau, dan itu
sangatlah layak. Maka dari itu, wajib di sini menyandarkan hukum itu
kepada cerita tersebut.
Faktor
kedua, pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan orang-orang perihal
kematian wanita tersebut kepada Nabi , yang kemudian disusul dengan
penghalalan darahnya. Itu sebagai dalil bahwa wanita tersebut sebelumnya
mendapat perlindungan keamanan, dan bahwa darahnya merupakan sebab
adanya jaminan keamanan tersebut. Dan, darah tersebut akan tetap
terjamin keamanannya jika saja Nabi tidak menghalalkan darahnya. Karena,
jika dia seorang wanita kafir harbi, maka tentunya Nabi tidak akan
mengumumkan kepada orang-orang perihal kematiannya, dan tidak perlu lagi
harus menghalalkan darahnya, mengingat penghalalan darah tersebut hanya
berlaku bagi darah yang menjadi sebab adanya jaminan keamanan saja.
Jika
Nabi telah membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi dengan tidak
membebani mereka dengan jizyah, lalu ada lelaki buta yang telah membunuh
seorang wanita Yahudi dari orang-orang yang tidak dibebani jizyah
tersebut dikarenakan telah mencaci maki Nabi , maka tentunya membunuh
seorang wanita Yahudi dari orang-orang yang diwajibkan membayar jizyah
dan yang harus mematuhi hukum-hukum agama dikarenakan telah mencaci maki
Nabi, lebih utama dan ditekankan lagi. Kalau memang membunuh wanita
tersebut tidak diperbolehkan, maka pastilah nyata bagi seorang lelaki
buta tersebut kejelekan apa yang telah diperbuatnya, mengingat
Rasulullah telah bersabda: "Barangsiapa yang membunuh seorang wanita
dari komunitas kafir mu'ahid dengan tanpa haq, maka dia tidak akan pemah
menghirup wanglnya surga. Di-takhrij oleh Imam Bukhari dalam pembahasan
tentang diyal, (12/270), hadits no. 6914. Di-takhrij pula oleh Hakim di
dalam al-Mustadrak dalam pembahasan tentang iman, (1/44); dan
di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Afusnad-nya, (5/36, 38, 50). Dan
juga pasti diwajibkan baginya jaminan atau kafarat, yakni kafarat atas
pembunuhan terhadap seseorang yang telah dijamin keselamatannya. Namun,
ketika Nabi menghalalkan darahnya, maka dari situ bisa dipahami bahwa
membunuh wanita tersebut diperbolehkan.
Dalil Kedua:
Yaitu
Kisah tentang lelaki tunanetra yang telah membunuh budak wanitanya
(ummu walad) yang telah mencaci maki Nabi , lalu Nabi pun menghalalkan
darahnya.
Terdapat
riwayat dari Isma'il bin Ja'far dari Israil dari Utsman asy-Syiham dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa seorang lelaki tunanetra mempunyai
seorang budak wanita (ummu walad) yang telah mencaci maki Nabi, lalu
lelaki itu pun mencegahnya, tapi wanita tersebut tidak mau berhenti
mencaci. Maka, pada suatu malam di saat wanita tersebut mulai mencaci
maki Nabi , lelaki itu pun mengambil pedang, lalu diletakkan pada perut
wanita tersebut, untuk kemudian menindihnya hingga wanita itu pun
terbunuh. Ketika hari sudah pagi, dia menceritakannya kepada Nabi , dan
Nabi pun mengumpulkan orang-orang seraya bersabda: "Aku mencari seorang
lelaki yang telah melakukan apa yang diperbuatnya. Aku punya hak atas
dirinya kecuali jika dia mau berdiri." Ibnu Abbas berkata, "Kemudian,
lelaki buta itu pun berdiri dan berjalan ke arah orang-orang sambil
memakai tongkatnya, hingga dia pun duduk di depan Nabi dan berkata,
"Wahai Rasulullah, aku adalah tuan dari wanita tersebut. Dia telah
mencaci makimu, lalu aku mencegahnya tapi dia tetap bersikeras mencaci
makimu. Aku punya dua anak lelaki darinya seperti dua permata, dan dia
dulu pemah menemaniku. Pada suatu malam di saat dia mulai mencaci
makimu, aku pun mengambil pedang lalu aku taruh di perutnya dan aku
menindihnya hingga dia pun terbunuh." Kemudian, Nabi bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya darah wanita tersebut halal," (Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan Abu Daud).
Kisah
ini mengandung makna bahwa wanita tersebut lebih berhak untuk dibunuh.
Hal itu berdasarkan perkataan Imam Ahmad dalam riwayat Abdullah ketika
dikatakan kepadanya, "Dalam hal membunuh seorang kafir dzimmi sewaktu
dia mencaci maki Nabi , terdapat beberapa hadits. Beliau berkata,
"Benar, dan di antaranya adalah hadits tentang seorang lelaki buta yang
telah membunuh seorang wanita." Beliau berkata, "Lelaki itu mendengar
wanita tersebut sedang mencaci maki Nabi " Selanjutnya, Abdullah
meriwayatkan dari beliau kedua hadits di atas (hadits asy-Sya'bi dan
Ibnu 'Abbas). Dalam riwayat itu disebutkan bahwa lelaki buta ini telah
mencekik leher wanita tersebut dan membelah perutnya dengan sebilah
pedang. Atau, dia membunuhnya dengan cara yang tidak diketahui secara
pasti di dalam salah satu riwayatnya.
Hal
itu diperkuat, bahwa alur kedua kisah ini sama persis menimpa kedua
lelaki buta tersebut, yaitu keduanya telah diperlakukan oleh wanita
tersebut secara baik dan bahwa wanita tersebut selalu mengulangi caci
makiannya terhadap Nabi juga keduanya telah membunuh wanita tersebut
sendirian, dan juga keduanya telah diumumkan oleh Nabi perihal wanita
tersebut di hadapan banyak orang. Kesemuanya itu jauh sekali dari
kebiasaan yang terjadi. Dan, bisa saja kisah ini sebenamya tidak
demikian.
Dalil
petunjuknya adalah wanita ini bisa jadi dia istri dari lelaki buta
tersebut dan bisa pula dia seorang budaknya. Berdasarkan dua perkiraan
ini, maka kalau bukan karena membunuhnya itu diperbolehkan, niscaya Nabi
akan menjelaskan kepada lelaki tersebut bahwa membunuh wanita ini
diharamkan, dan bahwa darahnya telah dijamin keselamatannya, dan
sebaliknya, dia akan dikenai kafarat karena telah membunuh seseorang
yang telah dijamin keselamatannya, atau dikenai diyat (denda) jika
ternyata wanita tersebut bukan budaknya.
Ketika
Nabi bersabda, "Ketahuilah bahwa darah wanita tersebut halal hukumnya,"
dan ini merupakan kehalalan darah yang tidak dikenakan sanksi qishas
(eksekusi mati), diyat (denda), maupun kafarat (tebusan dosa), maka dari
sini bisa diketahui bahwa membunuh wanita tersebut diperbolehkan,
sekalipun dia berasal dari komunitas kafir dzimmi. Juga, bisa diketahui
bahwa mencaci maki Nabi itu bisa berakibat penghalalan darah wanita
tersebut. Terlebih lagi, Nabi telah menghalalkan darah wanita tersebut
setelah diberitahukan bahwa dia dibunuh karena telah mencaci maki
beliau. Serta, bisa diketahui bahwa caci makian itulah penyebab adanya
penghalalan darah tersebut. Dan, kisah ini telah secara jelas
menunjukkan akan hal itu.
Dalil Ketiga:
Yaitu kisah tentang Ashma binti Marwan yang diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh karena mencela beliau.
Terdapat
sebuah riwayat tentang kisah Ashma binti Marwan dari Ibnu Abbas, dia
berkata: Seorang wanita dari suku Khathmah telah mencela Nabi, lalu
beliau bersabda, "Siapa yang mau membunuhnya untukku?"
Lalu, seorang lelaki dari suku Khathmah berkata, "Saya, wahai
Rasulullah." Kemudian lelaki itupun bangun dan membunuh wanita tersebut.
Setelah itu, Nabi memberitahu dan berkata, "Dalam masalah ini, tidak
mungkin dua kambing saling bertandukan."
Sebagian
ulama penulis kitab al-Maghazi (peperangan) dan yang lainnya telah
menyebutkan kisah ini secara panjang lebar. Al-Waqidi berkata, telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin al-Harist bin al-Fudhail, dari
ayahnya, bahwa Ashma binti Marwan berasal dari Bani Umayyah bin Zaid.
Dia adalah seorang istri dari Yazid bin Zaid bin Hishn bin al-Khathma,
dan dia telah menyakiti Nabi , mencela Islam, dan menghasut Nabi .
Ketika ucapan dan hasutan Ashma ini terdengar oleh Umair bin 'Adi
al-Khathma, maka Umair pun berkata, "Ya Allah, aku bemadzar kepada-Mu,
bahwa setelah aku mengantarkan Rasulullah ke Madinah nanti, aku akan
membunuh Ashma."
Saat
itu, Rasulullah sedang berada di Badar. Maka, sekembalinya beliau dari
Badar, Umair pun mendatangi Ashma pada tengah malam dan masuk ke dalam
rumahnya. Sementara Ashma pada saat itu dikelilingi oleh anak-anaknya
yang sedang tidur pulas. Salah satu dari mereka ada seorang bayi yang
sedang disusui di dadanya. Umair meraba-raba tubuh Ashma dengan
tangannya dan mendapati seorang bayi yang sedang menyusu kepadanya.
Umair kemudian menjauhkan bayi tersebut dari tubuh Ashma dan meletakkan
pedangnya di dada Ashma. Lalu dia pun menusukkan pedang itu ke tubuh
Ashma hingga menembus punggungnya. Setelah itu, Umair bergegas keluar
untuk melaksanakan shalat Shubuh bersama Nabi Ketika Nabi telah selesai
shalat, beliau memandangi Umair dan berkata, "Apakah
kamu sudah membunuh bintu Marwan (yakni Ashma-ed.)?" Umair menjawab,
"Demi Allah, aku sudah melakukannya, wahai Rasulullah."
Dan, Rasulullah pun khawatir Umair merekayasa telah membunuhnya. Lalu
Umair bertanya, "Apakah saya dikenai sanksi, wahai Rasulullah?"
Rasulullah menjawab, "Dalam masalah ini, tidak mungkin dua kambing
saling bertanbukan." Maka, ucapan yang pertama kali terdengar dari mulut
Rasulultah adalah ucapan ini. Umair berkata, kemudian Rasulullah
berpaling kepada orang-orang di sekelilingnya seraya bersabda, "Jika
kalian senang melihat seseorang yang telah membela Allah dan Rasul-Nya
secara ghaib, maka lihatlah Umair bin 'Adi." Lalu Umar bin Khatthab
berkata, "Coba lihatlah seorang lelaki buta yang punya gundik ini dalam
menaati Allah " Namun, Rasulullah menimpalinya, "Jangan katakan dia
orang buta, tapi katakan dia orang yang melihat!".Di-takhrij oleh
al-Khatib di dalam kitab Taariikh Bagdaad, (13/99); D\-takhrij Ibnul
Jauzi di dalam kitab al-'llal al-Mutanaahiyah, (1/175), Ibnu 'Adi
berkata, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin al-Hajjaj, dan dia
dituduh membuat hadits palsu. AI-'Ajluni menyebutkan hadits ini di dalam
Kasyf al-Khafaa, (2/524). Isnad hadits ini maudhu'. Di dalamnya
terdapat Muhammad bin al-Hajjaj al-Lakhmi, yang dikatakan oleh Imam
al-Bukhari sebagai orang yang harus diingkari haditsnya, dan dikatakan
oleh ad-Daruquthni sebagai orang yang sangat pembohong. Sedangkan Ibnu
Ma'in menyebutnya sebagai orang yang sangat pembohong lagi busuk.
Sekembalinya
Umair dari sisi Nabi , dia mendapati anak-anak Ashma berada dalam
jamaah orang-orang yang menguburkan Ashma. Kemudian mereka menyambut
Umair sewaktu melihatnya datang dari Madinah dan berkata, "Wahai Umair,
apakah engkau yang telah membunuhnya?" Umair menjawab, "Benar, maka
musuhilah aku, lalu kalian tidak ada yang mem-perhatikan lagi! Demi Dzat
yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian semua mengucapkan apa
yang telah diucapkan oleh Ashma, niscaya aku akan membunuh kalian dengan
pedangku ini, sehingga akulah yang mati atau kalian yang terbunuh."
Pada saat itulah, Islam mulai tampak di tengah-tengah Bam Khathmah, dan
di antara mereka ada sejumlah orang yang menyembunyikan keIslamannya
karena takut dari kaumnya.
Dalil
petunjuknya adalah bahwa wanita ini (Ashma) dibunuh tidak lain hanya
karena telah menyakiti dan mencerca Nabi semata. Dan, ini terlihat jelas
dalam perkataan Ibnu Abbas, seorang wanita berasal dari Bani Khathmah
telah mencerca Nabi , lalu beliau pun berkata, "Siapakah yang man
membunuhnya untukku?" Dari sini bisa diketahui, bahwa beliau menyuruh
untuk membunuhnya hanya karena orang tersebut telah mencerca beliau.
Begitu pula dalam hadits lain disebutkan, "Lalu, ketika terdengar
perkataan dan hasutan Ashma ke telinga Umair, maka dia pun berkata, "Ya
Allah, sungguh aku bernadzar kepada-Mu, jika aku telah mengantarkan
Rasulullah ke Madinah, niscaya aku akan membunuhnya." Dalam hadits ini
disebutkan bahwa ketika kaumnya Umair berkata kepadanya, "Apakah kamu
yang telah membunuhnya?" Dia pun menjawab, "Benar, maka musuhilah aku,
dan selanjutnya kalian pun tidak akan mendapat perhatian. Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian semua mengucapkan apa yang
telah diucapkan oleh Ashma, niscaya aku akan membunuh kalian dengan
pedangku ini, sehingga akulah yang akan mati atau kalian yang terbunuh."
Maka, yang demikian ini adalah sebagai mukadimah.
Ashma
Tidak Dibunuh Karena Telah Memprovokasi untuk Perang, Melainkan
Semata-Mata Karena Dia Telah Mencaci Maki Nabi Mukadimah yang lainnya
adalah, bahwa syair (hijaa) yang diucapkan oleh Ashma tidak berisi
ajakan untuk memerangi Nabi, sehingga dikatakan bahwa memprovokasi orang
untuk perang itu berarti telah memerangi. Akan tetapi, di dalam
syairnya hanya berisi ajakan untuk meninggalkan agama Nabi dan caci
makian terhadap Nabi beserta para pengikutnya. Target maksimal dari
semua itu adalah, agar orang-orang yang belum masuk Islam tidak akan
memeluk agama Islam, atau agar orang-orang yang telah masuk Islam keluar
dari agama Islam. Dan ini merupakan tujuan semua orang yang mencaci
maki Nabi .
Hal
itu diperjelas lagi bahwa Ashma mencerca Nabi di Madinah, padahal
kebanyakan kabilah-kabilahnya telah masuk Islam. Dan, jadilah seorang
Muslim dari kabilah tersebut lebih kuat daripada seorang kafir. Sudah
diketahui bahwa orang yang mencaci maki Nabi dalam kondisi semacam ini
tidak bermaksud memerangi Nabi beserta para sahabatnya, melainkan dia
hanya bermaksud untuk membuat mereka marah dan agar tidak mau lagi
mengikuti Nabi .
Begitu
pula, bahwa Ashma tidak pernah ingin memprovokasi untuk perang. Karena,
tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama sejarah bahwa
seluruh kabilah Aus dan Khazraj tidak ada yang memerangi Nabi melalui
tangan maupun lisannya. Dan, tidak ada seorang pun di Madinah yang
berani menampakkan hal itu. Akan tetapi, tujuan orang kafir dan munafik
dari golongan mereka adalah menghalangi orang-orang untuk mengikuti Nabi
, atau berusaha memulangkan beliau kembali dari Madinah ke Makkah, dan
melakukan tindakan-tindakan lainnya yang mengandung unsur penghinaan
terhadap Nabi dan ajakan untuk mengingkari ajaran beliau, bukan untuk
memerangi beliau.
Karena,
jikalau cercaan itu dikategorikan ke dalam jenis perang, maka pastilah
sumpah janji itu menjadi batal, dan seorang kafir dzimmi itu pun harus
dibunuh karenanya. Sesungguhnya jikalau dia memerangi Nabi, maka itu
berarti sumpah janjinya telah batal, mengingat sumpah janji itu menuntut
tidak adanya perang. Jika dia memerangi Nabi melalui tangan atau lisan,
maka berarti dia telah melakukan sesuatu yang bisa membatalkan sumpah
janjinya. Dan, tidak ada lagi yang paling bisa merusak sumpah janji
tersebut setelah perang.
Jika
hal itu telah nyata, maka tentunya yang dapat diketahui dari sirah Nabi
bagi siapa saja yang punya wawasan sejarah adalah bahwa Nabi ketika
tiba di Madinah, beliau tidak pernah memusuhi seorang pun dari penduduk
Madinah. Bahkan, beliau telah menjamin keamanan mereka sampai-sampai
terhadap kaum Yahudi, khususnya mereka yang ada di tengah-tengah suku
Aus dan Khazraj. Sesungguhnya beliau telah membuat perjanjian damai dan
mengikat tali persaudaraan dengan mereka dalam segala hal.
Sementara
kaum imigran atau pendatang ketika datang di Madinah, mereka terdiri
dari berbagai lapisan. Di antara mereka terdapat orang yang beriman dan
mereka inilah yang terbanyak (mayoritas), dan di antara mereka ada yang
masih bertahan pada agama lamanya, dan orang semacam ini dibiarkan dan
tidak diperangi. Orang ini bersama orang-orang yang beriman dari
kabilahnya, juga mereka yang telah mengucapkan janji adalah kelompok
yang dijamin keamanannya (alnlu as-silmi), bukan kelompokyang harus
diperangi (ahlu al-harbi).
Sampai-sampai
kalangan Anshar yang berjani juga telah diakui janji mereka oleh Nabi .
Jika Nabi telah mengakui janji mereka, maka wanita ini (Ashma) adalah
termasuk golongan orang-orang kafir mu'ahid. Meskipun demikian, Nabi
tetap memerintahkan orang-orang untuk membunuh wanita yang telah
mencercanya ini.
Beliau
bersabda mengenai orang yang telah membunuh wanita tersebut, "Jika
kalian senang melihat seseorang yang telah membela Allah dan Rasul-Nya
melalui cara yang tidak tampak (gaib), maka lihatlah pemuda ini
(Umair)." Dengan demikian, terbuktilah bahwa mencerca dan mencela Nabi
itu menyebabkan pelakunya dibunuh, selain perbuatan kufur. Selain itu,
bahwa orang yang mencaci maki Nabi tersebut wajib dibunuh, meskipun dia
termasuk golongan orang-orang yang telah mengucapkan sumpah (hulafa) dan
membuat perjanjian (mu'ahidiin).
Jika
Nabi telah menyuruh untuk membunuh wanita ini (Ashma), maka bisa jadi
dikatakan bahwa cercaannya itu merupakan bentuk memerangi Nabi , dan ini
artinya cercaan seorang kafir dzimmi kepada Nabi itu sebagai bentuk
memerangi beliau, sehingga hal itu bisa membatalkan sumpah janjinya dan
menghalalkan darahnya.
Atau,
bisa jadi dikatakan bahwa cercaannya itu bukan termasuk bentuk
memerangi beliau,dan pendapat inilah yang paling benar, mengingat apa
yang telah kita katakan di muka bahwa cercaan Ashma tersebut tidak
berisi ajakan untuk memerangi Nabi , dan tidak pula berpendapat ke arah
perang. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa mencaci maki merupakan bentuk
kejahatan (jinayah) yang bisa merugikan kaum Muslimin, selain kejahatan
perang, dan bisa menyebabkan pelakunya dibunuh seperti halnya
orang-orang yang membegal perjalanan kaum Muslimin.
Selain itu, bahwa mencaci maki Nabi bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, ini lebih dikarenakan oleh beberapa faktor. Antara lain:
Faktor
pertama, jika caci makian terhadap Nabi tidak menyebabkan pelakunya
dibunuh, niscaya hukum membunuh wanita (Ashma) ini adalah tidak boleh,
meskipun dia seorang wanita dari komunitas kafir harbi. Karena, seorang
wanita kafir harbi, jika tidak memerangi Nabi melalui tangan dan
lisannya, maka dia tidak boleh dibunuh. Kecuali, jika dia melakukan
bentuk kejahatan yang mengharuskannya dibunuh. Dan, hal inilah yang saya
kira bertentangan, terutama bagi orang yang berpendapat hukum membunuh
wanita ini seperti halnya hukum membunuh seorang begal (perampok).
Faktor
kedua, wanita pencaci maki Nabi (Ashma) ini termasuk salah seorang
kafir mu'ahid pada waktu itu. Maka, jikalau caci makiannya terhadap Nabi
tidak menyebabkan halal darahnya, niscaya dia tidak akan dibunuh dan
tidak boleh dibunuh. Oleh karena itu, seorang yang telah membunuhnya
khawatir bila terjadi fitnah hingga akhirnya Nabi bersabda, "Dalam
masalah ini, tidaklah dua kambing saling bertandukan." Padahal, saling
bertandukannya kedua kambing itu tidak lain seperti saling berciuman.
Di
sini, Nabi menjelaskan bahwa tidak akan ada fitnah sama sekali akibat
tindakan tersebut, sebagai bentuk rahmat dari Allah kepada kaum
Mukminin, dan juga sebagai pembelaan terhadap Rasul-Nya dan agama-Nya.
Seandainya pun di sana tidak ada larangan untuk membunuh wanita ini, dan
tidak ada caci makian terhadap Nabi tersebut, niscaya fitnah ini tidak
akan dikhawatirkan terjadi.
Faktor
ketiga, sesungguhnya hadits ini menjelaskan bahwa Ashma dibunuh
semata-mata karena telah mencaci maki Nabi (di dalam syairnya).
Sementara seluruh kaumnya tidak dibunuh karena mereka tidak mencaci maki
Nabi. Dan jika mereka mencaci maki Nabi, niscaya mereka akan
diperlakukan seperti apa yang ditimpakan kepada Ashma. Dengan demikian,
menjadi jelaslah bahwa caci makian terhadap Nabi saja bisa menyebabkan
pelakunya dibunuh, baik si pencaci maki tersebut seorang kafir harbi,
seorang Muslim, ataupun seorang kafir mu'ahid. Oleh karena itu, beliau
boleh membunuh seseorang yang tidak akan beliau bunuh bila tidak
melakukan hal itu.
Faktor
keempat, bahwa kaum Muslimin sebelum hijrah dan pada awal-awal hijrah
itu dilarang memulai perang. Dan, memerangi orang-orang kafir pada waktu
itu diharamkan. Karena, hal itu bisa dikategorikan membunuh jiwa dengan
tanpa haq, sebagaimana firman Allah : "Tidakkah kamu perhatikan
orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu (dari
berperang), dirikanhh shalat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan
kepada mereka berperang ...." (an-Nisa1: 77) Karena itu, kandungan ayat
al-Quran yang pertama kali diturunkan oleh Allah ilf itu membolehkan
perang, mengingat firman Allah , "Telah dilzinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menohng mereka itu,"
(al-Hajj: 39). Nabi tidak pernah memerangi seorang pun dari penduduk
Madinah, dan juga tidak pernah memerintahkan untuk membunuh salah
seorang dari pemimpin mereka yang telah mengumpulkan mereka untuk
berbuat kekufuran dan yang selain mereka. Adapun ayat-ayat yang turun
pada waktu itu, tidak lain hanya memerintahkan untuk memerangi
orang-orang yang telah mengusir mereka (dari Makkah), memerangi mereka,
dan melakukan tindakan-tindakan yang sejenisnya.
Pada
waktu itu beliau tidak pemah mengizinkan kaum Muslimin untuk lebih dulu
membunuh orang-orang kafir dari penduduk Madinah. Dan, jika akhirnya
beliau menyuruh untuk membunuh wanita ini (Ashma) yang telah mencaci
maki beliau, padahal beliau tidak diperkenankan untuk membunuh
orang-orang kafir dari kabilah wanita tersebut, maka dari sini tentunya
bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu bisa menyebabkan pelakunya
dibunuh, meskipun sebenamya di sana terdapat faktor yang mencegahnya
seandainya bukan karena caci makian ini. Semisal adanya ikatan janji,
dia seorang wanita, dan adanya larangan membunuh seorang kafir yang
sangat taat, atau tidak diperbolehkannya membunuh orang kafir tersebut.
Dan, faktor keempat ini adalah faktor yang sangat bagus dan tepat.
Jika
temyata Nabi membunuh seorang wanita yang telah mencaci makinya dari
golongan orang-orang kafir Madinah tersebut, padahal di mata beliau
mereka bukanlah orang-orang kafir harbi yang boleh diperangi secara
mutiak, maka tentunya membunuh seorang wanita yang telah mencaci makinya
dari komunitas kafir dzimmi itu lebih diutamakan lagi. Hal itu, karena
kita telah membuat perjanjian dengan wanita dari komunitas kafir dzimmi
ini untuk tidak mencaci maki Nabi «!f, dan agar dia merasa hina
(tunduk). Sedangkan terhadap wanita dari komunitas kafir Madinah
tersebut, kita tidak pernah membuat perjanjian atas suatu apa pun.
Dalil Keempat:
Yaitu kisah dua orang biduanita yang menyanyikan lagu berisi ejekan terhadap Nabi dan beliau pun menghalalkan darah mereka.
Musa
bin 'Uqbah dalam kitab Maghazi-nya dari az-Zuhri berkata, Rasulullah
telah menyuruh mereka (para sahabat) agar menahan diri dan tidak
memerangi seorang pun melainkan orang yang telah memerangi mereka. Dan,
beliau pun menyuruh untuk membunuh empat orang. Musa bin 'Uqbah berkata,
Nabi telah menyuruh untuk membunuh dua orang biduanita, anak dari Ibnu Khathal, yang menyanyikan lagu berisi ejekan kepada Nabi.
Kemudian salah seorang biduanita itu pun dibunuh, sedangkan yang
lainnya disembunyikan hingga dimintakan perlindungan untuknya. Telah
d\-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra dalam kitab
Pembahasan Sejarah, (9/121). Sanad hadits ini hasan. Hal ini juga telah
disebutkan oleh Muhammad bin 'Aidz al-Qurasyi di dalam kitab
Maghaozii-nya. Hadits tentang dua orang biduanita ini termasuk hadits
yang telah disepakati oleh para ulama sejarah dan telah banyak
diriwayatkan, tidak cukup satu riwayat saja.
Dalil
petunjuknya adalah bahwa membunuh seorang wanita dengan sengaja hanya
karena kekufurannya saja tidak diperbolehkan menurut ijma' (konsensus
ulama). Hal itu sebagaimana telah dinyatakan secara masyhur oleh sunnah
Rasulullah. Para wanita penyanyi ini sebelumnya adalah orang-orang yang
dilindungi jiwanya karena unsur kewanitaannya. Kemudian, Nabi menyuruh untuk membunuh mereka hanya karena mereka telah mengejek beliau,
sementara mereka berada di daerah perang (claor al-harbi). Sehingga
dari sini bisa diketahui, bahwa orang yang mengejek dan mencaci maki
Nabi boleh dibunuh dalam keadaan apapun. Semua itu diperkuat oleh
beberapa faktor berikut ini:
Faktor
pertama, para wanita ini sebelumnya termasuk bagian dari komunitas
kafir harbi. Mereka telah menyakiti Nabi di daerah perang, lalu Nabi pun
membunuh mereka hanya karena caci makian mereka itu, sebagaimana yang
telah disebutkan dalam beberapa hadits. Dari sini, tentunya membunuh
seorang wanita dari komunitas kafir dzimmi, itu lebih diprioritaskan dan
ditekankan seperti halnya seorang wanita Muslimah. Karena, di antara
kita (kaum Muslimin) dan wanita dari kafir dzimmi tersebut terdapat
ikatan perjanjian yang melarangnya untuk melontarkan caci makian kepada
Nabi .
Juga,
perjanjian yang mengharuskannya bersikap rendah dan tunduk. Oleh karena
itu, dia akan dihukum mati, dikenai sanksi harta (materi) atau dirampas
kehormatannya atas kesalahan yang diperbuatnya terhadap seorang Muslim.
Sedangkan seorang wanita dari komunitas kafir harbi tidak dikenai
hal-hal tersebut. Jika diperbolehkan membunuh seorang wanita dikarenakan
dia telah berani mencaci maki Nabi , padahal dia berasal dari komunitas
kafir harbi yang notabenenya bebas mencaci maki beliau tanpa ada
larangan, maka tentunya membunuh wanita dari kalangan kafir dzimmi yang
dilarang mencaci maki beliau itu lebih diutamakan.
Jika
dikatakan: Perlindungan terhadap kafir dzimmi itu lebih ditekankan,
karena dia mendapat jaminan keselamatan, sedangkan kafir harbi tidak
dijamin keselamatan nyawanya. Maka, di sini kami jawab: Seorang kafir
dzimmi itu juga menjamin keselamatan seorang Muslim, sedangkan seorang
kafir harbi tidak menjamin keselamatannya. Jadi, dia menjamin
keselamatan orang Islam dan juga dijamin keselamatannya. Karena,
perjanjian yang terjadi di antara kita menuntut adanya hal tersebut.
Sedangkan wanita dari komunitas kafir harbi tidak punya ikatan
perjanjian dengan kita yang menuntut adanya hal tersebut.
Dengan
demikian, seorang kafir dzimmi tidak lagi wajib dijaga keselamatannya
akibat tindakannya yang merusak kehormatan Nabi . Bahkan, hal itu lebih
berat dari dosa-dosanya, dan dia sangat layak diazab (dibunuh) atas
tindakannya tersebut yang menyakiti kita. Kami tidak mengetahui adanya
wanita dari komunitas kafir harbi dibunuh dengan sengaja karena mencaci
maki Nabi , selain bahwa membunuh seorang wanita dari komunitas kafir
dzimmi yang telah mencaci maki Nabi itu lebih ditekankan lagi.
Faktor
kedua, para wanita ini tidak ikut memerangi sewaktu peristiwa Fathu
Makkah, bahkan mereka termasuk di antara para wanita yang tunduk dan
menyerah. Ejekan (melalui syair) jika dikategorikan bentuk perang, maka
dia sebenamya sudah ada sebelum peristiwa itu. Sementara wanita dari
komunitas kafir harbi ini dilarang untuk dibunuh pada peperangan di mana
dia menyerah dalam perang tersebut, meskipun sebelum itu dia ikut
memerangi. Dari sini bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu pada
esensinya bisa menghalalkan darah mereka, bukan karena mereka pemah
memerangi beliau.
Faktor
ketiga, Nabi telah menjamin keselamatan bagi seluruh warga kota Makkah,
kecuali mereka yang melawan atau memerangi, meskipun mereka pemah
memusuhi beliau, membunuh para sahabatnya, dan merusak perjanjian yang
terjadi di antara mereka dan Nabi. Kemudian, temyata Nabi menghalalkan
darah para wanita ini sebagai pengecualian, hanya karena mereka telah
berani menyakiti beliau, meskipun sebenamya mereka tidak pernah ikut
memerangi beliau.
Dengan
demikian nyatalah bahwa dosa orang yang menyakiti Nabi dengan cara
mencaci maki dan yang sejenisnya, lebih berat dari sekadar dosa
memerangi dan yang lainnya, dan bahwa dia boleh dibunuh pada kondisi
apapun, bahkan pada saat dilarang memerangi orang yang telah membunuh
dan memerangi sekalipun.
Faktor
keempat, dua wanita penyanyi ini adalah dua budak wanita yang disuruh
untuk mengejek Nabi . Padahal, membunuh wanita budak itu kurang
ditekankan dibanding bila membunuh wanita merdeka. Hal itu, mengingat
Nabi telah melarang untuk membunuh seorang buruh (pekerja)20. Selain
itu, keadaan wanita tersebut disuruh untuk mencaci maki Nabi juga
merupakan dosa yang lebih ringan mengingat dia tidak pemah bermaksud
melakukannya. Meskipun demikian, Nabi tetap menyuruh untuk membunuh
mereka berdua. Dari sini bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu
lebih mengharuskan pelakunya untuk dibunuh.. Di-takhrij oleh al-Baihaqi
di dalam as-Sunan al-Kubra, dalam kitab pembahasan tentang sejarah,
(9/91). Disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhiid, (9/75);
Sunan Sa'id bin Manshur, no. 2628; dari jalur Ayyub as-Sikhtiyani dari
seorang lelaki dari bapaknya. Isnadnya tidak shahih mengingat tidak
diketahuinya guru (syaikh)nya Ayyub dan bapaknya. Maka, tidak diputuskan
bahwasanya dia adalah seorang sahabat. Namun, hadits ini mempunyai
penguat (syaahid) di dalam Sunan Abu Daud, no. 2669. Abu Daud berkata:
Hadits hasan shahih.
Faktor
kelima, bisa jadi para wanita ini dibunuh karena telah mengejek Nabi ,
mengingat mereka melakukannya bersamaan dengan adanya perjanjian antara
Nabi it dan penduduk Makkah. Sehingga, hal itu bisa dikategorikan jenis
ejekan kepada Nabi dari seorang kafir dzimmi. Atau, bisa jadi mereka
dibunuh hanya karena mengejek semata, tanpa adanya perjanjian apapun.
Jika yang benar adalah yang pertama, maka itulah memang yang seharusnya.
Dan
jika yang benar adalah yang kedua, maka itu berarti jika membunuh
wanita pencaci maki Nabi yang tidak ada perjanjian antara kita dan dia
yang bisa melarang tindakan tersebut, itu saja diperbolehkan, maka
tentunya membunuh wanita yang dilarang mencaci maki Nabi oleh karena
adanya ikatan perjanjian, itu lebih diutamakan lagi. Hal itu, mengingat
semata-mata karena kekufuran wanita itu saja dan juga karena dia berasal
dari komunitas kafir harbi tidak serta merta bisa menghalalkan darahnya
menurut kesepakatan para ulama. Apalagi, caci makiannya tersebut tidak
bertujuan untuk memerangi Nabi .